Friday, December 15, 2006

Profesionalisme Amil Zakat

Amelia Fauzia*

Amil zakat merupakan profesi yang serba salah, seperti halnya seorang kyai atau da’i. Di satu sisi, mereka diminta supaya bekerja secara profesional tapi di lain sisi mereka masih ditabukan untuk meminta bayaran. Karena itulah maka perzakatan di negeri kita selama berabad-abad tidak berkembang salah satunya akibat kerja amil yang dijalankan secara sambilan. Dari masa kerajaan Islam sampai abad ke sembilanbelas kondisi keamilan tidak berkembang lebih baik, kecuali awal abad kedua puluh dengan mulai beralihnya pemberian sumbangan langsung kepada fakir miskin dengan pemberian ke organisasi yang dimotori oleh Muhammadiyah. Berkat momentum Dompet Dhuafa dan kejatuhan Orde Baru lembaga amil sekarang berkembang lebih maju dengan terbentuknya institusi amil zakat atau institusi filantropi yang menghimpun dan mendayagunakan berbagai potensi kedermawanan sosial Islam.

Semangat kehati-hatian dan pengawasan terhadap lembaga amil zakat sangat perlu seperti yang ditulis oleh Abd. Salam Nawawi dengan judul ”Mewaspadai Penyimpangan Amil Zakat” (Jawa Pos 22/10/06). Namun kehati-hatian itu selayaknya diarahkan untuk lebih memprofesionalisasikan institusi amil zakat termasuk dalam pendayagunaan dana zakat.


Bentuk Amil Zakat

Di Indonesia, setidaknya ada tiga bentuk amil (pengelola zakat), yaitu amil individual, amil kepanitiaan, dan amil kelembagaan. Amil individual atau perorangan mengemban amanat dari masyarakat untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat atas dasar integritas pribadinya serta pengetahuannya tentang hukum Islam. Amil individual ini berperan cukup penting sejak abad ketigabelas dan diperankan oleh fungsionaris agama Islam seperti yang biasa disebut, ustadz, kyai, teungku, dan kayim. Saat ini amil individual masih berfungsi di daerah pedesaan, bahkan di beberapa tempat ada yang menjadi jabatan seumur hidup. Akibat kemajuan dan kompleksitas masyarakat terbentuklah amil kepanitiaan dan kelembagaan. Amil kepanitiaan ini biasanya dibentuk di masjid, sekolah, lingkungan RT/RW, dan tempat kerja. Keberadaan amil kepanitiaan hanya temporer khususnya untuk mengumpulkan zakat fitrah menjelang Idul Fitri. Amil kelembagaan adalah institusi yang mengelola dana zakat dan dana filantropi (kedermawanan sosial) Islam lainnya seperti sedekah dan wakaf. Ada dua jenis, yaitu institusi amil atau filantropi Islam yang ada dibawah pemerintah dan disebut Badan Amil Zakat (BAZ), dan institusi amil non pemerintah yang disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ).

Lembaga amil non pemerintah mendapat berkembang pesat khususnya di wilayah urban. Dalam perjalanannya, perkembangan LAZ jauh melebihi BAZ dari sisi penghimpunan, pendayagunaan, dan transparansi, walaupun ada beberapa BAZ pemerintah daerah yang cukup baik seperti Bazis DKI Jakarta dan BAZ Sumut.


Kinerja dan Hak Amil

Benar bahwa amil adalah mustahik (orang yang berhak menerima zakat) dan sekaligus juga muzakki (orang yang wajib mengeluarkan zakat) khususnya ketika amil merupakan orang yang mampu secara ekonomi. Gaji atau hak amil ini merupakan konsekuensi logis atas kerja seseorang amil yang ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Taubah ayat 60.
Sistem gaji dan peningkatan status amil sebagai salah satu profesi muncul akibat kritik terhadap sejarah panjang lembaga keamilan yang mayoritas ‘hidup enggan mati tak mau’ karena diurus paruh waktu dan tanpa administrasi yang baik. Dilihat dari perkembangan sejarah, kinerja amil sekarang sudah lebih baik. Pada abad ke sembilanbelas, Snouck Hurgronje (Penasihat urusan Pribumi) memaklumi para amil yang mengambil porsi pembagian zakat cukup banyak karena mereka adalah mustahik atas dasar kerja ke-amilannya dan statusnya sebagai orang miskin. Kondisi ini berjalan tanpa ada pengawasan yang memadai dari pemerintah. Badan amil yang kemudian dibentuk pemerintah mulai tahun 1984 pun tidak berfungsi maksimal karena masih dikerjakan secara paruh waktu. Institusi amil yang modern dan profesional –yang disemai oleh organisasi sosial Islam modern—akhirnya berkembang mulai tahun 90-an dimotori oleh Dompet Dhuafa. Dari sinilah maka wacana profesi amil bergulir yang menuntut amil bekerja secara profesional agar dana filantropi dapat lebih bermanfaat.

Penulis tidak memungkiri jika misalnya terdapat institusi amil zakat yang kinerjanya tidak maksimal tapi menuntut gaji yang tinggi. Sejak masa kolonial kritik terhadap kinerja dan rendahnya transparansi amil (individual) sudah ada. Akan tetapi tidak dapat dinafikan bahwa mayoritas institusi-institusi filantropi Islam khususnya LAZ yang berkiprah saat ini bekerja dengan baik. Bahkan, hampir semua LAZ didirikan atas dasar idealisme yang menguras tenaga, pikiran serta kocek para pegiatnya. Misalnya, donatur-donatur pertama Dompet Dhuafa tak lain adalah para pendiri Dompet Dhuafa itu sendiri. Begitu pula yang terjadi pada lembaga lain seperti Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), Portal Infaq, dan Lembaga Wakaf Zakat Salman yang pada tahun-tahun awal pendiriannya para amil tidak mau mengambil hak mereka karena alasan kepentingan lembaga yang lebih besar.

Dalam lembaga amil, tidak bisa dikatakan bahwa amil menentukan gaji mereka dengan seenaknya. Lembaga amil memiliki mekanisme pengawasan, transparansi dan akuntabilitas yang relatif baik. Organisasi amil diawasi oleh Dewan Pengawas, Dewan Syari’ah, serta oleh pemerintah dan masyarakat. Prosentase 1/8 (salah satu ijtihad yang dipakai oleh sebagian institusi filantropi) adalah suatu kehati-hatian dalam menentukan dana yang bisa digunakan untuk biaya operasional dan upah amil. Tanpa dana operasional ini, pendayagunaan dana filantropi tidak akan maksimal. Banyak pula institusi amil yang mengambil biaya operasional dari uang sedekah, bukan uang zakat, sehingga otomatis prosentase seperdelapan dari dana zakat tidak berlaku.

Badan Amil yang ada di bawah pemerintah (BAZ) memang memiliki cerita yang sedikit berbeda dengan LAZ di atas. Staf BAZ menerima gaji dari pemerintah daerah karena status mereka sebagai pegawai pemda. Dalam perjalanannya ada BAZ yang tetap mengambil hak amil (karena memiliki pegawai honorer), namun ada juga BAZ yang tidak mengambil hak amil, contohnya Bazis DKI Jakarta, karena dibantu dari APBD.


Pendayagunaan Uang Zakat

Pendayagunaan zakat dan dana filantropi lainnya lahir dari kesadaran akan kegagalan fungsi filantropi Islam yang ternyata tidak bisa mengangkat umat Islam dari kemiskinan. Sebagian besar dana zakat dan sedekah digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup jangka pendek yang konsumtif dan hanya sedikit yang digunakan untuk pemberdayaan masyarakat jangka panjang dan produktif. Tanpa pendayagunaan yang terencana dan maksimal maka dana filantropi hanya menjadi sia-sia.

Jika ada sistem pendayagunaan yang kurang baik, bukan berarti ide pendayagunaan itu salah, tapi sistemnya yang harus diperbaiki. Pemanfaatan dana filantropi Islam yang dilakukan oleh beberapa LAZ nasional sudah cukup kreatif dan sebagian sudah mengarah pada pemberdayaan masyarakat dan pengentasan akar masalah kemiskinan seperti program mikro kredit, pelayanan kesehatan gratis, penanganan gizi buruk, peningkatan SDM melalui beasiswa pendidikan dan training, dan advokasi TKI.


Pengawasan bukan Campur Tangan

Penyimpangan amil bisa saja terjadi; amil toh juga manusia. Oleh karenanya yang dibutuhkan adalah pengawasan baik dari internal lembaga itu sendiri (Dewan Pengawas) maupun eksternal dari pemerintah, dan masyarakat khususnya donatur. Lembaga keamilan harus diarahkan untuk transparan dan akuntabel atas kegiatannya. Dengan transparansi dan akuntabilitas yang dimiliki lembaga keamilan, penyimpangan amil dan lembaga keamilan bisa dihindari atau dikurangi.

Lembaga amil seyogyanya dibiarkan memiliki kreativitas sendiri untuk mengelola lembaganya –seperti saat ini -- sejauh itu masih dalam koridor undang-undang. Iklim fastabiqul khairat (berlomba menuju kebaikan) yang sudah ada seharusnya difasilitasi oleh pemerintah misalnya dengan pemberian insentif bagi pembayar zakat. Campur tangan pemerintah yang berlebihan akan membawa efek negatif bagi perkembangan lembaga keamilan dan sebaiknya dihindarkan. Seyogyanya peraturan ‘zakat sebagai pengurang pajak’ --yang belum terlihat implementasinya-- itu yang lebih dahulu dijalankan dengan serius.

Tanpa sistem managemen yang baik dan penggajian yang professional institusi filantropi Islam tidak akan memiliki sumber daya manusia yang bagus yang bisa mengelola dana filantropi Islam secara maksimal. Pendayagunaan zakat merupakan keharusan; karena amanah untuk berpihak kepada fakir miskin bukan hanya sekedar mendistribusikan dana sehingga habis tapi mendayagunakannya untuk menghilangkan akar kemiskinan.

-------------
* Peneliti pada Center for the Study of Religion and Culture, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Cycling on Smoky Melbourne

.

Yes, it was a terrible beginning of summer because of bushfires in the countries of Victoria. Even though Melbourne city was smoky and hot, we still did exercise by cycling around Moreland. This time Elkana and Farhan's friend, Rifqy, joined us. He was so exited even though he must sit on the back of Amir's bycycle.

It was so fun!




Sunday, December 10, 2006

My Holiday


A Letter to Dad

Wednesday, December 06, 2006

Merayakan Hari Relawan Sedunia

Kemarin (5 Des 06) saya dan suami merayakan international volunteer day bersama dengan komunitas Australian Volunteer International (AVI) di Melbourne dengan acara yang berjudul Global Village Festival. Walaupun suasana global village-nya masih kurang terasa, tapi acara cukup meriah dengan musik/tari dari Afrika dan Timor, dan beragam komunitas yang hadir. Dimitri, CEO AVI, bercerita bahwa AVI tahun lalu sudah mengirimkan 750an relawan ke 46 negara. Suatu prestasi yang harus diapresiasi.

Awalnya saya kira, menjadi relawan (volunteering) tidak terlalu populer di Australia, dibandingkan dengan bersedekah uang. Apalagi di Australia begitu banyak lembaga filantropi (kedermawanan sosial) dari yang sekup lokal, nasional, sampai internasional. Tapi rupanya saya salah. Volunteering bagi masyarakat Australia ternyata cukup populer dan membudaya di masyarakat. Bentuk kesukarelawanan pun beragam, mulai dari kerja gotong royong, mengajar tanpa bayaran, sampai bekerja di organisasi non profit dalam dan luar negeri. AVI fokus pada yang terakhir, yaitu mengirim relawan untuk bekerja di lembaga-lembaga khususnya di negara-negara berkembang. Volunteering AVI lebih banyak diarahkan untuk sharing pengetahuan, teknologi dan keterampilan yang relawan miliki. relawan dengan harapan relawan akan mendapatkan pengalaman dan pengetahuan mengenai kultur dan budaya tertentu.

Volunteering di sini saya rasakan sebagai benar-benar suatu pilihan. Tidak perduli apakah kerja sukarela itu hanya sekedar kerja gotong royong di sekolah. Tidak ada paksaan sosial dan tidak ada stigma bahwa mereka yang ikut kerja sukarela adalah lebih baik dari yang tidak ikut. Namun tentu saja, selalu ada apresiasi bagi mereka yang mau menjadi sukarelawan dari yang sekedar kerja gotong royong tadi terlebih lagi bagi mereka yang mau mengabdi untuk bekerja sebagai relawan bertahun-tahun. Apalagi jika mau jadi relawan di negara-negara berkembang. Apresiasi ini bukan hanya dari komunitas, tapi juga dari pemerintah Australia diantaranya dengan memberikan insentif, tax deduction, dan menyediakan fasilitas dan prasarana untuk meningkatkan kegiatan kesukarelawanan.

Para relawan memiliki banyak motivasi untuk kerja sosial, dari yang sekedar mencari pengalaman, menambah pengetahuan, sampai kepada kesadaran akan tanggung jawab sosial. Para relawan AVI yang saya temui sebagian adalah profesional yang dengan sadar ingin melakukan kerja relawan. Beberapa mantan relawan merasa bahwa kerja sukarela yang mereka lakukan itu benar-benar memberi manfaat yang besar, tidak hanya dalam hal pengetahuan dan pengalaman, tapi juga rupanya karir mereka. Peningkatan karir? Saya kira hal ini bisa saja karena networking yang bagus dari kiprah selama beberapa tahun di luar negeri. Dan saya pun menyaksikan beberapa mantan relawan AVI yang berkiprah di Indonesia kemudian memiliki karir yang bagus.

Apa di Indonesia juga begitu? Memang konteks menjadi relawan di Indoneisa ada sedikit berbeda dengan relawan di Australia. Ada sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah bahwa kedermawanan sosial termasuk kesukarelawanan sudah menjadi kultur di Indonesia. Karenanya, --ini sisi negatifnya-- kerja volunter seperti gotong royong, mengajar tanpa bayaran, membantu tenaga, pikiran untuk organisasi bahkan menyumbangkan uang untuk kegiatan organisasi, sepertinya juga dianggap sebagai hal biasa. Karena itu apresiasi masyarakat kurang dan apresiasi pemerintah hampir tidak ada. Padahal peran para relawan ini luar biasa yang baru terlihat ketika penanganan bencana seperti Tsunami di Aceh 2004 dan Gempa di Yogya dan Jateng 2006. Mereka seperti pahlawan tanpa tanda jasa...

Khususnya untuk teman-teman para relawan, serta aktivis dan pemerhati filantropi,
Selamat Hari Relawan Sedunia!

Amelia

Friday, December 01, 2006

Poligami...

Saya menyayangkan pilihan AA Gym untuk berpoligami. Secara pribadi saya kecewa karena selama ini saya respek dan kagum dengan visi dan kepribadiannya. Memang berpoligami itu urusan pribadi AA Gym yang siapapun tak berhak campur tangan. Tapi ia adalah seorang tokoh publik yang urusan pribadinya menjadi panutan orang banyak. Mengapa AA gymn mengindahkan tafsiran-tafsiran baru mengenai ayat poligami yang sebenarnya bukan membolehkan tapi melarang poligami? Apa AA Gym lupa bahwa begitu banyak perkawinan poligami yang memberikan dampak sosial negatif dibandingkan dampak positif?

Ayat poligami (yang dibaca: fankihu ma toba lakum minan nisa'i matsna wa tsulatsa wa ruba'a...), memang bisa menuai banyak penafsiran. Kalau pakai metode penafsiran tahlili yang kronologikal, poligami itu dibolehkan. Bahkan jumlah istri yang diperbolehkan pun bisa beragam tergantung mengartikan "wa" yang berarti "dan" dalam ayat diatas. Jadi jika 'wa' diartikan pilihan, maka maknanya boleh beristri dua, tiga atau empat (seperti yang selama ini banyak dipraktekkan). Jika 'wa' diartikan sebagai tambahan, maka boleh menikah sebanyak 2+3+4 = 9 istri. Jika 'wa' atau 'dan' diartikan perkalian, maka boleh memiliki istri sebanyak 2x3x4 = 24! Nah lho. Namun jika ayat tersebut ditafsirkan dengan metode penafsiran maudhu'i yang contextual, maka poligami itu sebenarnya dilarang! Apalagi melihat asbabun nuzul ayat itu yang sebenarnya mengecam praktek mengambil harta anak yatim yang intinya adalah menjunjung keadilan. Ini terjemahan surat An-Nisa ayat 3, yang saya sebut sebagai ayat poligami diatas:

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."
Memang dalam ayat ini sepertinya dibolehkan menikah poligami, namun harus dilihat konteksnya. Konteks pertama adalah sikap adil terhadap perempuan (ayat 1 dan 2 surat An-Nisa) yang waktu itu sering menjadi korban penyerobotan harta dari walinya sendiri (masih sering terjadi di Timur Tengah). Jadi pembolehan menikah poligami itu bernada ironi. Kedua, pembolehan poligami menjadi hanya empat istri adalah sebuah kebijakan radikal yang membatasi tradisi poligami tanpa batas yang ada ketika ayat itu diturunkan. Jadi lagi-lagi ayat itu diturunkan dalam konteks memberi keadilan kepada perempuan. Ketiga, konteks pembolehan poligami pada masa Nabi adalah untuk menghilangkan problem sosial dan merupakan tanggung jawab sosial terhadap perempuan dan anak-anak yang terlantar akibat perang Uhud (625 M). Karena itu beberapa penafsir modern yang menggunakan metode maudhu'i mengatakan bahwa poligami itu tidak diperbolehkan. Apalagi ayat 128 surat An-Nisa menyebutkan:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Tentu saja kembali kepada individu mau memilih tafsiran yang mana. Tapi terlalu naif jika problem sosial janda dan anak-anaknya saat ini diselesaikan dengan cara perkawinan poligami. Banyak jalan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan problem sosial akibat ketiadaan suami tanpa harus dengan poligami misalnya dengan pemberdayaan masyarakat, penguatan law and order, penguatan lembaga filantropi. Dengan program jangka pendek, janda dan anaknya bisa ditanggung oleh lembaga filantropi (seperti Dompet Peduli Ummatnya AA Gym) yang memberikan pelatihan kepada ibu dan memberikan beasiswa pendidikan untuk anak yatim.

Kebalikannya, saat ini banyak masalah sosial yang timbul akibat perkawinan poligami, khususnya di daerah pedesaan dan di lingkungan yang ekonominya rendah. Karena poligami dianggap dapat menyelamatkan kehidupan ekonomi. Tapi sebagian besar poligami tidak bisa meningkatkan kesejahteraan janda dan pendidikan anak-anaknya. Anak-anak tetap menjadi korban. Tentu saja, perkawinan poligami dikalangan selebriti dan kalangan berada tidak menimbulkan masalah kesejahteraan, seperti yang terlihat dari perkawinan poligaminya Hamzah Haz, AM Fatwa, dan "Wong Solo." Tapi entah bagaimana peran bapak --bukan peran suami-- dapat difungsikan dengan baik bagi mereka yang memiliki anak banyak dari hasil perkawinan poligami ini.

Saya ber-husnu dzan, mungkin AA Gym ingin memberikan contoh poligami yang baik kepada masyarakat. Tapi saya khawatir yang akan terlihat adalah contoh "dianjurkannya poligami" bukan contoh "bagaimana perkawinan poligami yang baik."

Tentu saja saya maklum, toh AA Gym juga manusia. Hanya menyayangkan, tokoh da'i yang pro pada keadilan dan multikulturalisme dan memiliki visi sosial tinggi memilih untuk melakukan perkawinan poligami.

Amelia Fauzia

Tuesday, November 28, 2006

"Good Morning, Amelia..."

Begitu sapaan murid-murid grade 1/2 Moreland Primary School di tiap Rabu pagi ketika saya ikut masuk kelas. Ya, mereka memanggil guru mereka dengan nama depan, bahkan sebagian nama kecil. Saya, yang hanya menjadi volunteer untuk membantu guru, juga diperlakukan sama. Saya sangat menikmati dipanggil tanpa gelar/sebutan apa pun oleh anak-anak ini.

Panggilan non formal ini bukan sekedar formalitas belaka, tapi terlihat juga bagaimana informalnya mereka berinteraksi dengan guru. Kedekatan, kepercayaan, dan keterbukaan justru mengembangkan kreativitas murid. Pelajaran belum dimulai saja, sudah banyak murid yang mengangkat tangan ingin bertanya atau menceritakan sesuatu. Semua direspon positif oleh guru, walaupun hanya sekedar cerita tentang main ke rumah teman.

Di sekolah, unsur-unsur formalitas dicoba dikurangi. Seragam perlu, tapi yang penting anak merasa nyaman dan tidak terganggu. Datang terlambat tidak dihukum berat, tapi tetap dicatat dan diperingati. Upacara tetap ada, tapi sangat santai, interaktif, dan lebih menjadi ajang informasi dan apresiasi prestasi. Sampai urusan rangking kelas pun tidak ada pun karena mereka sistem penilainnya juga bukan kuantitas 1-9. Walaupun terkesan informal, bukan berarti tidak ada kedisiplinan dan ketegasan. Pada titik tertentu guru sangat tegas. Selalu ada hukuman buat anak nakal yang melanggar disiplin, disamping hadiah-hadiah dan pujian untuk anak-anak yang rajin, kreatif, dan pandai.

Kembali ke panggilan terhadap guru dan staf sekolah yang informal. Saya kira ini menjadi salah satu pendorong keberanian murid-murid bicara, berpendapat, dan berargumen. Sesuatu yang tidak ada pada budaya masyarakat indonesia.

Kadang saya bertanya-tanya, bagaimana ya bisa memunculkan budaya kritis dan berani bertanya. Saya ingat waktu di sekolah dulu, jangankan kritis, lha wong guru udah nyuruh kita bertanya aja semua pada diam. Diam karena takut salah bertanya atau ditanya balik lagi, karena takut malu karena pertanyaannya jelek, karena takut menyinggung guru, dan diam karena benar-benar tidak tahu apa yang bisa ditanyakan. Semua materi pelajaran masuk otak seperti makanan yang ditelan tanpa dikunyah. Guru menjadi momok yang sangat menakutkan. Guru dalam banyak hal selalu benar, selalu harus lebih pintar, dan lebih bermoral. Karenanya mereka senantiasa harus dihormati dan dipanggil dengan bapak atau ibu.

Kalau dengan budaya feodal dan materialistis, bagaimana dan apa yang anak-anak kita pelajari dengan baik ya? Mudah-mudahan bukan budaya feodalisme dan materialisme lagi?

Monday, November 27, 2006

Australian or Not Australian

Kami sekeluarga menonton final Australian Idol tadi malam, bukan di sydney Opera House tapi di depan layar TV di ruang tamu... :) Sejak 10 besar saya dan suami sudah menjagokan Jessica Mauboy, sedangkan Elka dan Farhan punya jago sendiri yang tampangnya lebih keren dan macho. Dalam acara final tadi malam tinggal dua pilihan, yaitu Jessica dan Damien Leith. Akhirnya kami harus menerima kenyataan bahwa Jessica kalah.

Memang harus diakui kami pro Jessica bukan hanya karena suaranya yang luar biasa dan penampilannya yang sangat meyakinkan, tapi juga karena asal usulnya. Orang tuanya merupakan dari Ambon dan Aborigin. Dan dia masih 17 tahun umurnya. Jauh dibandingkan dengan Damien yang umurnya 34 tahun.

Kedua calon itu memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Terlihat dari siapa yang mendukung kedua calon itu. Jessica didukung oleh komunitas Aborigin dan penduduk Darwin. Bahkan premier Darwin sendiri turun memberikan dukungan dan sangat bangga atas prestasi Jess. Tentu saja, penduduk Darwin memiliki sentimen kedaerahan untuk mendukung Jessica karena Darwin bukanlah daerah yang mainstream diantara daerah dan kota-kota lain di Australia. Diam-diam komunitas Indonesia mendukung Jessica, tapi tidak di highlight sama sekali. Dukungan ini hanya melalui 'world of mouth' saja. Saya pikir mungkin lebih baik begitu, karena jika Jess diasosiasikan dengan Indonesia --yang imagenya cukup negatif di Australia--, bisa jadi malah menurunkan dukungan terhadap Jess.

Di pihak lain, Damien, didukung oleh komunitas Irlandia, dan teman-teman kantornya. Walaupun tarian dan bendera-bendera Irlandia dipasang untuk mendukung Damien, tapi hingar bingar dukungan mereka tidak seheboh penduduk Darwin yang berkumpul untuk mendukung jessica tadi malam di pusat kota Darwin. Maklumlah, respons penduduk rural pasti lebih komunal. Walaupun Damien tinggal di Sydney, masyarakat Sydney yang urban dan sangat 'kota' sebagian mungkin tidak terlalu perduli untuk datang ke opera house. Bisa jadi dukungan mereka cukup dengan mengirim SMS saja. Walaupun begitu, justru ini yang menentukan, idol ini kan perang SMS. Jumlah telepon genggam di Darwin tentu jauh lebih banyak di Sydney.

Voting SMS lebih banyak untuk Damien sehingga Damien lah yang dinyatakan menjadi Australian Idol 2006. Saya kira, Damien mendapat dukungan banyak karena jenis lagu yang dinyanyikannya adalah lagu-lagu melankolis dan lagu religious. Mungkin dia dianggap mewakili kelompok anglo. Tapi rupanya ada juga perspektif lain yang Amir dengar dari perbincangan di radio, bahwa ada sebagian pemilih yang memilih berdasarkan kewarganegaraan. Jessica tentu saja adalah warga negera Australia asli apalagi dari keturunan Aborigin, sedangkan Damien statusnya bukan warganegara. Dia baru dua tahun tinggal di Australia, dan masih berstatus permanen resident.

Begitulah politik idol; dari sentimen agama, etnis, dan bangsa berperan. Fenomena rural-urban dan ekonomi di dalamnya juga bukan tidak berpengaruh.

Saya merasa kecewa Jessica tidak menang karena suara dan kepiawaian Jessica dalam bernyanyi itu luar biasa dan selalu dipuji oleh Juri. Hal ini berbeda dengan Damien yang pernah salah satu juri berkata 'no' dalam seleksi awal, dan seringkali mendapat kritik tajam dari juri.

Walaupun Jess tidak menjadi idol, saya kira ia akan menjadi penyanyi terkenal nantinya. Hehe... yang terakhir ini sebagai pengobat hati, karena Jess sudah mengambil hati saya dan keluarga...

Saturday, November 25, 2006

a bad mum with good boys

They are amazing.

Last night I felt guilty. I worked the whole day until midnight and then discovered that my children and husband did not touch the dinner I prepared. I am sure they ate junkfood and fruits there in the fridge.

This morning I made fried rice, bbq chiken and lalap. I was happy to bring these food to elka and farhan's mouths while they were playing xbox, though I was not so happy with this 'preservation' of lazy tradition.

After breakfast I continued working with my notebook until I noticed that elka and farhan were packing up their toys, facuum cleaning, cleaning their bedroom, washing dishes, and mopping kicthen floor! My godness!

From my room I can hear they are writing because I heard elkana and Farhan asked my husband manytimes how to write few words!
Oh, what a good boys!
This is the best saturday I have, without 'marah-marah', without asking 'please'.

Uuuups, Elkana just came and give me a peace of paper which he called 'menu' and asked me to order! What a surprise!

Many times I felt I was a bad mum and wife. I did not take care much of my children and my husband. Of course I did many things, from helping them reading, accompanying them praying, playing connect four and other toys, cooking, bring and get them from school, bring them to swimming pool, baking cake. ect... Many times I was in an intersection whetwer I should coninue writing or should stop to prepare lunch boxes etc and being them to school. Whether I should packing up house or just dont care and continue reading. Whether I should go shopping or buy fast food to save my time...
I might be a bad mum, but I feel today I was succesful to have a very good boys!

I have to finish this... coz Elkana is coming with my ordered food!: toast with strawberry jam and butter; cold bubur kacang hijau with milk, and a bottled water... :)

Elka, Farhan, Amir, I love you guys...

Friday, November 24, 2006

On School Day

A Story by Farhan

On school day I played a cricket with my friends.
Then I saw an old lady holding an umbrella.
Then the bell rang. Then I done a lot of works.
Then the old lady go to the city.
Then the old lady ran away.
And she said "aaaauuuch...."
And then she went home.
Then me and Elkana went to Aftercare.
Then that was the end.

My Holiday

I am going to sydney for a holiday.
I am going next year on sunday.
I was excited about going to sydney.
I am going to sydney opera house.
I am going to have new friends and Sam is comeing to sydney.
I hope fi i can see Jessica* there. but maybe i can see Jessica or not.

by Elkana

* Jessica is the candidate of the Australian Idol.

Friday, October 06, 2006

Bebas hutang....!!! horeee...

Senangya hatiku membaca berita di media nasional, bahwa Indonesia hari ini melunasi hutangnya ke IMF! Sepertinya tak percaya. Ah masa iya sih. Coba lihat beritanya di sini. Tapi kok gak jadi berita utama ya? (hm politik media nih...-- good news is not news; bad news is good news?).

Perasaan dulu wacananya kok sulit sekali bebas hutang, eh ndilalah ibu menteri keuangan ini tiba-tiba membuat kejutan melalui BI. Mungkin gara-gara doi marah akibat disuruh mengembalikan hibah tempo hari. Memang aneh. Lha wong bantuan hibah kok suruh dikembalikan semua gara-gara ada indikasi korupsi, padahal uangnya sudah dipake. Sebenarnya kalau kita berhutang, yang senang lembaga yang memberi hutang. Selalu untung secara ekonomi dan selalu benar secara politik.

Memang hutang gak seberapa, tapi imbasnya lebih parah: membuka peluang korupsi, merendahkan martabat bangsa, memanjakan dan memperkaya pejabat, melemahkan semangat bekerja, dan membuat tidur tak nyenyak.

Akhirnya, senangnya merdeka dari hutang. Iya, rupanya di Detik banyak berita itu. Jadi lega rasanya. Semoga Indonesia tidak terjebak berhutang lagi.
Merdeka!

Wednesday, September 20, 2006

A sweet letter from Elkana

Dear Elkana and Farhan,
I just want to let you know that
the letter below is the best findings of my whole research
in Indonesia this year.
love,
mum





































Jakarta, 20 September 2006
(Thanks Sajad for scanning the letter)

Wednesday, August 23, 2006

Kemerdekaan Yang Sepi

Hari ini hampir di tiap RT dan kelurahan
masyarakat merayakan kemerdekaan Indonesia
sebagai sebuah negara kesatuan yang berdaulat

Hingar bingar
warna warni
gegap gempita
manusia berbaris, berkerumun, bergerombol,
berdecak, bernyanyi, bertepuk
sorak sorai membahana
pesta rakyat

tapi tidak di sini
sunyi, sepi, tenang
seperti hari biasa yang tidak istimewa
tak terlihat pesta, tak terlihat suka cita
semua tenang
santri tetap pergi mengaji
jalan desa berbatu nan terjal tetap sepi
pohon-pohon tak berhias
dalam nuansa nyaman, teduh dan bersahaja
sampai senja datang

malam menjelang
sepi semakin senyap
cahaya temaram mulai terlihat hanya dari beberapa rumah
kegelapan menjadi bagian dari kehidupan

pintu rumah tak terkunci
jendela tetap terbuka
tak ada yang dikhawatirkan
semua merasa bersaudara
semua merasa aman

suara jangkrik semakin keras terdengar
mengakhiri hari yang dianggap sakral
kemerdekaan hadir disini dalam nuansa yang berbeda

kemerdekaan dari aliran listrik
kemerdekaan dari materialisme
tanpa TV, radio, kulkas, apalagi motor dan mobil
kesederhanaan yang mendamaikan

Dirgahayu RI yang ke 61
Kaligintung, Bumiayu

Thursday, August 10, 2006

Elka's stories

Elka called me this morning at 04.30 Jakarta's time from Melbourne. He was so happy. He told me that one of the plants in our flat is flowering. The flower is purple with yellow color inside. He said that the second plant is going to flower too. Elka promised me to write everything about the flower and will show the story to his class teacher, Sue.

Elka told me that he made a redbean float with a watermelon and an eaten umbrella (hm yumm..). He got the recipe from Sue. He would like me to try his redbean later when I back home.

He also said that he always brushes his teeth every morning and night, and he takes care of Farhan too. What a nice stories...

Few days ago, on the phone I promised Elka that I will try to shorten my work in Indonesia and go back as soon as I can. In the morning, he did not ask me to come home faster, but I promised my self to try to work harder so I can go home to be with Elka, Farhan, and Amir. I love you guys...

Jakarta

Thursday, July 27, 2006

I'm gonna miss ya!

It's always the same. It is so hard to traveling alone without my family. I am not talking about two or three days, but two to three months! This time I feel even harder because Elka and Farhan are grow up.

I delayed my departure date four times already. But the time is running out, and no more delay is possible! I have to go tonight.

Two months ago when I talked to Elka and Farhan about my fieldwork plan to Indonesia, they said "well, OK, you can go...". But two weeks ago they said "I want to go to Indonesia with you". This morning Elka said "Oh no..., can you stay one more day with us?". Farhan said sweetly, "can I go with you please?" Farhan even tried a little bit harder to make me stay. He warned me with stories about airplane crash and said that going by airplane is very very dangerous. Finally Farhan said, "OK, you can go, but you have to bring Turkish delights and skipping rope from Indonesia for me" :) Elka said OK and warned me to be very careful with earthquake and tsunami. Finally I went to the airport....

When we separate from our loves ones, we will more appreciate the time when we are together. I miss you guys.....!

Singapore, 27 July 2006

Sunday, July 16, 2006

1st Day to School

Farhan was so happy at his first day at Moreland Primary School, February 2006.


Farhan was still happy although in his third week at school he broke his collarbone.


Akung and Uti





Akung & Uti with us at Melbourne city January 2006












Akung & Uti @ Yarra River Jan 2006

My Family











Melbourne, Dec 2005 Melbourne Museum, 2005

Saturday, July 15, 2006

Neerav's Birthday

Story by Farhan, written by mum

Neerav and me played outside in his party. The party is new and I played with Neerav and I liked it. The party and I had fun. I ate chips and chicken nuggets at McDonald. We played pass to puzzle and this party is in McDonald. There are seven peoples and I got so fun. And I played with everyone in the birthday. And I liked Neerav's birthday.

School Uniforms: Symbol not Substance

I am very sad with several news particularly regarding schooling. Detik.com investigated and found that in Riau each student has to pay 1,5 million rupiah for new school uniforms. My Godness! That's in Riau and in government schools. Can you imagine how much those will be in Jakarta and other big cities, and in private schools?

What's uniform for? The concept of wearing school uniform is very good indeed so students will feel in the same stage with their fellows coming from different economic class. No glamorous and fancy clothes wore at schools. However, these school uniforms have functioned more than their main goal. Now it is the schools which want to have different kind of uniforms beside the national school uniforms. This happens from kindergardens! The majority of kindergarden has at least three kinds of school uniforms, t-shirts, sports, and batik.

Excuse me, what are those uniforms for? For students to be comfortable? For schools and teachers to be proud of? For social status? Why schools issued regulations that these school uniforms are a must? No school uniforms, no class. How could be? Do they forget that most of Indonesian family live close by the poverty line? Its ridiculuos. We spend a lot of energy to decide, design, tailor, sell, and put regulation of school uniforms only for social status! Oops, I almost forget, its for economic benefit of certain people, off course. So, parents have to work very hard only for social status of the schools and feed several people who tailored and sold the uniforms. Talking about economic benefit, this uniform case is almost the same with the school texbook policy, where printing companies, the authors, and few functionaries, through the system called "proyek" get most benefit. I will call this as an economic exploitation.

Our schooling system is misleading. It stresses symbols out of substance and learning process. We are very busy to deal with uniforms, performances, but forget that the most inportant thing is learning. No surprised several month ago a primary school student committed suicided because his school uniforms were wet in the morning he should wore it. Schools are too harsh on the uniform regulation. Students are educated with materialistic and symbolistic learning. Dilligence (going to school without absence) and neatness (including wearing uniforms) are parts of evaluation. This happens in a higher education too where there are regulations regarding clothes, shoes, hair, and head scraf.

I am afraid we give too much emphasis on symbol, most importantly religious symbols. Wearing hijab, jubah, peci, and other religious symbol will be regarded good people (off course some of them are). And each of us should have a religion and be good person or look like a good person. People concern too much with symbolic religiosity. Therefore some people use religion (religious symbols) for their own policial and economic benefits. These people selling religion for anything, such as members of parliament, and popular leaders. The problem is their 'selling' is salable. Why because we are educated by materialistic symbols not substance, I am afraid...

Friday, July 07, 2006

Retired? Congratulations!

I am very pleased to get a letter from an old friend who I consider as my guru, Prof. Issa Shivji. He invited me to attend his valedictory (retirement/farewell oration) gathering from his position as the Dean of the Faculty of Law, the University of Dar es Salam, Tanzania. Unfortunately I will not be able to attend due to long distance from where I stay now to Tanzania.

Valedictory is not that everyone loves to do that, I suppose, because retirement has become a frightening image. Yes, a post power syndrome. However, that is not the case of numerous intellectuals such as Issa. He is happy to face his retirement days. In fact, he arranges his farewell oration with the launching of his new book:

LET THE PEOPLE SPEAK
TANZANIA DOWN THE ROAD TO NEO-LIBERALISM

His son will read a poem at this farewell party too. I imagine this would be the great day for him.

Many emails from his colleagues express the happiness that he will retire. One of the emails that I really want to borrow says “I do wish to put on record our appreciation and debt to you for your immense intellectual contributions and for all you have taught us. I am confident that your retirement will be even more fruitful, and we look forward to continuing to benefit from your scholarly and other activities.”

I knew Issa from the project of “Philanthropy for social Justice in Muslim Societies”, funded by the Ford Foundation. I was in debt for his thoughtful, valuable, and wise comments and advice he wrote in the mailing list exchanges between members of the project. It was so difficult to manage a huge project that covers five countries in Africa, Asia, Europe, and Middle East. As a project director, I have to deal with different culture and intellectual background of numerous scholars and activists who I didn’t know before. Tiring debates, criticism were my everyday menu including only to decide the date of our global meetings. The most harsh discussion was about the philosophical and practical aims and theoretical frameworks of the project. I actually felt so small between those doctors, professors and activists, members of the project. One day I got a letter for a professor in India to consider his university to run that project in India. He said in his letter, “Dear Prof. Fauzia.” Oh my God! I haven't even started a Ph.D study yet.

What made me strong were the voices of these wise, excellent, and experienced academics that guided the project through difficult times and respected my existence. Voices? Yes, because the project was run mostly through emails and phones. I was really in debt to several members, Abdu (Abdullahi Ahmed An-Naim), Marwa el-Daly, Lyn Welchman, Suzanne E. Siskel, Emma Playfair, and Christopher Harris, and my colleagues at the Center for Language and Culture. I knew Issa via this global project. Although for several reasons Issa resigned few months after the Bali meeting, the members of the project were still respect him.

The global project was over by the International conference in Istanbul in November 2004. However the networks it had created are long lasting. I thank God that through this project I learned many things and now I have wonderful friends and gurus from many different countries. One of them is Issa. I am very proud of him.
Amelia

Wednesday, July 05, 2006

Conference Blue...

"When I am feelin' blue, all I have to do is a take a look at you..."
This song could not help me, this time. I feel like I have soo many things to do but I lost in space.

This is not because of my thesis writing as I feel that my adrenalin is still up since my last draft got many question marks from my supervisor. I like it! I think the best supervisor is that someone who criticizes your works and asks difficult questions.

This is not because of my children. In fact they are very well behave especially with my yes and no regulations.

Yes, its because of a conference. Actually this conference is not a big deal to me. Its not in my dreaming country to visit and not too big forum. It has quite general topic, not specifically relevant to my thesis. Sure, I like to attend and present my paper there because few things. First, I like to discuss my thesis with international reputation sociologists and historians, and other scholars of Asian studies there. Second, I believe that this forum has good intellectual atmosphere that will make my brain works hard to answer questions. Third, I want to see my friends. Last, its location and date are well fitted with my field work plan.

What make me blue is not that my abstract fails, but the uncertainty it made. I have been waiting for almost a month only to know whether my abstract succeeds or fails. Two weeks ago the convenor of the forum said that my abstract is shortlisted and I have wait another week. Hgh, its unprofessional. I imagine if I succeed I will say in the forum I am sorry I havent finished my paper.

It looks like this uncertainty cause no problem, but it is not, for sure. I have to wait its announcement so that I could have a certainty how much additional funds will I have for my field research including attendance in this forum. I have to delay my flight schedule. I have to delay to apply for getting travel insurance because it needs info how much funding I get from university. I havent started to write the 5,000 words paper in fact the forum date is three weeks to come. Fuih, this late announcement really made me blue.

Actually, I am not so interested to attend a conference anymore (maybe with exceptions of country I havent been there such as South Africa and Russia :)) Conferences are monotonous and boredom if I dont have friends there. I think I have enough links and networks so what I need now is a critical forum specific on my subject. Beside that I need a forum from which my paper will become a part of a book chapter, and a summer school where I can dig more historical resources important to my thesis or improve my thesis theoretical framework. Haha (laugh), apart from this conference blue I still have some dreams to catch up. Who knows? If we cant get to Jupiter, getting March has already become an amazing milestone.

Sunday, July 02, 2006

Going Back for Good

..

These months many of our friends are going back to their countries for good. Farhan's best friend, Neerav, a Nepalese boy, is going back to Nepal. Neerav's mum has finished her studies at the University of Melbourne. Farhan was very exited to talk to and play with Neerav at Neerav's birthday party as well as his family farewel party. All the best for Neerav's family. Hopefully we could see you again, sometime, somewhere....

The most sad one is that Elkana and Farhan are losing their very best friends, Anugrah and Safira. Both are very cheerful and nice mates. Now, they are staying in Indonesia for a year until their mum finishes her fieldwork. They will go back to Melbourne again next year! We are waiting for you guys to be our special neighbour.. :)

We have been waching people come and go. Sooner or later, our time will come too that we have to leave Melbourne and go back to our country, Indonesia. Time goes very fast. An Arab's proverb says "al-waqt ka al-sayf", the time is like a saber, if you are not careful use it, you are cut by its blade.

the pizza

by farhan

i put tomatto and i put sausages and
. i put cheese and i put pineapple and
i put the pizza in the oven.

M.r. jack


by Elkana


M.r. jack was buy his new robot. He makes the robot new then he make a car then he say I make lot fo thing. M.r. jack is good because he is a maker he allways makes a thing.

Saturday, July 01, 2006

THE pizza

by Elkana
When i make the pizza i put the tomatto first . Then i put the pineapple. then my mum cut the sausage. i put the cheese then my mum puts the sausage. then me and my mum put the pizza in the oven for 20 minutes. Then my mum open the oven then we eat the pizza.

Thursday, June 22, 2006

Better Than Thou

A quote today: Holier Than Thou

"A distinguished Turkish gentleman said to me recently, 'I have no problem with beards or veils or religious symbols. The most important thing for me is to worship God with my heart and soul.' If we weren't so busy judging others we might have the time and inclination to do just that." (Lubna Hussain, Holier Than Thou. Ms Hussain is a Saudi writer based in Riyadh.)

There is no problem in criticism. But some peoples are judging others to say that they are better from others, overlooking and covering their own foibles. Then few of them usually will velify anything coming from others without having solution. Thanks God they are only few, I hope :)

Amelia

Wednesday, June 21, 2006

Write Blogs and Play XBoxs

Video games are crazy. This industry 'teach' children to understand mostly the very bad of our world: violence and wars. Most of the games are full of violence, some of them from success movies such as starwars.

However, our struggle to avoid xbox -- one kind of video games-- from Elkana and Farhan, failed. Xboxs, play stations, and nintendos are anywhere in our neighbors' houses, in after school care centres, in holiday programs, in school children talks, in TVs, movies, and supermarkets.

Fuih, yes. We have one. But now, I have many good reasons to keep it. Among others are learning about disciplines, learning to read (the instructions), time values, money values, and the most important one is encouraging Elka and Farhan to write. "No eat no play" and "no write/read no play" have become their customs. Writing becomes so enjoying for them as they know the reward they will get: an hour playing xbox. Now they are enjoying to write in blogs too because they see their works on the internet. That's why this blog have few short stories of Elka and Farhan, and Ardhiya (Elka and Farhan's friend), who came to play xbox at home. Yes, the rule "no write no xbox" is for everyone including guests!

Xboxs and blogs make my life easier.

Star Wars: THE FINAL DUEL by Ardhia

In a galaxy far far away, on the paths of the crumbling planet of Sarateena. There stood two men, one by the name of Leam Oak-a Jedi Sentigular- who wishes to be the savior of the entire galaxy but the other... Darth Axlon-a Dark Sith Lord-wishes to conquer the entire galaxy, in other words-wishes to be the conqueror.

The duel had started and both men ready their lightsabers and leaped on to one another. They fought in mid-air for a short while and landed on the ground. Leam threw a boulder at Axlon but it missed, Axlon payed back by throwing two giant boulders but it also missed. Now that they know that throwing boulders is useless they fought again with their lightsabers.

The final moment had come, both men unleashed their most powerful Force Power to decide the end of the duel. Leam or Axlon, saviour or conqueror. To be continued...

Sunday, June 18, 2006

starwars

by Elkana

In the galaxy there is planets armies and building and lots of machines. In republic and cis they have wars but they dot stop wars and they get armies because they make more armies. But they never stop makeing things they make nus and they make so many robots but they nevar be tems. they are not fres and they make leaders and they make weapons and lot of things to make. the republic have 75683 armies and cis have 61129 but the cis will make more that is 50.

Whitty is from farhan

by Farhan
when i go to someone house i got a rabbit and i went home and i playd computer and i had haue a rabbit. but i forgot my rabbit i cant find my rabbit on time. i look and look and look and i find my rabbit. tomorrow will be holiday and i had breakfast with rabbit and i sleep with whitty .

Friday, June 16, 2006

Cats cats and moro cats

by Elkana

One day in the house their is joe and dad and mum and me and cats but the cats are going to the city. their peoples and buildings the cat when to the petshop and he saw lotsof cats. Then the cat open the cage then the cats run outside. then the cats follow the cat he went to home then the cats help the cat to open the door. Then moro cats then moro cats came to help the cats. when the door opens joe saw somany cats. then me and joe give the cats food.

Tuesday, June 13, 2006

Super Mummy

Akhir-akhir ini kami suka menonton acara "Super Nanny" di televisi. Dalam acara ini, seorang nanny yang sangat cerdas diminta bantuannya untuk menolong sebuah keluarga yaitu 'merubah' perilaku anak nakal dan sulit diatur. Super Nanny tinggal bersama keluarga tersebut untuk menganalisa apa yang salah. Kemudian ia membuat aturan dimana orang tua dan anak harus melakukan hal-hal yang dimintanya dalam rangka perbaikan. Dalam satu-dua minggu keluarga bisa berubah menjadi harmonis dengan anak-anak yang baik.

Tayangan super nanny yang lalu, mengenai sebuah keluarga single parent, yaitu seorang ibu dengan tiga anak perempuan yang cantik berumur kira-kira enam, empat dan tiga tahun. Rumah keluarga ini bersebelahan dengan rumah kakek-neneknya yang senantiasa membantu si ibu muda ini menjaga anak-anaknya. Diperlihatkan banyak cuplikan perilaku ketiga anak tersebut: dari yang sekedar membuat ibunya sibuk, seperti menumpahkan makanan dengan sengaja dan melempar kursi termasuk ke tamu; membuat marah, seperti meludah ke ibu dan kakeknya; membuat malu, seperti berteriak-teriak dengan kata-kata kotor; sampai yang membahayakan, seperti lari ke jalan besar yang ramai. Tidak lupa juga diperlihatkan cuplikan bagaimana si ibu berteriak-teriak marah, mengucapkan kata-kata tidak pantas, berperilaku kasar ke anak-anaknya, dan selalu meminta bantuan sang kakek dan nenek.

Satu pesan yang jelas terlihat dari apa yang dilakukan super nanny adalah bahwa perilaku anak itu sebenarnya berasal dari orang tua mereka sendiri. Anak meniru apa yang mereka lihat dan dengar setiap hari, dan bagaimana mereka diperlakukan. Padahal sebenarnya anak-anak itu mencari perhatian ibunya yang mereka anggap tidak sayang kepada mereka.

Karenanya, treatment super nanny biasanya adalah, pertama, membuat komunikasi yang baik antar orang tua dan anak. Saling mendengarkan dan memberi feedback, dan orang tua harus selalu menjelaskan alasan atas tindakan yang dilakukannya. Lebih banyak meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas bersama. Kedua membuat aturan yang jelas dengan reward and punishment-nya. Ketiga, merubah sikap orang tua itu sendiri yang menimbulkan kesan buruk dan ditiru oleh anaknya.

Waktu nonton, saya dan Amir sering tanya ke Elka dan Farhan pendapat mereka. Syukurnya mereka selalu bilang itu perilaku anak dan ibu yang tidak baik. Kadang kami saling mengingatkan siapa yang bandel akan ditaro di naughty corner seperti yang dilakukan super nanny. Jadi sekarang kalau mengingatkan Elka dan Farhan saya sering menggunakan gaya super nanny: memberi peringatan pertama dan menjelaskan kenapa misalnya tidak boleh teasing, memberi peringatan kedua dengan ancaman tidak akan dibelikan mainan. Dan, tidak perlu ancaman ketiga, super mummy berhasil...

Memang, super nanny bukan inspirasi pertama kami. Sebagian besar inspirasi memperlakukan Elka dan Farhan berasal dari mengamati tingkah laku para pendidik di sekolah dasar, TK dan childcare, berikut program mereka. Sebelum tahu acara super nanny, dinding ruang keluarga kami juga sudah dipenuhi dengan (1) hasil karya Elka dan Farhan, (2) beberapa perjanjian yang menyangkut game, beli mainan, dan hadiah coin untuk ditabung, dan (3) indikator stars (apresiasi atas good works) yang dilakukan oleh Elka, Farhan, mum and dad. Tentu saja, Elka dan Farhan-lah yang bintangnya paling banyak... :)

Asik juga nonton super nanny ini. Selain dapat hiburan, kami juga dapat banyak pelajaran yang sering kali mengingatkan perilaku masing-masing.

Wednesday, June 07, 2006

Ayo Bangkit Jogja!

by Amelia

Sedih? sudah pasti.
Bagaimana tidak sedih kalau ada anggota keluarga mereka yang meninggal atau luka parah akibat tertimpa bangunan ketika gempa terjadi (Sabtu, 27 Mei 2006)? Bagaimana tidak sedih kalau rumah mereka rata dengan tanah dan mereka harus tinggal di tenda-tenda darurat (yang benar-benar darurat!). Bagaimana tidak nelangsa kalau untuk mencari makanan dan air minum saja sulitnya setengah mati? Bagaimana tidak nelangsa kalau saudara dan famili mereka yang sakit tidak mendapat penanganan serius karena keterbatasan obat-obatan dan fasilitas? Mereka menjadi pengungsi di kampung sendiri!

Memang ada yang saking kepepetnya sampai mencegat mobil-mobil bantuan dan meminta-minta dipinggir jalan, sampai ada yang bunuh diri karena tidak kuat menanggung derita. Tapi sebagian besar para korban gempa ini punya mental yang baja karena sadar bahwa kehidupan harus terus berjalan.

Mental baja itu terlihat pada anak-anak SD di Widoro Chandran, kecamatan Sewon, Bantul, seperti yang terlihat difoto hasil jepretan wartawan The Jakarta Post. (Detail berita lihat: http://www.thejakartapost.com/detailheadlines.asp?fileid=20060606.@02&irec=2)
Mereka tetap berusaha untuk menempuh ujian akhir di halaman sekolah mereka yang tinggal puing-puing. Mereka berusaha melupakan trauma dan kesedihan.

Mereka benar. For their own future, life must go on!
Bangkit Jogja!

Tuesday, May 30, 2006

Belajar dari Muhammad

Saya sedang terheran-heran dengan perilaku manusia yang aneh-aneh terlebih lagi yang sadar atau tidak sadar menyakiti orang lain. Kemudian saya berfikir sikap terbaik apa yang harus dilakukan menghadapi sikap dan orang seperti itu. Setelah melihat contoh sana sini, sampailah akhirnya saya terkagum-kagum dengan Muhammad, pribadi yang sungguh luar biasa.

Memang dari kecil sih saya sudah dicecer kalo Muhammad itu Nabi pilihan, nabi terakhir, yang harus dipuja-puji (dengan shalawat), diingat, dan dijadikan contoh. Tapi ideologisasi itu akan sia-sia belaka jika tidak ada pembelajaran tentang Muhammad. Bahkan ideologisasi itu bisa berubah menjadi sakralisasi yang efeknya bisa sangat bertentangan dengan substansi ajaran yang dibawa Muhammad, semoga shalawat dan salam terlimpah untuknya (bahasa Arabnya sallallahu alaihi wasallam).

Masyarakat dunia sudah banyak memberikan apresiasi sehingga menjadikkan Muhammad sebagai satu dari beberapa gelintir tokoh dunia. Tapi sayang, banyak dari umat Islam yang mencintai dan memujanya tanpa mendalami substansi ajarannya. Bayangkan saja, banyak yang kerjanya setiap hari bershalawat dan membela mati-matian nama Muhammad dengan cara kekerasan, mengeluarkan sumpah serapah bahkan mau membunuh orang yang dianggap merendahkan Muhammad. Tindakan ini jauh dari apa yang dicontohkan Muhammad itu sendiri.
Bayangkan, Muhammad tidak saja secara psikis direndahkan, misalnya dengan perkataan kotor, tapi juga secara fisik mendapat kekerasan dari kaum dan orang yang tidak setuju dengan ajarannya. Kayak jaman sekarang juga sih. Kelompok yang tidak setuju itu cenderung menolak dengan anarkis, bukan dengan jalan dialog yang justru bisa mencerahkan dan memberi damai buat semua pihak. Muhammad beberapa kali dilumuri pakaiannya dengan kotoran dan dilempari batu, masih bisa tersenyum. Bahkan ketika orang yang mengganggunya itu sempat absen karena sakit, Muhammad menjenguknya! Bayangkan saudara-saudara....

Jadi kalau dihina oleh orang lain, dibohongi, difitnah, disakiti, tidak perlu gundah dan sakit hati. Toh yang sebenarnya lebih gundah dan sakit hati itu orang yang menyakiti kita kok. Jadi kita tidak perlu sakit hati juga yang hanya akan menjadi penyakit menahun dan membuat hidup kita sulit. Memang tindakan itu tidak bisa didiamkan. Itu pelajaran berharga. Tapi tidak perlu dibalas dengan tindakan yang sama, karena berarti kita podho wae sama orang yang menghina kita itu. Jadi be happy. Ambil sisi positifnya.

Semakin saya kagum saja sama pribadi Muhammad..., semoga salawat dan salam dilimpahkan untuknya.

Wednesday, May 24, 2006

"Charity Jalanan"

Membuang barang di pinggir jalan, mungkin bisa dianggap hal sepele. Tapi tidak yang ini. Di Victoria ada tradisi untuk membuang barang yang masih layak pakai. Sering kali di pinggir jalan ada tumpukan barang, seperti kulkas, kasur, sofa, alat masak, pemanas, kereta bayi, sepeda, baju, sampai komputer. Barang-barang ini dibuang oleh pemiliknya karena barang itu rusak atau karena tidak dibutuhkan lagi, entah karena pemiliknya pindah rumah, pulang kampung for good (seperti mahasiswa), atau karena barang-barang itu dianggap sudah ketinggalan zaman. Menariknya, si pembuang itu paham betul bahwa barang yang dibuang itu nanti bisa dimanfaatkan oleh orang lain. Jadi membuangnya pun terkadang begitu rapih. Misalnya kalau membuang TV dan alat elektronik, barang-barang itu dibungkus plastik atau ditaro dalam kardus supaya tidak kena air embun dan hujan, dan juga disertakan remote control dan buku panduannya.

Ini tradisi charity yang tanpa pamrih. Si pemberi tidak perlu perlu sanjungan dan ucapan terima kasih. Sedangkan si penerima tidak perlu sungkan. Charity ini juga terbuka untuk semua kalangan tidak terbatas pada agama, etnis dan bangsa, tapi tentunya diprioritaskan bagi yang rajin jalan-jalan... :) Soalnya kalau ada barang bagus ditaro dipinggir jalan, satu jam saja pasti barang itu sudah lenyap, alias ada yang mengambil. Charity ini juga tidak mengenal administrasi dan kolusi. Tidak hanya yang mengambil merasa beruntung, yang menyumbang pun senang karena tidak perlu pergi jauh-jauh untuk membuang barang.

Bagi kami mahasiswa, charity jalanan ini cukup membantu. Paling tidak, bisa mengurangi biaya pembelian barang. Apalagi kebanyakan mahasiswa itu mencari barang dengan hunting dari satu garage sale ke garage sale yang lain. Nah, kalau dapet barang gratis kan namanya untung banget. Kadang saya dan Amir terheran-heran mencoba mencari tahu kenapa barang yang masih bagus itu dibuang. Seperti dua minggu yang lalu kami mendapat CPU pentium 4 yang bagus, lengkap dengan CD RW-nya. Heran kan? Jadi Elka dan Farhan bisa bersenang hati karena mereka punya komputer sendiri. Bersepeda bersama pun tidak masalah, karena kami masing-masing punya sepeda dan punya helm, yang diantaranya didapat dari charity jalanan itu...

Pihak pemerintah daerah pun memfasilitasi pembuangan barang sekaligus charity jalanan ini. Tiap wilayah punya satu hari tertentu untuk membantu masyarakat membuang barang (dengan cara diletakkan di pinggir jalan) dan sekaligus membiarkan masyarakat untuk mengambil barang-barang itu. Pemerintah juga senang, karena barang yang harus diangkut ke tempat pembuangan jadi sedikit. Tadinya saya kira hanya student yang berminat dengan barang-barang itu, rupanya saya salah. Pedagang barang bekas mendapat banyak keuntungan dari menjual barang yang dia pungut dari pinggir jalan. Bahkan ada orang-orang tertentu yang kerjanya mengorek-ngorek tempat sampah untuk mencari barang bekas. Dan yang lebih ekstrim lagi, ada kelompok freegan yang mencari makanan dari tempat sampah supermarket! Kalau ini sih alasannya lebih ideologis, karena menolak membeli makanan karena bisa memberi keuntungan kepada kelompok kapitalis.

Jadi dari membuang barang di pinggir jalan itu bisa jadi mencakup beberapa kegiatan: charity, recycling, dan (make a) living.

Monday, May 22, 2006

Paw paw?

Akhir-akhir ini Elkana dan Farhan lagi rajin masak dan bikin kue. Tentu saja mamanya harus juga berkecimpung untuk membantu hal-hal yang mereka tidak bisa lakukan. Saya benar-benar menikmati saat-saat itu, walaupun kerja keras harus dilakukan untuk membersihkan dapur yang berantakan seperti kapal pecah.

Minggu lalu Elka membawa pulang newsletter dari sekolah yang ada resep membuat Fruit Loaf. Setelah kami baca bersama resep itu, rupanya ada satu bahan yang kami tidak tahu, namanya paw-paw. Elka sama Farhan sampai tertawa terkekeh kekeh ketika mendengar dan mengucapkan 'pawpaw'. Sampai-sampai pawpaw menjadi jokes kami. Akhirnya ketika kami pergi berbelanja, kami hunting pawpaw. Elka sudah berani bertanya langsung ke staff supermarket namun hasilnya nihil karena menurutnya saat ini pawpaw tidak ada di pasaran karena tidak musim. Saya bertanya ke seorang ibu yang asik memilih buah kering. Dia menjelaskan bahwa pawpaw (dibaca pupu) itu bentuknya seperti buah melon. (Kami belum mudeng juga seperti apa sih pawpaw itu). Tapi sayang diantara buah kering yang ada di rak, pawpaw tidak ada. Jadi kami hampir pulang dengan kecewa. Rupanya si ibu orang australia yang kami tanya tadi tidak menyerah dan datang membawa sebungkus kecil pawpaw kering ke kami yang sudah di meja kasir. Wah, baik sekali itu orang... Pawpaw seharga $4 itu akhirnya kami bayar dan kami pulang.

Belum sampai di rumah, tidak sabar saya buka bungkusan pawpaw-nya. Bentuknya seperti buah kering lainnya, dipotong segi panjang dan berwarna merah. Saya coba cicipi, sedikit crunchy, dan rasanya manis. Hmm, enak juga saya bilang. Dan semua ikut mencicipi. Hanya saya bilang, sepertinya saya tahu dan pernah makan buah kering ini. Tapi dimana dan buah apa, saya tidak ingat. Setelah makan agak banyak, barulah saya ingat, bahwa ini adalah manisan pepaya! Jadi pawpaw itu PEPAYA! Kami semua tertawa terkekeh-kekeh termasuk Elka dan Farhan. Mereka masih ingat kalau kami punya banyak pohon pepaya di rumah Parung. Dan waktu kecil saya sering makan manisan pepaya itu karena sering sekali diberi oleh tetangga kami (masyarakat Betawi di Poncol, Ciputat) khususnya menjelang lebaran.

Akhirnya jadilah malam itu kami membuat fruit loaf yang kami isi dengan potongan pawpaw. Seru banget. Dari mencari bahan, masak, sampai makan kami lakukan bersama.

Setelah puas makan, saya heran kenapa penyebutan pepaya bisa menjadi pawpaw. Rupanya pawpaw itu diimpor dari thailand. Jadi wajar saya bahasa yang dipakai bukan 'pepaya' tapi pawpaw bahasa thailand (atau bahasa cina juga?). Saya cuma menyayangkan saja. Kok bukan pepaya dari Indonesia yang bejibun banyaknya itu yang dibawa ke Australia. Perasaan di Australia, imigrant dan pendatang Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan imigran Thailand. Tapi makanan-makanan dan buah-buahan segar yang diimpor ke Australia itu lebih banyak dari Thailand. Kelihatannya, bukan saja dari sisi politik dan ekonomi masyarakat Indonesia di luar negeri kurang bisa 'vocal' dibandingkan imigrant lainnya. Sampai urusan makanan pun belum bisa mainstream, dibandingkan diantaranya dengan 'kebab', roti afghan, shushi, pasta, pizza, yang bisa diterima oleh lidah australian. Paling-paling hanya sate yang bisa di go international kan --itu pun kalau belum disabet oleh timur tengah dan malaysia... Duh jadi lapar nih... :)

Sunday, May 21, 2006

Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya

Amelia Fauzia

Baru-baru ini, Menteri sosial berterima kasih kepada masyarakat setelah menyaksikan bagaimana peran masyarakat membantu korban tanah longsor dan banjir yang terjadi akhir-akhir ini (Republika 26/02/2006). Pejabat publik menyadari bahwa tanpa filantropi, pemerintah/negara saat ini belum dapat berbuat maksimal untuk membantu korban bencana alam. Filantropi, kedermawanan sosial, dalam masyarakat Indonesia sudah menjadi tradisi dan dianggap aktivitas biasa sehingga terkadang kita terkaget melihat peran dan fungsinya secara riil di lapangan. Padahal hampir semua aktivitas sosial kemasyarakatan dan infrastruktur sosial termasuk sebagian besar penyelenggaraan pendidikan itu ditopang oleh filantropi.

Istilah filantropi, memang belum dikenal oleh sebagian besar masyarakat. Dalam bahasa Indonesia, istilah yang cukup sepadan dengan filantropi adalah kedermawanan sosial; istilah yang sebenarnya hampir sama tidak populernya bagi rakyat kebanyakan, yang lebih paham dengan istilah dan praktek seperti sedekah, zakat mal, zakat fitrah, sumbangan, dan wakaf. Namun istilah filantropi dipakai karena ada ideologi di belakangnya yang diperjuangkan, seperti halnya istilah masyarakat madani, civil society, dan gender. Filantropi adalah kedermawanan sosial yang terprogram dan ditujukan untuk pengentasan masalah sosial (seperti kemiskinan) dalam jangka panjang, misalnya bukan dengan cara memberi ikan tetapi memberi kail dan akses serta keadilan untuk dapat memancing ikan. Selain makna yang diperjuangkan itu, istilah filantropi juga dipakai untuk aktivitas kedermawanan sosial secara umum yang beragam dan ditemukan di hampir semua peradaban di dunia di sepanjang waktu. Praktek filantropi yang cukup dominan selama ini banyak dimotori dari ajaran agama (faith-based philanthropy). Saat ini, praktek filantropi di Indonesia pun tidak bisa terlepas dari praktek filantropi Islam. Sejalan dengan survey yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai filantropi Islam, --bahwa 99.3% Muslim berderma (baik itu berupa zakat, sedekah, maupun sumbangan barang)—maka tulisan ini ingin meruntut bagaimana peran dan perkembangan filantropi Islam itu sendiri di Indonesia.

Periode Awal Filantropi Islam

Aktivitas filantropi Islam sudah dipraktekkan di Nusantara sejak adanya komunitas Muslim di Nusantara mulai sekitar abad ke 8-9M (Fauzia dan Hermawan, 2002) dan khususnya ketika Islam sudah menjadi kekuatan sosial dan politik dengan berdirinya kerajaan Islam mulai abad ke-12M (lihat Schrieke, 1957; M.C. Ricklefs, 1993; dan Notosusanto, 1977). Karena filantropi merupakan salah satu inti ajaran Islam, maka komunitas Muslim di Nusantara dipastikan melaksanakan aktivitas filantropi seperti zakat, sedekah, dan wakaf ketika komunitas Islam sudah cukup kuat umumnya di kota pesisir. Di Nusantara yang pada abad ke-20 disebut Indonesia, aktivitas filantropi Islam yang masuk sejalan dengan masuknya Islam, tumbuh dan berkembang dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat setempat sampai masa sekarang. Filantropi Islam juga berinteraksi dengan tradisi filantropi yang sudah ada pada zaman pra modern di Nusantara yang mungkin dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Namun lebih dari itu, filantropi Islam merupakan salah satu dari apa yang disebut Lombard sebagai stimulus Islam sehingga menjadi pendorong bagi proses konversi (Lombard, jilid 2, 1996). Filantropi Islam mencapai momentum dan menjadi trigger bagi aktivitas filantropi di Indonesia baik yang berlandaskan agama maupun tidak dan saling berpengaruh terhadap praktek filantropi yang menjadi tradisi masyarakat setempat. Karena ada beberapa tradisi yang mirip sekali dengan wakaf di beberapa suku di Indonesia atau ada beberapa tradisi sedekah yang tidak disebut sedekah tapi merupakan praktek filantropi yang ditradisikan oleh beberapa masyarakat suku yang mayoritas Muslim.

Filantropi Islam ke Indonesia tentunya dibawa oleh para penganjur Islam di Nusantara, kebanyakan terdiri dari pedagang Muslim dan guru tarekat yang datang dari atau melalui India ataupun langsung dari Arabia untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Beberapa naskah Melayu dan Jawa yang bertutur mengenai kehidupan Istana dan sultan, dan mengenai etika, menceritakan konsep dan praktek filantropi Islam. Konsep sedekah dan zakat merupakan upaya perbaikan sosial dan menjadi kewajiban bagi yang kaya kepada yang miskin dan sebaiknya dilakukan dengan etika yang baik –secara diam-diam (Kitab Bonang, 1969). Aktivitas sedekah di lingkungan kesultanan, biasanya terkait dengan perayaan, misalnya perayaan kelahiran, khitanan, dan pernikahan. Dalam suatu perayaan, Sultan senantiasa memberikan makanan, pakaian, termasuk perhiasan kepada orang miskin. Nuruddin Ar-Raniri dalam Bustan al-Salatin menyebutkan bahwa Sultan senantiasa memberi sedekah kepada fakir miskin, khususnya setiap berangkat menunaikan shalat Jum’at (Ar-Raniri, 1966).

Kitab Undang-undang Melaka yang bisa menjadi acuan mengenai sistem hukum di kesultanan-kesultanan Nusantara, tidak menyebutkan mengenai zakat (Liaw, 1976). Kemungkinan kerajaan tidak berurusan dengan kegiatan pengumpulan dan pengelolaan zakat, tapi diserahkan kepada individu maupun ulama. Undang-undang Melaka dan Bustan al-Salatin menyebutkan sekilas adanya Baitul Mal. Informasi yang didapat dari Bustan al-Salatin hanya menyebutkan bahwa Baitul Mal dan usur (kemungkinan zakat pertanian sebesar sepersepuluh) pertama kali ditetapkan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Aceh (Ar-Raniri, 1966; Lombard, 1986), dan tidak ada penjelasan lainnya.

Belum ditemukan bukti yang jelas mengenai adanya tradisi pengumpulan zakat oleh kerajaan Islam. Karenanya, ketika pada abad ke-19 kerajaan Islam mulai hancur dan sistem pemerintahan diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda, tidak pernah ada diskusi apakah pemerintah ‘kafir’ boleh atau tidak boleh mengelola zakat. Namun catatan mengenai pajak non keagamaan jelas ada termasuk pembebasan pajak atas tanah perdikan (biasanya tanah makam, pesantren dan masjid) yang sudah berjalan sejak masa kerajaan Hindu.

Institusi wakaf sudah mulai tersebar di seluruh wilayah Nusantara sejak abad ke 15 dengan semakin kuatnya kerajaan Islam dan semakin banyaknya masjid dan pondokan yang didirikan. Rachmat Djatnika mencatat bahwa di Jawa Timur sekitar 1500-1600 (ketika itu tidak ada pusat kerajaan Islam yang besar disana) sudah ada enam wakaf yang kuantitasnya terus bertambah secara signifikan (Djatnika, 1982). Akan tetapi, bentuk wakaf itu sangat tradisional dan hanya terfokus untuk kepentingan ibadah seperti masjid dan kuburan, dan untuk pendidikan, seperti pondok pesantren. Di lingkungan kerajaan, masjid besar biasanya didirikan oleh sultan, misalnya Masjid Raya di Kesultanan Aceh. Wakaf tempat-tempat umum seperti yang biasanya ditemukan juga di masa kerajaan Turki Usmani, misalnya wakaf sumur air minum, dapur umum, kamar mandi, dan jembatan, tidak populer. Penghayatan pengamalan ibadah individual terlihat disini lebih disukai dibandingkan dengan ibadah menyangkut kepentingan sosial. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan tradisi hukum Islam yang berkembang di Nusantara dan dominasi kelompok shariat dibanding tasawuf/tarekat.

Perubahan dan Keberlangsungan Tradisi Filantropi Islam

Islamisasi yang berangsur-angsur dan secara umum berjalan dengan damai menghasilkan Islam menjadi agama mayoritas dan praktek filantropi Islam menjadi tradisi masyarakat. Praktek zakat, infak/sedekah, dan wakaf bisa ditemukan disemua komunitas Muslim di Indonesia dan dilaksanakan mayoritas institusi keagamaan dan lebih terfokus pada masjid dan pendidikan Islam. Praktek filantropi Islam yang paling populer adalah zakat fitrah (Snouck Hurgronje, 1906; Snouck Hurgronje, 1992). Kuatnya tradisi ini zakat pada masyarakat petani di Jawa menyebabkan salah kaprah bahwa zakat identik dengan zakat padi yang dikeluarkan ketika panen. Zakat fitrah biasanya dibayarkan ke modin atau kyai desa yang mengelola masjid, ke kyai di pesantren dimana ia menimba ilmu, ke dukun bayi yang telah membantu melahirkan, atau diberikan langsung kepada tetangga yang membutuhkan. Namun mayoritas zakat itu diserahkan ke kyai desa yang mengelola dan membagikan sebagian zakat itu dan menggunakan sebagian untuknya (Snouck Hurgronje, 1906; Snouck Hurgronje, 1991) karena sebagian zakat itu juga diperuntukkan sebagai bayaran atas jasa kyai untuk ‘mengurusi’ hal keagamaan masyarakat.

Pada akhir abad ke-19 wakaf dapat ditemukan di setiap tempat yang ada komunitas Muslim dimana sebagian besar wakaf adalah dalam bentuk benda yang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, dan sedikit sekali benda bergerak seperti kitab dan kursi dan perlengkapan lain di masjid atau di tempat belajar agama (Atmadja, 1922). Tradisi wakaf semakin menguat bahwa hampir semua masjid dibangun di tanah wakaf ataupun tanah desa. Wakaf sawah juga banyak yang diberikan untuk sekolah (Meyer Ranneft, 1974). Selain berwakaf di dalam negeri, para pembesar negeri juga berwakaf diluar wilayah Nusantara khususnya di Mekkah. Mereka membangun wakaf berupa rumah penginapan untuk jamaah haji khususnya yang berasal dari wilayah kerajaannya. Diantara rumah wakaf yang terkenal adalah rumah wakaf untuk jamaah haji asal Aceh, Banten, dan Pontianak. Para sultan dan pembesar negeri yang membangun rumah wakaf juga mengirimkan uang untuk biaya perawatan rumah wakaf tersebut. (Snouck Hurgronje, 1931 p. 255, p 288).

Tradisi sedekah yang cukup potensial pada masa kolonial adalah sumbangan uang nikah yang disimpan di masjid sebagai uang operasional masjid dan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Tradisi ini dilegalkan oleh pemerintah kolonial dan disebut dengan moskeekas atau kas masjid. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda mengenai moskeekas ini adalah tarik ulur antara kebijakan untuk tidak turut campur urusan Islam dan pribumi dengan kebijakan intervensi yang bersifat mengawasi (Soeminto, 1989; Fauzia dan Hermawan, 2002). Snouck Hurgronje pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menemukan banyak penyelewengan penggunaan uang kas masjid ini (Snouck Hurgronje, 1991; Snouck Hurgronje, 1992). Kritikan terhadap penanganan dan kebijakan moskeekas cukup tersebar selama dekade kedua dan ketiga abad ke dua puluh di beberapa surat kabar pribumi yang isinya menuntut perubahan dalam managemen pengelolaan kas masjid dan penggunaannya supaya lebih transparan sehingga lebih bermanfaat dan menghindari korupsi (Sinar Hindia 18 Nov 1918, 24 April 1919, dan 8 Mei 1919). Usulan-usulan ini merupakan kritikan terhadap kebijakan pemerintah yang mengikuti nasehat Snouck Hurgronje yaitu menggunakan uang kas masjid hanya untuk kepentingan masjid, tidak untuk kepentingan sosial. Sebelumnya, kas masjid digunakan untuk kepentingan sosial seperti diberikan untuk fakir miskin, rumah piatu, sumbangan ke rumah sakit zending, penerangan jalan, dan direncanakan untuk pinjaman kredit, namun ditentang keras oleh Snouck Hurgronje dan akhirnya dihentikan. Perkembangan dan kemajuan aktivitas filantropi Islam secara tidak sadar ditekan oleh konservatisme pemerintah kolonial belanda.

Walaupun pemerintah Kolonial Belanda berusaha tidak melakukan campur tangan, kekhawatiran akan penyalahgunaan dana filantropi Islam untuk kepentingan yang kontra kolonial juga cukup kuat. Karenanya pengawasan khususnya terhadap penggunaan moskeekas dilakukan. Satu hal yang cukup konstruktif dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda adalah melakukan pencatatan administrasi tanah wakaf untuk menekan angka perselisihan status wakaf yang sudah sering terjadi. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan peraturan, keputusan, dan surat edaran yang memiliki kekuatan hukum mengenai wakaf (Bijblad no 6196), zakat mal dan fitrah (Bijblad no 1892, Bijblad no 6200), yang menegaskan bahwa fungsi pejabat kolonial adalah mengawasi urusan filantropi Islam namun tidak boleh turut campur tangan karena sifat filantropi Islam itu adalah kewajiban agama yang dalam prakteknya sifatnya sukarela.

Abad ke-20: Perubahan dan Kemajuan

Seiring dengan masuk dan berkembangnya modernisme Islam di awal abad ke-20, filantropi Islam yang berperan cukup penting untuk membiayai perubahan itu juga mengalami transformasi sesuai dengan perubahan masyarakat. Karenanya, selain praktek filantropi lama (tradisional), bentuk-bentuk filantropi baru mulai berkembang di masyarakat perkotaan. Bentuk-bentuk baru diantaranya adalah adanya komite dan organisasi khusus filantropi, adanya mekanisme transparansi dan akuntabilitas, dan filantropi media. Bentuk baru ini muncul mengambil ide baik dari kemajuan Barat, dari dunia Islam di Timur, dan wacana dalam negeri sendiri. Bentuk baru ini berkembang mulai awal abad ke-20 dan mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi politik, ekonomi, dan sosial masyarakat dan negara, dan merambah ke berbagai institusi dan organisasi, termasuk media, dan organisasi politik. Kebijakan pemerintah, situasi politik, dan perubahan sosial memberi dinamika tersendiri bagi perkembangan filantropi dari akhir masa kolonial sampai sekarang.

Politik tidak campur tangan pemerintah Kolonial Belanda telah membuka peluang bagi gerakan Islam untuk membentuk lembaga wakaf modern, komite-komite karitas dan filantropi, serta penggunaan filantropi Islam untuk mendukung gerakan kemerdekaan. Persyarikatan Muhammadiyah (1912-) merupakan organisasi massa yang mempercepat perubahan tradisi filantropi yang berbasis individu kepada organisasi modern. Walaupun tidak menyebut sebagai lembaga filantropi, Muhammadiyah merupakan lembaga sosial keagamaan yang berbasis filantropi modern. Selain Muhammadiyah, hampir semua organisasi Islam menggunakan zakat, wakaf dan sedekah sebagai bagian dari upaya pencarian dana pergerakan. Bahkan komite-komite zakat fitrah sudah dibentuk oleh organisasi-organisasi Islam.

Yayasan wakaf dalam bentuk modern baru mulai didirikan pada masa ini sejalan dengan perkembangan modern filantropi Islam. Yayasan seperti ini kelihatannya didirikan oleh muslim yang memiliki latar belakang pendidikan Eropa dan juga didukung oleh kelompok keturunan Arab yang memiliki pengetahuan mengenai wakaf di negara Muslim. Wacana wakaf modern sudah cukup maju dan dimulai oleh Centraal Sarekat Islam yang pada tahun 1918 mendirikan “Kas Wakaf Kemerdekaan Central Sarekat Islam” untuk mendukung perjuangan kemerdekaan dan membantu pejuang tanpa membedakan ras dan kewarganegaraan. Komite bantuan kemanusiaan banyak didirikan misalnya untuk membantu korban banjir, kelaparan, dan ledakan gunung berapi. Filantropi yang dilakukan oleh dan melalui media pribumi cukup gencar tidak hanya untuk bantuan kemanusiaan bahkan termasuk untuk membiayai pergerakan Islam dan demonstrasi buruh.

Pendudukan Jepang yang sangat singkat (1942-1945) tidak menyisakan banyak tempat bagi perkembangan filantropi Islam. Masa awal pendudukan Jepang yang sedikit membuka kesempatan bagi aktivitas gerakan Islam menyuburkan wacana mengenai baitul mal dan lembaga filantropi Islam yang sudah dicoba dilaksanakan di daerah Jawa Barat melalui MIAI (Benda, 1983). Namun karena perang yang berkepanjangan, wacana ini kemudian tidak bergulir.

Wacana filantropi tidak berkembang pada pemerintahan Orde Lama (1945-1966) khususnya pada tahun-tahun awal dimana negara masih bergulat secara fisik dan politik mengenai kedaulatan negara. Namun wacana dan praktek filantropi modern yang sebelumnya sudah terbentuk tetap bergulir. Fonds Sabilillah bisa dikatakan yayasan zakat pertama yang didirikan setelah kemerdekaan yaitu tahun 1947 sebagai jihad untuk membangun kedaulatan Indonesia dan mengusir kolonial. Pada masa Orde Lama ini setidaknya yang lebih banyak berkembang adalah wakaf khususnya di bidang pendidikan. Misalnya pada tahun 1948 berdiri Stichting (Wakaf) Republik yang bergerak pada penerbitan dan perpustakaan untuk semua kalangan, tahun 1950 berdiri Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan tahun 1951 berdiri Yayasan Wakaf Universitas Islam Indonesia. Transformasi wakaf tradisional pondok pesantren menjadi wakaf modern yang paling awal dilakukan oleh Pondok Modern Gontor pada tahun 1958. Situasi politik nasional yang tidak stabil tidak banyak membawa perkembangan baru di tingkat nasional. Sejak awal kemerdekaan, beberapa yayasan wakaf modern melanjutkan prinsip keadilan sosial bagi penerima wakafnya tanpa diskriminasi agama dan kewarganegaraan, namun akibat pengkotakan politik yang tajam, pembatasan stakeholder khusus untuk Muslim semakin mengemuka.

Kebijakan pemerintah Orde Baru (1966-1998) dalam menangani filantropi Islam hampir sama dengan kebijakan yang dilakukan pemerintah Kolonial Belanda sebelumnya (Fauzia, 2005a). Dari awal masa Orde Baru, upaya pendirian badan amil zakat tidak bisa dibendung oleh pemerintah yang mencoba mengalihkan menjadi amil zakat individu dan akhirnya amil zakat tingkat provinsi yang biasa disebut sebagai Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS). Resistensi di tingkat masyarakat bawah terhadap pemerintah Orde Baru dan badan amil zakat-nya membuat (1) menjamurnya badan dan panitia amil zakat yang biasanya mengelola zakat fitrah menjelang perayaan Idul Fitri dan (2) keberlanjutan tradisi pemberian karitas langsung kepada fakir miskin. Setidaknya pada masa ini, tradisi memberikan zakat kepada kyai sebagai individua semakin berkurang, sebagian besar kyai berafiliasi pada kepanitiaan amil zakat di masjid dan lingkungan sekitar. Akhir masa Orde Baru yang cukup akomodatif melahirkan beberapa badan amil zakat swasta yang berdiri sebagai yayasan salah satunya adalah Dompet Dhuafa Republika. Yayasan filantropi seperti inilah yang kemudian berkembang menjadi lembaga amil zakat sekup nasional dan menjadi motor penggerak filantropi Islam pada masa Reformasi.

Masa Reformasi (1998- ) merupakan puncak dari institusionalisasi filantropi Islam dengan banyak dikeluarkannya undang-undang dan peraturan mengenai pelaksanaan filantropi Islam. Dua undang-undang yang cukup menentukan adalah Undang-undang zakat (1999) dan Undang-undang Wakaf (2004) yang mengatur pelaksanaan zakat dan wakaf. Selain itu, pemerintah memfasilitasi dengan dibentuknya direktorat Zakat dan Wakaf di Departemen Agama dan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), serta BAZDA (Badan Amil Zakat Daerah) di tingkat propinsi. Dalam pelaksanaannya, LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dikelola oleh NGO lebih maju dan mendapat kepercayaan dari masyarakat dibandingkan dengan BAZ (Badan Amil Zakat) yang dikelola oleh pemerintah.

Dengan demikian, maka terlihat bahwa praktek filantropi Islam berkembang dipengaruhi oleh faktor sosial, politik, dan budaya masyarakat. Perkembangan filantropi Islam bertransformasi dari praktek yang tradisional ke praktek yang modern melalui proses yang panjang dan bertahap. Karenanya tidak heran jika sekarang ini praktek filantropi Islam tradisional masih banyak ditemukan disamping adanya praktek filantropi Islam modern dengan aktivitas dan bentuk yang beragam.

Penutup

Dari sini sebenarnya banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengembangkan praktek filantropi di Indonesia, dari sekedar ucapan terima kasih yang diberikan kepada masyarakat. Diantaranya adalah kebijakan pengurangan pajak yang tidak parsial dan tidak setengah hati. Kebijakan tax deduction yang ada (misalnya dalam bantuan korban Tsunami dan pembayaran zakat), nominalnya kecil --karena perhitungannya bukan langsung dikurangi, tapi dianggap cost-- sehingga kebijakan tax deduction sementara ini belum dapat mendorong masyarakat untuk berderma. Selain pengurangan pajak, pemerintah bisa lebih menggiatkan Corporate Social Responsibility bagi perusahaan-perusahaan, dan memberdayakan organisasi filantropi sehingga menjadi lebih professional dan mendatangkan manfaat yang lebih besar.

* Versi lengkap dari tulisan ini akan diterbitkan menjadi bagian dalam Laporan Penelitian "Filantropi Islam untuk Keadilan Sosial di Indonesia" oleh Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Satu Pelajaran dari Papua: Filantropi dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Amelia Fauzia

Aksi demonstrasi terhadap PT Freeport Indonesia di depan kampus Universitas Cendrawasih yang akhirnya ricuh dan menimbulkan beberapa korban tewas adalah luapan emosi masyarakat yang mendapat momentum baru. Kerusuhan dan demonstrasi tidak akan muncul begitu saja tanpa ada faktor laten dibelakangnya, yaitu kesenjangan sosial dan perasaan ketidakadilan yang merupakan dampak dari persoalan lain yang belum terselesaikan, seperti kerusakan lingkungan dan kesenjangan pembagian laba. Tulisan ini akan melihat sisi filantropi perusahaan atau yang biasa disebut tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility- CSR) dalam upaya mempersempit kesenjangan dan menciptaan ketidakadilan sosial.


Filantropi dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Paradoks?

Istilah filantropi memang belum dikenal oleh sebagian besar masyarakat. Dalam bahasa Indonesia, istilah yang cukup sepadan adalah kedermawanan sosial; istilah yang hampir sama tidak populernya bagi rakyat kebanyakan, dibanding istilah seperti sumbangan dan bantuan. Istilah yunani ini dipakai kembali karena ia bisa mencakup semua jenis dan bentuk kegiatan kedermawanan sosial di berbagai peradaban, wilayah, kultur dan zaman, seperti sedekah, karitas, gotong royong, kesukarelawanan, zakat, tithe, wakaf, dan tanggung jawab sosial perusahaan. Filantropi adalah segala bentuk kegiatan non pemerintah yang bersifat sukarela dan dilakukan untuk kepentingan publik. Istilah filantropi juga menjadi pilihan karena di belakangnya ada makna pengentasan akar masalah sosial, bukan sekedar karitas. Tangung jawab sosial perusahaan ( CSR) adalah bentuk filantropi yang menjadi komitmen kepedulian perusahaan terhadap masyarakat.

Sepertinya ada paradoks dalam CSR, antara etos perusahaan yang bekerja untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dan kegiatan sosial yang menghabiskan dana. Walaupun awalnya CSR penuh pro kontra, namun pada praktiknya ia semakin mendapat momentum dan hampir semua perusahaan besar di dunia berlomba melakukan kegiatan sosial. Komitment sosial perusahaan pun akhirnya bukan hanya sekedar sukarela, tapi dianggap sebagai tanggung jawab sosial perusahaan karena keuntungan yang didapat dari masyarakat, dan kemungkinan dampak sosial dan lingkungan yang diakibatkan. Bagi perusahaan, studi membuktikan bahwa CSR malah mendatangkan banyak keuntungan, katakanlah good image dan dukungan sosial. Bagi masyarakat, CSR bisa dinilai sebagai kewajiban, sebagai “friendly face of capitalism” –meminjam istilah Deborah Doane, ketua koalisi Corporate Responsibility, atau sebagai bantuan yang meringankan hidup.


Program CSR dan Kesenjangan Sosial

Program CSR bisa meringankan hidup masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan tentunya mengurangi kesenjangan sosial. Sebagian besar perusahaan di Indonesia sudah memiliki program sosial, dari yang bersifat karitas --seperti pemberian bantuan bahan makanan untuk korban bencana alam dan pengobatan gratis-- sampai community development – seperti advokasi HAM dan pemberdayaan industri kecil. Program CSR fokusnya beragam; ada yang berupa kesejahteraan dan pemberdayaan karyawan beserta keluarganya, berupa pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan, dan berupa kebutuhan masyarakat umum. Komitment kepada ketiganya menjadi suatu keharusan yang tidak bisa dianggap selesai dengan pembayaran pajak kepada negara.

Apakah perusahaan-perusahaan besar sudah punya komitment filantropi atau CSR? Sebagian besar perusahaan sudah memilikinya bahkan beberapa membuat yayasan tersendiri, seperti Yayasan Sampurna dan Yayasan Dharma Bakti Astra, yang cukup maju. Sebagian lainnya belum punya. Bagaimana berkomitment untuk CSR sedangkan cerita mengenai pelanggaran HAM dan demonstrasi buruh terhadap perusahaan masih marak terdengar.

Melihat ke Papua, sejauh ini PT Freeport Indonesia sudah menjalankan program CSR melalui kemitraan dengan masyarakat adat Amungme (Lembaga Masyarakat Adat Amungme- LEMASA) dan Kamoro (Lembaga Masyarakat Kamoro- LEMASKO) dengan memberikan kontribusi berupa dana kemitraan. Dana kemitraan tersebut dikelola dan disalurkan oleh lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) berupa program pendidikan dan training, kesehatan, pembangunan desa, dan pengembangan wirausaha. Namun, dari hasil audit the International Center for Corporate Accountability (ICCA) masih banyak hal yang perlu diperbaiki diantaranya adalah pengelolaan dan distribusi dana oleh LPMAK, serta pemberian bantuan yang tidak pada tempatnya.

Tanpa keseriusan perusahaan dan pengawasan masyarakat, tujuan pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan akan sulit dicapai. Dan karenanya kesenjangan sosial akan tetap tinggi dimana konflik sosial mudah terjadi.


Peran Pemerintah

Selain peran pengusaha dan masyarakat, tentu pemerintah memiliki posisi yang strategis untuk bisa memajukan filantropi dan CSR. Mengapa pemerintah berkepentingan? Selama ini secara tidak langsung pemerintah telah dibantu oleh masyarakat yang secara sukarela membantu warga yang membutuhkan. Dalam kasus bencana Tsunami di Aceh dan Medan misalnya, terkumpul dana cash sebesar $52 juta dari masyarakat Indonesia hanya dalam waktu satu bulan (APPC April 2005). Dana zakat dan sedekah dalam setahun terkumpul Rp 19.3 trilyun yang dibayarkan oleh 98 persen Muslim di Indonesia. Dan sebagian besar lembaga sosial dan pendidikan dibangun dan hidup dari kegiatan filantropi, bukan dari dana pemerintah. Dari sini terlihat bahwa peranan filantropi sangat substansial dan potensial ketika negara belum bisa mensejahterakan rakyat.

Karena itu sudah semestinya pemerintah mendorong perkembangan filantropi di Indonesia untuk mendorong terciptanya keadilan sosial. Diantara yang bisa dilakukan adalah mengubah kebijakan pengurangan pajak atas donasi yang setengah hati dan parsial; mendorong perusahaan memiliki Corporate Social Responsibility; dan memberdayaan organisasi filantropi menjadi lebih professional. Semoga tragedi di Papua tidak terulang lagi.

Friday, May 19, 2006

Studi Filantropi di Australia

Kajian filantropi bisa ditemukan di tiga lembaga: universitas (lembaga pendidikan), lembaga penelitian, dan lembaga advokasi. Tentu kategorinya bisa tumpang tindih, misalnya ada lembaga penelitian yang attached ke universitas. Untuk studi filantropi (mengambil gelar degree) yang cukup baik adalah yang berbasis di universitas. Riset center biasanya tidak menawarkan studi tapi cukup leading dalam riset mengenai filantropi. Lembaga advokasi arahnya memberikan training untuk community development.

Di Australia belum banyak universitas yang menawarkan studi filantropi. Dibawah ini saya list program studi dan pusat riset filantropi yang cukup baik.

  1. Centre of Philanthropy and Nonprofit Studies, Queensland University of Technology, di Brisbane.

    Di sini ditawarkan Graduate Certificate in Philanthropy and Non Profit Studies dan Master in Philanthropy and Non Profit studies. Center ini ada di bawah School of Accountancy di Fakultas Business, Queensland University of Technology. Walaupun ada di fakultas Bisnis, center ini membuka peluang untuk semua bidang disiplin. Ini linknya: http://www.bus.qut.edu.au/research/cpns/

  2. Asia-Pacific Centre for Philanthorpy and Social Investment yang ada di Swinburn University di Melbourne.

    Center ini menawarkan kursus, graduate certificate dan program Master degree. Selain itu, membuka konsultasi dan melakukan penelitian mengenai filantropi dan social investment. http://www.sisr.net/philanthropy/

  3. Centre for Australian Community Organisations and Management (CACOM), the University of Technology (UTS), Sydney. http://www.business.uts.edu.au/cacom/index.html

    CACOM ini pusat penelitian dan tidak membuka program degree. Namun di UTS ada program degree dan kursus untuk bidang filantropi yang dimotori oleh orang-orang CACOM. Program degree dan kursus dalam bidang Community Management (Non for Profit). UTS juga menawarkan tiga beberapa studi untuk bidang Community Management, yaitu program Master of Management in Community Management, Graduate Diploma in Community Management and Graduate Certificate in Community Management. http://www.gsb.uts.edu.au/community/index.html

  4. Fundraising Institute Australia (FIA)

    FIA menawarkan training and development dalam bidang fundraising, termasuk juga studi diploma. · Diploma dalam bidang Fundraising Management. · Skills Training Courses - 1, 2 & 3 · Mentoring Program · Special Interest Groups tentang bequest development & direct marketing. http://www.fia.org.au/Template.cfm?section=Professional_Development

  5. The Centre for Citizenship and Human Rights (CCHR).

    Ini riset center dan tidak menawarkan program studi. Proyek penelitiannya cukup kuat dan diantaranya mengenai "civil society, Islam, dan politik ekonomi di Indonesia." http://www.deakin.edu.au/arts/cchr/research.php

Kelihatannya baru itu yang saya lihat mengenai kajian filantropi di Australia. Jumlahnya belum banyak dan bobotnya belum sebanding dengan pusat-pusat kajian fiantropi yang sudah cukup tua di Amerika. Namun ke depan, program studi filantropi akan semakin berkembang karena selain praktek volunteering sudah cukup kuat dalam masyarakat, pemerintah Australia memberi support untuk pengembangan filantropi.

Amel