Tuesday, November 28, 2006

"Good Morning, Amelia..."

Begitu sapaan murid-murid grade 1/2 Moreland Primary School di tiap Rabu pagi ketika saya ikut masuk kelas. Ya, mereka memanggil guru mereka dengan nama depan, bahkan sebagian nama kecil. Saya, yang hanya menjadi volunteer untuk membantu guru, juga diperlakukan sama. Saya sangat menikmati dipanggil tanpa gelar/sebutan apa pun oleh anak-anak ini.

Panggilan non formal ini bukan sekedar formalitas belaka, tapi terlihat juga bagaimana informalnya mereka berinteraksi dengan guru. Kedekatan, kepercayaan, dan keterbukaan justru mengembangkan kreativitas murid. Pelajaran belum dimulai saja, sudah banyak murid yang mengangkat tangan ingin bertanya atau menceritakan sesuatu. Semua direspon positif oleh guru, walaupun hanya sekedar cerita tentang main ke rumah teman.

Di sekolah, unsur-unsur formalitas dicoba dikurangi. Seragam perlu, tapi yang penting anak merasa nyaman dan tidak terganggu. Datang terlambat tidak dihukum berat, tapi tetap dicatat dan diperingati. Upacara tetap ada, tapi sangat santai, interaktif, dan lebih menjadi ajang informasi dan apresiasi prestasi. Sampai urusan rangking kelas pun tidak ada pun karena mereka sistem penilainnya juga bukan kuantitas 1-9. Walaupun terkesan informal, bukan berarti tidak ada kedisiplinan dan ketegasan. Pada titik tertentu guru sangat tegas. Selalu ada hukuman buat anak nakal yang melanggar disiplin, disamping hadiah-hadiah dan pujian untuk anak-anak yang rajin, kreatif, dan pandai.

Kembali ke panggilan terhadap guru dan staf sekolah yang informal. Saya kira ini menjadi salah satu pendorong keberanian murid-murid bicara, berpendapat, dan berargumen. Sesuatu yang tidak ada pada budaya masyarakat indonesia.

Kadang saya bertanya-tanya, bagaimana ya bisa memunculkan budaya kritis dan berani bertanya. Saya ingat waktu di sekolah dulu, jangankan kritis, lha wong guru udah nyuruh kita bertanya aja semua pada diam. Diam karena takut salah bertanya atau ditanya balik lagi, karena takut malu karena pertanyaannya jelek, karena takut menyinggung guru, dan diam karena benar-benar tidak tahu apa yang bisa ditanyakan. Semua materi pelajaran masuk otak seperti makanan yang ditelan tanpa dikunyah. Guru menjadi momok yang sangat menakutkan. Guru dalam banyak hal selalu benar, selalu harus lebih pintar, dan lebih bermoral. Karenanya mereka senantiasa harus dihormati dan dipanggil dengan bapak atau ibu.

Kalau dengan budaya feodal dan materialistis, bagaimana dan apa yang anak-anak kita pelajari dengan baik ya? Mudah-mudahan bukan budaya feodalisme dan materialisme lagi?

No comments: