Elkana and Farhan are exited that we will start an Indonesian Choir at Moreland Primary School next week. I will volunteer to teach Indonesian song and culture to a group of students.
Teaching a choir every week?! Well, I did not expect to have this chance. It is totally different from my PhD research. Last year I taught Elkana, Farhan and their close friends to perform at their school at the farewell program of Sue. She is one of my favourite teacher at Moreland Primary School. After performance, we received excellent response and comments from students and teachers. So they asked me to do that at school this year.
Well, I know I only have four months before submitting my thesis. I am in a tense writing situation right now. I could easily say no and sorry to the school principal. But, I don't want to see Elkana's and Farhan's sad faces. The most important inspiration behind my yes decision is Amir. Without his never-ending support I could not manage my time to do this activity.
Who knows this activity will give me a good Thursday. This is the art of volunteering. In fact, I will teach my own kids and Australian students about Indonesia, which is culturally marginal here.
This is exiting!
Friday, April 11, 2008
Indonesian Choir at Moreland Primary School
Friday, December 15, 2006
Profesionalisme Amil Zakat
Amelia Fauzia*
Amil zakat merupakan profesi yang serba salah, seperti halnya seorang kyai atau da’i. Di satu sisi, mereka diminta supaya bekerja secara profesional tapi di lain sisi mereka masih ditabukan untuk meminta bayaran. Karena itulah maka perzakatan di negeri kita selama berabad-abad tidak berkembang salah satunya akibat kerja amil yang dijalankan secara sambilan. Dari masa kerajaan Islam sampai abad ke sembilanbelas kondisi keamilan tidak berkembang lebih baik, kecuali awal abad kedua puluh dengan mulai beralihnya pemberian sumbangan langsung kepada fakir miskin dengan pemberian ke organisasi yang dimotori oleh Muhammadiyah. Berkat momentum Dompet Dhuafa dan kejatuhan Orde Baru lembaga amil sekarang berkembang lebih maju dengan terbentuknya institusi amil zakat atau institusi filantropi yang menghimpun dan mendayagunakan berbagai potensi kedermawanan sosial Islam.
Semangat kehati-hatian dan pengawasan terhadap lembaga amil zakat sangat perlu seperti yang ditulis oleh Abd. Salam Nawawi dengan judul ”Mewaspadai Penyimpangan Amil Zakat” (Jawa Pos 22/10/06). Namun kehati-hatian itu selayaknya diarahkan untuk lebih memprofesionalisasikan institusi amil zakat termasuk dalam pendayagunaan dana zakat.
Bentuk Amil Zakat
Di Indonesia, setidaknya ada tiga bentuk amil (pengelola zakat), yaitu amil individual, amil kepanitiaan, dan amil kelembagaan. Amil individual atau perorangan mengemban amanat dari masyarakat untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat atas dasar integritas pribadinya serta pengetahuannya tentang hukum Islam. Amil individual ini berperan cukup penting sejak abad ketigabelas dan diperankan oleh fungsionaris agama Islam seperti yang biasa disebut, ustadz, kyai, teungku, dan kayim. Saat ini amil individual masih berfungsi di daerah pedesaan, bahkan di beberapa tempat ada yang menjadi jabatan seumur hidup. Akibat kemajuan dan kompleksitas masyarakat terbentuklah amil kepanitiaan dan kelembagaan. Amil kepanitiaan ini biasanya dibentuk di masjid, sekolah, lingkungan RT/RW, dan tempat kerja. Keberadaan amil kepanitiaan hanya temporer khususnya untuk mengumpulkan zakat fitrah menjelang Idul Fitri. Amil kelembagaan adalah institusi yang mengelola dana zakat dan dana filantropi (kedermawanan sosial) Islam lainnya seperti sedekah dan wakaf. Ada dua jenis, yaitu institusi amil atau filantropi Islam yang ada dibawah pemerintah dan disebut Badan Amil Zakat (BAZ), dan institusi amil non pemerintah yang disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Lembaga amil non pemerintah mendapat berkembang pesat khususnya di wilayah urban. Dalam perjalanannya, perkembangan LAZ jauh melebihi BAZ dari sisi penghimpunan, pendayagunaan, dan transparansi, walaupun ada beberapa BAZ pemerintah daerah yang cukup baik seperti Bazis DKI Jakarta dan BAZ Sumut.
Kinerja dan Hak Amil
Benar bahwa amil adalah mustahik (orang yang berhak menerima zakat) dan sekaligus juga muzakki (orang yang wajib mengeluarkan zakat) khususnya ketika amil merupakan orang yang mampu secara ekonomi. Gaji atau hak amil ini merupakan konsekuensi logis atas kerja seseorang amil yang ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Taubah ayat 60.
Sistem gaji dan peningkatan status amil sebagai salah satu profesi muncul akibat kritik terhadap sejarah panjang lembaga keamilan yang mayoritas ‘hidup enggan mati tak mau’ karena diurus paruh waktu dan tanpa administrasi yang baik. Dilihat dari perkembangan sejarah, kinerja amil sekarang sudah lebih baik. Pada abad ke sembilanbelas, Snouck Hurgronje (Penasihat urusan Pribumi) memaklumi para amil yang mengambil porsi pembagian zakat cukup banyak karena mereka adalah mustahik atas dasar kerja ke-amilannya dan statusnya sebagai orang miskin. Kondisi ini berjalan tanpa ada pengawasan yang memadai dari pemerintah. Badan amil yang kemudian dibentuk pemerintah mulai tahun 1984 pun tidak berfungsi maksimal karena masih dikerjakan secara paruh waktu. Institusi amil yang modern dan profesional –yang disemai oleh organisasi sosial Islam modern—akhirnya berkembang mulai tahun 90-an dimotori oleh Dompet Dhuafa. Dari sinilah maka wacana profesi amil bergulir yang menuntut amil bekerja secara profesional agar dana filantropi dapat lebih bermanfaat.
Penulis tidak memungkiri jika misalnya terdapat institusi amil zakat yang kinerjanya tidak maksimal tapi menuntut gaji yang tinggi. Sejak masa kolonial kritik terhadap kinerja dan rendahnya transparansi amil (individual) sudah ada. Akan tetapi tidak dapat dinafikan bahwa mayoritas institusi-institusi filantropi Islam khususnya LAZ yang berkiprah saat ini bekerja dengan baik. Bahkan, hampir semua LAZ didirikan atas dasar idealisme yang menguras tenaga, pikiran serta kocek para pegiatnya. Misalnya, donatur-donatur pertama Dompet Dhuafa tak lain adalah para pendiri Dompet Dhuafa itu sendiri. Begitu pula yang terjadi pada lembaga lain seperti Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), Portal Infaq, dan Lembaga Wakaf Zakat Salman yang pada tahun-tahun awal pendiriannya para amil tidak mau mengambil hak mereka karena alasan kepentingan lembaga yang lebih besar.
Dalam lembaga amil, tidak bisa dikatakan bahwa amil menentukan gaji mereka dengan seenaknya. Lembaga amil memiliki mekanisme pengawasan, transparansi dan akuntabilitas yang relatif baik. Organisasi amil diawasi oleh Dewan Pengawas, Dewan Syari’ah, serta oleh pemerintah dan masyarakat. Prosentase 1/8 (salah satu ijtihad yang dipakai oleh sebagian institusi filantropi) adalah suatu kehati-hatian dalam menentukan dana yang bisa digunakan untuk biaya operasional dan upah amil. Tanpa dana operasional ini, pendayagunaan dana filantropi tidak akan maksimal. Banyak pula institusi amil yang mengambil biaya operasional dari uang sedekah, bukan uang zakat, sehingga otomatis prosentase seperdelapan dari dana zakat tidak berlaku.
Badan Amil yang ada di bawah pemerintah (BAZ) memang memiliki cerita yang sedikit berbeda dengan LAZ di atas. Staf BAZ menerima gaji dari pemerintah daerah karena status mereka sebagai pegawai pemda. Dalam perjalanannya ada BAZ yang tetap mengambil hak amil (karena memiliki pegawai honorer), namun ada juga BAZ yang tidak mengambil hak amil, contohnya Bazis DKI Jakarta, karena dibantu dari APBD.
Pendayagunaan Uang Zakat
Pendayagunaan zakat dan dana filantropi lainnya lahir dari kesadaran akan kegagalan fungsi filantropi Islam yang ternyata tidak bisa mengangkat umat Islam dari kemiskinan. Sebagian besar dana zakat dan sedekah digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup jangka pendek yang konsumtif dan hanya sedikit yang digunakan untuk pemberdayaan masyarakat jangka panjang dan produktif. Tanpa pendayagunaan yang terencana dan maksimal maka dana filantropi hanya menjadi sia-sia.
Jika ada sistem pendayagunaan yang kurang baik, bukan berarti ide pendayagunaan itu salah, tapi sistemnya yang harus diperbaiki. Pemanfaatan dana filantropi Islam yang dilakukan oleh beberapa LAZ nasional sudah cukup kreatif dan sebagian sudah mengarah pada pemberdayaan masyarakat dan pengentasan akar masalah kemiskinan seperti program mikro kredit, pelayanan kesehatan gratis, penanganan gizi buruk, peningkatan SDM melalui beasiswa pendidikan dan training, dan advokasi TKI.
Pengawasan bukan Campur Tangan
Penyimpangan amil bisa saja terjadi; amil toh juga manusia. Oleh karenanya yang dibutuhkan adalah pengawasan baik dari internal lembaga itu sendiri (Dewan Pengawas) maupun eksternal dari pemerintah, dan masyarakat khususnya donatur. Lembaga keamilan harus diarahkan untuk transparan dan akuntabel atas kegiatannya. Dengan transparansi dan akuntabilitas yang dimiliki lembaga keamilan, penyimpangan amil dan lembaga keamilan bisa dihindari atau dikurangi.
Lembaga amil seyogyanya dibiarkan memiliki kreativitas sendiri untuk mengelola lembaganya –seperti saat ini -- sejauh itu masih dalam koridor undang-undang. Iklim fastabiqul khairat (berlomba menuju kebaikan) yang sudah ada seharusnya difasilitasi oleh pemerintah misalnya dengan pemberian insentif bagi pembayar zakat. Campur tangan pemerintah yang berlebihan akan membawa efek negatif bagi perkembangan lembaga keamilan dan sebaiknya dihindarkan. Seyogyanya peraturan ‘zakat sebagai pengurang pajak’ --yang belum terlihat implementasinya-- itu yang lebih dahulu dijalankan dengan serius.
Tanpa sistem managemen yang baik dan penggajian yang professional institusi filantropi Islam tidak akan memiliki sumber daya manusia yang bagus yang bisa mengelola dana filantropi Islam secara maksimal. Pendayagunaan zakat merupakan keharusan; karena amanah untuk berpihak kepada fakir miskin bukan hanya sekedar mendistribusikan dana sehingga habis tapi mendayagunakannya untuk menghilangkan akar kemiskinan.
-------------
* Peneliti pada Center for the Study of Religion and Culture, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Wednesday, December 06, 2006
Merayakan Hari Relawan Sedunia
Kemarin (5 Des 06) saya dan suami merayakan international volunteer day bersama dengan komunitas Australian Volunteer International (AVI) di Melbourne dengan acara yang berjudul Global Village Festival. Walaupun suasana global village-nya masih kurang terasa, tapi acara cukup meriah dengan musik/tari dari Afrika dan Timor, dan beragam komunitas yang hadir. Dimitri, CEO AVI, bercerita bahwa AVI tahun lalu sudah mengirimkan 750an relawan ke 46 negara. Suatu prestasi yang harus diapresiasi.
Awalnya saya kira, menjadi relawan (volunteering) tidak terlalu populer di Australia, dibandingkan dengan bersedekah uang. Apalagi di Australia begitu banyak lembaga filantropi (kedermawanan sosial) dari yang sekup lokal, nasional, sampai internasional. Tapi rupanya saya salah. Volunteering bagi masyarakat Australia ternyata cukup populer dan membudaya di masyarakat. Bentuk kesukarelawanan pun beragam, mulai dari kerja gotong royong, mengajar tanpa bayaran, sampai bekerja di organisasi non profit dalam dan luar negeri. AVI fokus pada yang terakhir, yaitu mengirim relawan untuk bekerja di lembaga-lembaga khususnya di negara-negara berkembang. Volunteering AVI lebih banyak diarahkan untuk sharing pengetahuan, teknologi dan keterampilan yang relawan miliki. relawan dengan harapan relawan akan mendapatkan pengalaman dan pengetahuan mengenai kultur dan budaya tertentu.
Volunteering di sini saya rasakan sebagai benar-benar suatu pilihan. Tidak perduli apakah kerja sukarela itu hanya sekedar kerja gotong royong di sekolah. Tidak ada paksaan sosial dan tidak ada stigma bahwa mereka yang ikut kerja sukarela adalah lebih baik dari yang tidak ikut. Namun tentu saja, selalu ada apresiasi bagi mereka yang mau menjadi sukarelawan dari yang sekedar kerja gotong royong tadi terlebih lagi bagi mereka yang mau mengabdi untuk bekerja sebagai relawan bertahun-tahun. Apalagi jika mau jadi relawan di negara-negara berkembang. Apresiasi ini bukan hanya dari komunitas, tapi juga dari pemerintah Australia diantaranya dengan memberikan insentif, tax deduction, dan menyediakan fasilitas dan prasarana untuk meningkatkan kegiatan kesukarelawanan.
Para relawan memiliki banyak motivasi untuk kerja sosial, dari yang sekedar mencari pengalaman, menambah pengetahuan, sampai kepada kesadaran akan tanggung jawab sosial. Para relawan AVI yang saya temui sebagian adalah profesional yang dengan sadar ingin melakukan kerja relawan. Beberapa mantan relawan merasa bahwa kerja sukarela yang mereka lakukan itu benar-benar memberi manfaat yang besar, tidak hanya dalam hal pengetahuan dan pengalaman, tapi juga rupanya karir mereka. Peningkatan karir? Saya kira hal ini bisa saja karena networking yang bagus dari kiprah selama beberapa tahun di luar negeri. Dan saya pun menyaksikan beberapa mantan relawan AVI yang berkiprah di Indonesia kemudian memiliki karir yang bagus.
Apa di Indonesia juga begitu? Memang konteks menjadi relawan di Indoneisa ada sedikit berbeda dengan relawan di Australia. Ada sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah bahwa kedermawanan sosial termasuk kesukarelawanan sudah menjadi kultur di Indonesia. Karenanya, --ini sisi negatifnya-- kerja volunter seperti gotong royong, mengajar tanpa bayaran, membantu tenaga, pikiran untuk organisasi bahkan menyumbangkan uang untuk kegiatan organisasi, sepertinya juga dianggap sebagai hal biasa. Karena itu apresiasi masyarakat kurang dan apresiasi pemerintah hampir tidak ada. Padahal peran para relawan ini luar biasa yang baru terlihat ketika penanganan bencana seperti Tsunami di Aceh 2004 dan Gempa di Yogya dan Jateng 2006. Mereka seperti pahlawan tanpa tanda jasa...
Khususnya untuk teman-teman para relawan, serta aktivis dan pemerhati filantropi,
Selamat Hari Relawan Sedunia!
Amelia
Wednesday, May 24, 2006
"Charity Jalanan"
Membuang barang di pinggir jalan, mungkin bisa dianggap hal sepele. Tapi tidak yang ini. Di Victoria ada tradisi untuk membuang barang yang masih layak pakai. Sering kali di pinggir jalan ada tumpukan barang, seperti kulkas, kasur, sofa, alat masak, pemanas, kereta bayi, sepeda, baju, sampai komputer. Barang-barang ini dibuang oleh pemiliknya karena barang itu rusak atau karena tidak dibutuhkan lagi, entah karena pemiliknya pindah rumah, pulang kampung for good (seperti mahasiswa), atau karena barang-barang itu dianggap sudah ketinggalan zaman. Menariknya, si pembuang itu paham betul bahwa barang yang dibuang itu nanti bisa dimanfaatkan oleh orang lain. Jadi membuangnya pun terkadang begitu rapih. Misalnya kalau membuang TV dan alat elektronik, barang-barang itu dibungkus plastik atau ditaro dalam kardus supaya tidak kena air embun dan hujan, dan juga disertakan remote control dan buku panduannya.
Ini tradisi charity yang tanpa pamrih. Si pemberi tidak perlu perlu sanjungan dan ucapan terima kasih. Sedangkan si penerima tidak perlu sungkan. Charity ini juga terbuka untuk semua kalangan tidak terbatas pada agama, etnis dan bangsa, tapi tentunya diprioritaskan bagi yang rajin jalan-jalan... :) Soalnya kalau ada barang bagus ditaro dipinggir jalan, satu jam saja pasti barang itu sudah lenyap, alias ada yang mengambil. Charity ini juga tidak mengenal administrasi dan kolusi. Tidak hanya yang mengambil merasa beruntung, yang menyumbang pun senang karena tidak perlu pergi jauh-jauh untuk membuang barang.
Bagi kami mahasiswa, charity jalanan ini cukup membantu. Paling tidak, bisa mengurangi biaya pembelian barang. Apalagi kebanyakan mahasiswa itu mencari barang dengan hunting dari satu garage sale ke garage sale yang lain. Nah, kalau dapet barang gratis kan namanya untung banget. Kadang saya dan Amir terheran-heran mencoba mencari tahu kenapa barang yang masih bagus itu dibuang. Seperti dua minggu yang lalu kami mendapat CPU pentium 4 yang bagus, lengkap dengan CD RW-nya. Heran kan? Jadi Elka dan Farhan bisa bersenang hati karena mereka punya komputer sendiri. Bersepeda bersama pun tidak masalah, karena kami masing-masing punya sepeda dan punya helm, yang diantaranya didapat dari charity jalanan itu...
Pihak pemerintah daerah pun memfasilitasi pembuangan barang sekaligus charity jalanan ini. Tiap wilayah punya satu hari tertentu untuk membantu masyarakat membuang barang (dengan cara diletakkan di pinggir jalan) dan sekaligus membiarkan masyarakat untuk mengambil barang-barang itu. Pemerintah juga senang, karena barang yang harus diangkut ke tempat pembuangan jadi sedikit. Tadinya saya kira hanya student yang berminat dengan barang-barang itu, rupanya saya salah. Pedagang barang bekas mendapat banyak keuntungan dari menjual barang yang dia pungut dari pinggir jalan. Bahkan ada orang-orang tertentu yang kerjanya mengorek-ngorek tempat sampah untuk mencari barang bekas. Dan yang lebih ekstrim lagi, ada kelompok freegan yang mencari makanan dari tempat sampah supermarket! Kalau ini sih alasannya lebih ideologis, karena menolak membeli makanan karena bisa memberi keuntungan kepada kelompok kapitalis.
Jadi dari membuang barang di pinggir jalan itu bisa jadi mencakup beberapa kegiatan: charity, recycling, dan (make a) living.
Sunday, May 21, 2006
Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya
Amelia Fauzia
Baru-baru ini, Menteri sosial berterima kasih kepada masyarakat setelah menyaksikan bagaimana peran masyarakat membantu korban tanah longsor dan banjir yang terjadi akhir-akhir ini (Republika 26/02/2006). Pejabat publik menyadari bahwa tanpa filantropi, pemerintah/negara saat ini belum dapat berbuat maksimal untuk membantu korban bencana alam. Filantropi, kedermawanan sosial, dalam masyarakat Indonesia sudah menjadi tradisi dan dianggap aktivitas biasa sehingga terkadang kita terkaget melihat peran dan fungsinya secara riil di lapangan. Padahal hampir semua aktivitas sosial kemasyarakatan dan infrastruktur sosial termasuk sebagian besar penyelenggaraan pendidikan itu ditopang oleh filantropi.
Istilah filantropi, memang belum dikenal oleh sebagian besar masyarakat. Dalam bahasa Indonesia, istilah yang cukup sepadan dengan filantropi adalah kedermawanan sosial; istilah yang sebenarnya hampir sama tidak populernya bagi rakyat kebanyakan, yang lebih paham dengan istilah dan praktek seperti sedekah, zakat mal, zakat fitrah, sumbangan, dan wakaf. Namun istilah filantropi dipakai karena ada ideologi di belakangnya yang diperjuangkan, seperti halnya istilah masyarakat madani, civil society, dan gender. Filantropi adalah kedermawanan sosial yang terprogram dan ditujukan untuk pengentasan masalah sosial (seperti kemiskinan) dalam jangka panjang, misalnya bukan dengan cara memberi ikan tetapi memberi kail dan akses serta keadilan untuk dapat memancing ikan. Selain makna yang diperjuangkan itu, istilah filantropi juga dipakai untuk aktivitas kedermawanan sosial secara umum yang beragam dan ditemukan di hampir semua peradaban di dunia di sepanjang waktu. Praktek filantropi yang cukup dominan selama ini banyak dimotori dari ajaran agama (faith-based philanthropy). Saat ini, praktek filantropi di Indonesia pun tidak bisa terlepas dari praktek filantropi Islam. Sejalan dengan survey yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai filantropi Islam, --bahwa 99.3% Muslim berderma (baik itu berupa zakat, sedekah, maupun sumbangan barang)—maka tulisan ini ingin meruntut bagaimana peran dan perkembangan filantropi Islam itu sendiri di Indonesia.
Periode Awal Filantropi Islam
Aktivitas filantropi Islam sudah dipraktekkan di Nusantara sejak adanya komunitas Muslim di Nusantara mulai sekitar abad ke 8-9M (Fauzia dan Hermawan, 2002) dan khususnya ketika Islam sudah menjadi kekuatan sosial dan politik dengan berdirinya kerajaan Islam mulai abad ke-12M (lihat Schrieke, 1957; M.C. Ricklefs, 1993; dan Notosusanto, 1977). Karena filantropi merupakan salah satu inti ajaran Islam, maka komunitas Muslim di Nusantara dipastikan melaksanakan aktivitas filantropi seperti zakat, sedekah, dan wakaf ketika komunitas Islam sudah cukup kuat umumnya di kota pesisir. Di Nusantara yang pada abad ke-20 disebut Indonesia, aktivitas filantropi Islam yang masuk sejalan dengan masuknya Islam, tumbuh dan berkembang dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat setempat sampai masa sekarang. Filantropi Islam juga berinteraksi dengan tradisi filantropi yang sudah ada pada zaman pra modern di Nusantara yang mungkin dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Namun lebih dari itu, filantropi Islam merupakan salah satu dari apa yang disebut Lombard sebagai stimulus Islam sehingga menjadi pendorong bagi proses konversi (Lombard, jilid 2, 1996). Filantropi Islam mencapai momentum dan menjadi trigger bagi aktivitas filantropi di Indonesia baik yang berlandaskan agama maupun tidak dan saling berpengaruh terhadap praktek filantropi yang menjadi tradisi masyarakat setempat. Karena ada beberapa tradisi yang mirip sekali dengan wakaf di beberapa suku di Indonesia atau ada beberapa tradisi sedekah yang tidak disebut sedekah tapi merupakan praktek filantropi yang ditradisikan oleh beberapa masyarakat suku yang mayoritas Muslim.
Filantropi Islam ke Indonesia tentunya dibawa oleh para penganjur Islam di Nusantara, kebanyakan terdiri dari pedagang Muslim dan guru tarekat yang datang dari atau melalui India ataupun langsung dari Arabia untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Beberapa naskah Melayu dan Jawa yang bertutur mengenai kehidupan Istana dan sultan, dan mengenai etika, menceritakan konsep dan praktek filantropi Islam. Konsep sedekah dan zakat merupakan upaya perbaikan sosial dan menjadi kewajiban bagi yang kaya kepada yang miskin dan sebaiknya dilakukan dengan etika yang baik –secara diam-diam (Kitab Bonang, 1969). Aktivitas sedekah di lingkungan kesultanan, biasanya terkait dengan perayaan, misalnya perayaan kelahiran, khitanan, dan pernikahan. Dalam suatu perayaan, Sultan senantiasa memberikan makanan, pakaian, termasuk perhiasan kepada orang miskin. Nuruddin Ar-Raniri dalam Bustan al-Salatin menyebutkan bahwa Sultan senantiasa memberi sedekah kepada fakir miskin, khususnya setiap berangkat menunaikan shalat Jum’at (Ar-Raniri, 1966).
Kitab Undang-undang Melaka yang bisa menjadi acuan mengenai sistem hukum di kesultanan-kesultanan Nusantara, tidak menyebutkan mengenai zakat (Liaw, 1976). Kemungkinan kerajaan tidak berurusan dengan kegiatan pengumpulan dan pengelolaan zakat, tapi diserahkan kepada individu maupun ulama. Undang-undang Melaka dan Bustan al-Salatin menyebutkan sekilas adanya Baitul Mal. Informasi yang didapat dari Bustan al-Salatin hanya menyebutkan bahwa Baitul Mal dan usur (kemungkinan zakat pertanian sebesar sepersepuluh) pertama kali ditetapkan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Aceh (Ar-Raniri, 1966; Lombard, 1986), dan tidak ada penjelasan lainnya.
Belum ditemukan bukti yang jelas mengenai adanya tradisi pengumpulan zakat oleh kerajaan Islam. Karenanya, ketika pada abad ke-19 kerajaan Islam mulai hancur dan sistem pemerintahan diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda, tidak pernah ada diskusi apakah pemerintah ‘kafir’ boleh atau tidak boleh mengelola zakat. Namun catatan mengenai pajak non keagamaan jelas ada termasuk pembebasan pajak atas tanah perdikan (biasanya tanah makam, pesantren dan masjid) yang sudah berjalan sejak masa kerajaan Hindu.
Institusi wakaf sudah mulai tersebar di seluruh wilayah Nusantara sejak abad ke 15 dengan semakin kuatnya kerajaan Islam dan semakin banyaknya masjid dan pondokan yang didirikan. Rachmat Djatnika mencatat bahwa di Jawa Timur sekitar 1500-1600 (ketika itu tidak ada pusat kerajaan Islam yang besar disana) sudah ada enam wakaf yang kuantitasnya terus bertambah secara signifikan (Djatnika, 1982). Akan tetapi, bentuk wakaf itu sangat tradisional dan hanya terfokus untuk kepentingan ibadah seperti masjid dan kuburan, dan untuk pendidikan, seperti pondok pesantren. Di lingkungan kerajaan, masjid besar biasanya didirikan oleh sultan, misalnya Masjid Raya di Kesultanan Aceh. Wakaf tempat-tempat umum seperti yang biasanya ditemukan juga di masa kerajaan Turki Usmani, misalnya wakaf sumur air minum, dapur umum, kamar mandi, dan jembatan, tidak populer. Penghayatan pengamalan ibadah individual terlihat disini lebih disukai dibandingkan dengan ibadah menyangkut kepentingan sosial. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan tradisi hukum Islam yang berkembang di Nusantara dan dominasi kelompok shariat dibanding tasawuf/tarekat.
Perubahan dan Keberlangsungan Tradisi Filantropi Islam
Islamisasi yang berangsur-angsur dan secara umum berjalan dengan damai menghasilkan Islam menjadi agama mayoritas dan praktek filantropi Islam menjadi tradisi masyarakat. Praktek zakat, infak/sedekah, dan wakaf bisa ditemukan disemua komunitas Muslim di Indonesia dan dilaksanakan mayoritas institusi keagamaan dan lebih terfokus pada masjid dan pendidikan Islam. Praktek filantropi Islam yang paling populer adalah zakat fitrah (Snouck Hurgronje, 1906; Snouck Hurgronje, 1992). Kuatnya tradisi ini zakat pada masyarakat petani di Jawa menyebabkan salah kaprah bahwa zakat identik dengan zakat padi yang dikeluarkan ketika panen. Zakat fitrah biasanya dibayarkan ke modin atau kyai desa yang mengelola masjid, ke kyai di pesantren dimana ia menimba ilmu, ke dukun bayi yang telah membantu melahirkan, atau diberikan langsung kepada tetangga yang membutuhkan. Namun mayoritas zakat itu diserahkan ke kyai desa yang mengelola dan membagikan sebagian zakat itu dan menggunakan sebagian untuknya (Snouck Hurgronje, 1906; Snouck Hurgronje, 1991) karena sebagian zakat itu juga diperuntukkan sebagai bayaran atas jasa kyai untuk ‘mengurusi’ hal keagamaan masyarakat.
Pada akhir abad ke-19 wakaf dapat ditemukan di setiap tempat yang ada komunitas Muslim dimana sebagian besar wakaf adalah dalam bentuk benda yang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, dan sedikit sekali benda bergerak seperti kitab dan kursi dan perlengkapan lain di masjid atau di tempat belajar agama (Atmadja, 1922). Tradisi wakaf semakin menguat bahwa hampir semua masjid dibangun di tanah wakaf ataupun tanah desa. Wakaf sawah juga banyak yang diberikan untuk sekolah (Meyer Ranneft, 1974). Selain berwakaf di dalam negeri, para pembesar negeri juga berwakaf diluar wilayah Nusantara khususnya di Mekkah. Mereka membangun wakaf berupa rumah penginapan untuk jamaah haji khususnya yang berasal dari wilayah kerajaannya. Diantara rumah wakaf yang terkenal adalah rumah wakaf untuk jamaah haji asal Aceh, Banten, dan Pontianak. Para sultan dan pembesar negeri yang membangun rumah wakaf juga mengirimkan uang untuk biaya perawatan rumah wakaf tersebut. (Snouck Hurgronje, 1931 p. 255, p 288).
Tradisi sedekah yang cukup potensial pada masa kolonial adalah sumbangan uang nikah yang disimpan di masjid sebagai uang operasional masjid dan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Tradisi ini dilegalkan oleh pemerintah kolonial dan disebut dengan moskeekas atau kas masjid. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda mengenai moskeekas ini adalah tarik ulur antara kebijakan untuk tidak turut campur urusan Islam dan pribumi dengan kebijakan intervensi yang bersifat mengawasi (Soeminto, 1989; Fauzia dan Hermawan, 2002). Snouck Hurgronje pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menemukan banyak penyelewengan penggunaan uang kas masjid ini (Snouck Hurgronje, 1991; Snouck Hurgronje, 1992). Kritikan terhadap penanganan dan kebijakan moskeekas cukup tersebar selama dekade kedua dan ketiga abad ke dua puluh di beberapa surat kabar pribumi yang isinya menuntut perubahan dalam managemen pengelolaan kas masjid dan penggunaannya supaya lebih transparan sehingga lebih bermanfaat dan menghindari korupsi (Sinar Hindia 18 Nov 1918, 24 April 1919, dan 8 Mei 1919). Usulan-usulan ini merupakan kritikan terhadap kebijakan pemerintah yang mengikuti nasehat Snouck Hurgronje yaitu menggunakan uang kas masjid hanya untuk kepentingan masjid, tidak untuk kepentingan sosial. Sebelumnya, kas masjid digunakan untuk kepentingan sosial seperti diberikan untuk fakir miskin, rumah piatu, sumbangan ke rumah sakit zending, penerangan jalan, dan direncanakan untuk pinjaman kredit, namun ditentang keras oleh Snouck Hurgronje dan akhirnya dihentikan. Perkembangan dan kemajuan aktivitas filantropi Islam secara tidak sadar ditekan oleh konservatisme pemerintah kolonial belanda.
Walaupun pemerintah Kolonial Belanda berusaha tidak melakukan campur tangan, kekhawatiran akan penyalahgunaan dana filantropi Islam untuk kepentingan yang kontra kolonial juga cukup kuat. Karenanya pengawasan khususnya terhadap penggunaan moskeekas dilakukan. Satu hal yang cukup konstruktif dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda adalah melakukan pencatatan administrasi tanah wakaf untuk menekan angka perselisihan status wakaf yang sudah sering terjadi. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan peraturan, keputusan, dan surat edaran yang memiliki kekuatan hukum mengenai wakaf (Bijblad no 6196), zakat mal dan fitrah (Bijblad no 1892, Bijblad no 6200), yang menegaskan bahwa fungsi pejabat kolonial adalah mengawasi urusan filantropi Islam namun tidak boleh turut campur tangan karena sifat filantropi Islam itu adalah kewajiban agama yang dalam prakteknya sifatnya sukarela.
Abad ke-20: Perubahan dan Kemajuan
Seiring dengan masuk dan berkembangnya modernisme Islam di awal abad ke-20, filantropi Islam yang berperan cukup penting untuk membiayai perubahan itu juga mengalami transformasi sesuai dengan perubahan masyarakat. Karenanya, selain praktek filantropi lama (tradisional), bentuk-bentuk filantropi baru mulai berkembang di masyarakat perkotaan. Bentuk-bentuk baru diantaranya adalah adanya komite dan organisasi khusus filantropi, adanya mekanisme transparansi dan akuntabilitas, dan filantropi media. Bentuk baru ini muncul mengambil ide baik dari kemajuan Barat, dari dunia Islam di Timur, dan wacana dalam negeri sendiri. Bentuk baru ini berkembang mulai awal abad ke-20 dan mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi politik, ekonomi, dan sosial masyarakat dan negara, dan merambah ke berbagai institusi dan organisasi, termasuk media, dan organisasi politik. Kebijakan pemerintah, situasi politik, dan perubahan sosial memberi dinamika tersendiri bagi perkembangan filantropi dari akhir masa kolonial sampai sekarang.
Politik tidak campur tangan pemerintah Kolonial Belanda telah membuka peluang bagi gerakan Islam untuk membentuk lembaga wakaf modern, komite-komite karitas dan filantropi, serta penggunaan filantropi Islam untuk mendukung gerakan kemerdekaan. Persyarikatan Muhammadiyah (1912-) merupakan organisasi massa yang mempercepat perubahan tradisi filantropi yang berbasis individu kepada organisasi modern. Walaupun tidak menyebut sebagai lembaga filantropi, Muhammadiyah merupakan lembaga sosial keagamaan yang berbasis filantropi modern. Selain Muhammadiyah, hampir semua organisasi Islam menggunakan zakat, wakaf dan sedekah sebagai bagian dari upaya pencarian dana pergerakan. Bahkan komite-komite zakat fitrah sudah dibentuk oleh organisasi-organisasi Islam.
Yayasan wakaf dalam bentuk modern baru mulai didirikan pada masa ini sejalan dengan perkembangan modern filantropi Islam. Yayasan seperti ini kelihatannya didirikan oleh muslim yang memiliki latar belakang pendidikan Eropa dan juga didukung oleh kelompok keturunan Arab yang memiliki pengetahuan mengenai wakaf di negara Muslim. Wacana wakaf modern sudah cukup maju dan dimulai oleh Centraal Sarekat Islam yang pada tahun 1918 mendirikan “Kas Wakaf Kemerdekaan Central Sarekat Islam” untuk mendukung perjuangan kemerdekaan dan membantu pejuang tanpa membedakan ras dan kewarganegaraan. Komite bantuan kemanusiaan banyak didirikan misalnya untuk membantu korban banjir, kelaparan, dan ledakan gunung berapi. Filantropi yang dilakukan oleh dan melalui media pribumi cukup gencar tidak hanya untuk bantuan kemanusiaan bahkan termasuk untuk membiayai pergerakan Islam dan demonstrasi buruh.
Pendudukan Jepang yang sangat singkat (1942-1945) tidak menyisakan banyak tempat bagi perkembangan filantropi Islam. Masa awal pendudukan Jepang yang sedikit membuka kesempatan bagi aktivitas gerakan Islam menyuburkan wacana mengenai baitul mal dan lembaga filantropi Islam yang sudah dicoba dilaksanakan di daerah Jawa Barat melalui MIAI (Benda, 1983). Namun karena perang yang berkepanjangan, wacana ini kemudian tidak bergulir.
Wacana filantropi tidak berkembang pada pemerintahan Orde Lama (1945-1966) khususnya pada tahun-tahun awal dimana negara masih bergulat secara fisik dan politik mengenai kedaulatan negara. Namun wacana dan praktek filantropi modern yang sebelumnya sudah terbentuk tetap bergulir. Fonds Sabilillah bisa dikatakan yayasan zakat pertama yang didirikan setelah kemerdekaan yaitu tahun 1947 sebagai jihad untuk membangun kedaulatan Indonesia dan mengusir kolonial. Pada masa Orde Lama ini setidaknya yang lebih banyak berkembang adalah wakaf khususnya di bidang pendidikan. Misalnya pada tahun 1948 berdiri Stichting (Wakaf) Republik yang bergerak pada penerbitan dan perpustakaan untuk semua kalangan, tahun 1950 berdiri Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan tahun 1951 berdiri Yayasan Wakaf Universitas Islam Indonesia. Transformasi wakaf tradisional pondok pesantren menjadi wakaf modern yang paling awal dilakukan oleh Pondok Modern Gontor pada tahun 1958. Situasi politik nasional yang tidak stabil tidak banyak membawa perkembangan baru di tingkat nasional. Sejak awal kemerdekaan, beberapa yayasan wakaf modern melanjutkan prinsip keadilan sosial bagi penerima wakafnya tanpa diskriminasi agama dan kewarganegaraan, namun akibat pengkotakan politik yang tajam, pembatasan stakeholder khusus untuk Muslim semakin mengemuka.
Kebijakan pemerintah Orde Baru (1966-1998) dalam menangani filantropi Islam hampir sama dengan kebijakan yang dilakukan pemerintah Kolonial Belanda sebelumnya (Fauzia, 2005a). Dari awal masa Orde Baru, upaya pendirian badan amil zakat tidak bisa dibendung oleh pemerintah yang mencoba mengalihkan menjadi amil zakat individu dan akhirnya amil zakat tingkat provinsi yang biasa disebut sebagai Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS). Resistensi di tingkat masyarakat bawah terhadap pemerintah Orde Baru dan badan amil zakat-nya membuat (1) menjamurnya badan dan panitia amil zakat yang biasanya mengelola zakat fitrah menjelang perayaan Idul Fitri dan (2) keberlanjutan tradisi pemberian karitas langsung kepada fakir miskin. Setidaknya pada masa ini, tradisi memberikan zakat kepada kyai sebagai individua semakin berkurang, sebagian besar kyai berafiliasi pada kepanitiaan amil zakat di masjid dan lingkungan sekitar. Akhir masa Orde Baru yang cukup akomodatif melahirkan beberapa badan amil zakat swasta yang berdiri sebagai yayasan salah satunya adalah Dompet Dhuafa Republika. Yayasan filantropi seperti inilah yang kemudian berkembang menjadi lembaga amil zakat sekup nasional dan menjadi motor penggerak filantropi Islam pada masa Reformasi.
Masa Reformasi (1998- ) merupakan puncak dari institusionalisasi filantropi Islam dengan banyak dikeluarkannya undang-undang dan peraturan mengenai pelaksanaan filantropi Islam. Dua undang-undang yang cukup menentukan adalah Undang-undang zakat (1999) dan Undang-undang Wakaf (2004) yang mengatur pelaksanaan zakat dan wakaf. Selain itu, pemerintah memfasilitasi dengan dibentuknya direktorat Zakat dan Wakaf di Departemen Agama dan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), serta BAZDA (Badan Amil Zakat Daerah) di tingkat propinsi. Dalam pelaksanaannya, LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dikelola oleh NGO lebih maju dan mendapat kepercayaan dari masyarakat dibandingkan dengan BAZ (Badan Amil Zakat) yang dikelola oleh pemerintah.
Dengan demikian, maka terlihat bahwa praktek filantropi Islam berkembang dipengaruhi oleh faktor sosial, politik, dan budaya masyarakat. Perkembangan filantropi Islam bertransformasi dari praktek yang tradisional ke praktek yang modern melalui proses yang panjang dan bertahap. Karenanya tidak heran jika sekarang ini praktek filantropi Islam tradisional masih banyak ditemukan disamping adanya praktek filantropi Islam modern dengan aktivitas dan bentuk yang beragam.
Penutup
Dari sini sebenarnya banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengembangkan praktek filantropi di Indonesia, dari sekedar ucapan terima kasih yang diberikan kepada masyarakat. Diantaranya adalah kebijakan pengurangan pajak yang tidak parsial dan tidak setengah hati. Kebijakan tax deduction yang ada (misalnya dalam bantuan korban Tsunami dan pembayaran zakat), nominalnya kecil --karena perhitungannya bukan langsung dikurangi, tapi dianggap cost-- sehingga kebijakan tax deduction sementara ini belum dapat mendorong masyarakat untuk berderma. Selain pengurangan pajak, pemerintah bisa lebih menggiatkan Corporate Social Responsibility bagi perusahaan-perusahaan, dan memberdayakan organisasi filantropi sehingga menjadi lebih professional dan mendatangkan manfaat yang lebih besar.
* Versi lengkap dari tulisan ini akan diterbitkan menjadi bagian dalam Laporan Penelitian "Filantropi Islam untuk Keadilan Sosial di Indonesia" oleh Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Satu Pelajaran dari Papua: Filantropi dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Amelia Fauzia
Aksi demonstrasi terhadap PT Freeport Indonesia di depan kampus Universitas Cendrawasih yang akhirnya ricuh dan menimbulkan beberapa korban tewas adalah luapan emosi masyarakat yang mendapat momentum baru. Kerusuhan dan demonstrasi tidak akan muncul begitu saja tanpa ada faktor laten dibelakangnya, yaitu kesenjangan sosial dan perasaan ketidakadilan yang merupakan dampak dari persoalan lain yang belum terselesaikan, seperti kerusakan lingkungan dan kesenjangan pembagian laba. Tulisan ini akan melihat sisi filantropi perusahaan atau yang biasa disebut tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility- CSR) dalam upaya mempersempit kesenjangan dan menciptaan ketidakadilan sosial.
Filantropi dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Paradoks?
Istilah filantropi memang belum dikenal oleh sebagian besar masyarakat. Dalam bahasa Indonesia, istilah yang cukup sepadan adalah kedermawanan sosial; istilah yang hampir sama tidak populernya bagi rakyat kebanyakan, dibanding istilah seperti sumbangan dan bantuan. Istilah yunani ini dipakai kembali karena ia bisa mencakup semua jenis dan bentuk kegiatan kedermawanan sosial di berbagai peradaban, wilayah, kultur dan zaman, seperti sedekah, karitas, gotong royong, kesukarelawanan, zakat, tithe, wakaf, dan tanggung jawab sosial perusahaan. Filantropi adalah segala bentuk kegiatan non pemerintah yang bersifat sukarela dan dilakukan untuk kepentingan publik. Istilah filantropi juga menjadi pilihan karena di belakangnya ada makna pengentasan akar masalah sosial, bukan sekedar karitas. Tangung jawab sosial perusahaan ( CSR) adalah bentuk filantropi yang menjadi komitmen kepedulian perusahaan terhadap masyarakat.
Sepertinya ada paradoks dalam CSR, antara etos perusahaan yang bekerja untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dan kegiatan sosial yang menghabiskan dana. Walaupun awalnya CSR penuh pro kontra, namun pada praktiknya ia semakin mendapat momentum dan hampir semua perusahaan besar di dunia berlomba melakukan kegiatan sosial. Komitment sosial perusahaan pun akhirnya bukan hanya sekedar sukarela, tapi dianggap sebagai tanggung jawab sosial perusahaan karena keuntungan yang didapat dari masyarakat, dan kemungkinan dampak sosial dan lingkungan yang diakibatkan. Bagi perusahaan, studi membuktikan bahwa CSR malah mendatangkan banyak keuntungan, katakanlah good image dan dukungan sosial. Bagi masyarakat, CSR bisa dinilai sebagai kewajiban, sebagai “friendly face of capitalism” –meminjam istilah Deborah Doane, ketua koalisi Corporate Responsibility, atau sebagai bantuan yang meringankan hidup.
Program CSR dan Kesenjangan Sosial
Program CSR bisa meringankan hidup masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan tentunya mengurangi kesenjangan sosial. Sebagian besar perusahaan di Indonesia sudah memiliki program sosial, dari yang bersifat karitas --seperti pemberian bantuan bahan makanan untuk korban bencana alam dan pengobatan gratis-- sampai community development – seperti advokasi HAM dan pemberdayaan industri kecil. Program CSR fokusnya beragam; ada yang berupa kesejahteraan dan pemberdayaan karyawan beserta keluarganya, berupa pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan, dan berupa kebutuhan masyarakat umum. Komitment kepada ketiganya menjadi suatu keharusan yang tidak bisa dianggap selesai dengan pembayaran pajak kepada negara.
Apakah perusahaan-perusahaan besar sudah punya komitment filantropi atau CSR? Sebagian besar perusahaan sudah memilikinya bahkan beberapa membuat yayasan tersendiri, seperti Yayasan Sampurna dan Yayasan Dharma Bakti Astra, yang cukup maju. Sebagian lainnya belum punya. Bagaimana berkomitment untuk CSR sedangkan cerita mengenai pelanggaran HAM dan demonstrasi buruh terhadap perusahaan masih marak terdengar.
Melihat ke Papua, sejauh ini PT Freeport Indonesia sudah menjalankan program CSR melalui kemitraan dengan masyarakat adat Amungme (Lembaga Masyarakat Adat Amungme- LEMASA) dan Kamoro (Lembaga Masyarakat Kamoro- LEMASKO) dengan memberikan kontribusi berupa dana kemitraan. Dana kemitraan tersebut dikelola dan disalurkan oleh lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) berupa program pendidikan dan training, kesehatan, pembangunan desa, dan pengembangan wirausaha. Namun, dari hasil audit the International Center for Corporate Accountability (ICCA) masih banyak hal yang perlu diperbaiki diantaranya adalah pengelolaan dan distribusi dana oleh LPMAK, serta pemberian bantuan yang tidak pada tempatnya.
Tanpa keseriusan perusahaan dan pengawasan masyarakat, tujuan pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan akan sulit dicapai. Dan karenanya kesenjangan sosial akan tetap tinggi dimana konflik sosial mudah terjadi.
Peran Pemerintah
Selain peran pengusaha dan masyarakat, tentu pemerintah memiliki posisi yang strategis untuk bisa memajukan filantropi dan CSR. Mengapa pemerintah berkepentingan? Selama ini secara tidak langsung pemerintah telah dibantu oleh masyarakat yang secara sukarela membantu warga yang membutuhkan. Dalam kasus bencana Tsunami di Aceh dan Medan misalnya, terkumpul dana cash sebesar $52 juta dari masyarakat Indonesia hanya dalam waktu satu bulan (APPC April 2005). Dana zakat dan sedekah dalam setahun terkumpul Rp 19.3 trilyun yang dibayarkan oleh 98 persen Muslim di Indonesia. Dan sebagian besar lembaga sosial dan pendidikan dibangun dan hidup dari kegiatan filantropi, bukan dari dana pemerintah. Dari sini terlihat bahwa peranan filantropi sangat substansial dan potensial ketika negara belum bisa mensejahterakan rakyat.
Karena itu sudah semestinya pemerintah mendorong perkembangan filantropi di Indonesia untuk mendorong terciptanya keadilan sosial. Diantara yang bisa dilakukan adalah mengubah kebijakan pengurangan pajak atas donasi yang setengah hati dan parsial; mendorong perusahaan memiliki Corporate Social Responsibility; dan memberdayaan organisasi filantropi menjadi lebih professional. Semoga tragedi di Papua tidak terulang lagi.
Friday, May 19, 2006
Studi Filantropi di Australia
Kajian filantropi bisa ditemukan di tiga lembaga: universitas (lembaga pendidikan), lembaga penelitian, dan lembaga advokasi. Tentu kategorinya bisa tumpang tindih, misalnya ada lembaga penelitian yang attached ke universitas. Untuk studi filantropi (mengambil gelar degree) yang cukup baik adalah yang berbasis di universitas. Riset center biasanya tidak menawarkan studi tapi cukup leading dalam riset mengenai filantropi. Lembaga advokasi arahnya memberikan training untuk community development.
Di Australia belum banyak universitas yang menawarkan studi filantropi. Dibawah ini saya list program studi dan pusat riset filantropi yang cukup baik.
- Centre of Philanthropy and Nonprofit Studies, Queensland University of Technology, di Brisbane.
Di sini ditawarkan Graduate Certificate in Philanthropy and Non Profit Studies dan Master in Philanthropy and Non Profit studies. Center ini ada di bawah School of Accountancy di Fakultas Business, Queensland University of Technology. Walaupun ada di fakultas Bisnis, center ini membuka peluang untuk semua bidang disiplin. Ini linknya: http://www.bus.qut.edu.au/research/cpns/ - Asia-Pacific Centre for Philanthorpy and Social Investment yang ada di Swinburn University di Melbourne.
Center ini menawarkan kursus, graduate certificate dan program Master degree. Selain itu, membuka konsultasi dan melakukan penelitian mengenai filantropi dan social investment. http://www.sisr.net/philanthropy/ - Centre for Australian Community Organisations and Management (CACOM), the University of Technology (UTS), Sydney. http://www.business.uts.edu.au/cacom/index.html
CACOM ini pusat penelitian dan tidak membuka program degree. Namun di UTS ada program degree dan kursus untuk bidang filantropi yang dimotori oleh orang-orang CACOM. Program degree dan kursus dalam bidang Community Management (Non for Profit). UTS juga menawarkan tiga beberapa studi untuk bidang Community Management, yaitu program Master of Management in Community Management, Graduate Diploma in Community Management and Graduate Certificate in Community Management. http://www.gsb.uts.edu.au/community/index.html - Fundraising Institute Australia (FIA)
FIA menawarkan training and development dalam bidang fundraising, termasuk juga studi diploma. · Diploma dalam bidang Fundraising Management. · Skills Training Courses - 1, 2 & 3 · Mentoring Program · Special Interest Groups tentang bequest development & direct marketing. http://www.fia.org.au/Template.cfm?section=Professional_Development - The Centre for Citizenship and Human Rights (CCHR).
Ini riset center dan tidak menawarkan program studi. Proyek penelitiannya cukup kuat dan diantaranya mengenai "civil society, Islam, dan politik ekonomi di Indonesia." http://www.deakin.edu.au/arts/cchr/research.php
Kelihatannya baru itu yang saya lihat mengenai kajian filantropi di Australia. Jumlahnya belum banyak dan bobotnya belum sebanding dengan pusat-pusat kajian fiantropi yang sudah cukup tua di Amerika. Namun ke depan, program studi filantropi akan semakin berkembang karena selain praktek volunteering sudah cukup kuat dalam masyarakat, pemerintah Australia memberi support untuk pengembangan filantropi.
Amel