Friday, December 15, 2006

Profesionalisme Amil Zakat

Amelia Fauzia*

Amil zakat merupakan profesi yang serba salah, seperti halnya seorang kyai atau da’i. Di satu sisi, mereka diminta supaya bekerja secara profesional tapi di lain sisi mereka masih ditabukan untuk meminta bayaran. Karena itulah maka perzakatan di negeri kita selama berabad-abad tidak berkembang salah satunya akibat kerja amil yang dijalankan secara sambilan. Dari masa kerajaan Islam sampai abad ke sembilanbelas kondisi keamilan tidak berkembang lebih baik, kecuali awal abad kedua puluh dengan mulai beralihnya pemberian sumbangan langsung kepada fakir miskin dengan pemberian ke organisasi yang dimotori oleh Muhammadiyah. Berkat momentum Dompet Dhuafa dan kejatuhan Orde Baru lembaga amil sekarang berkembang lebih maju dengan terbentuknya institusi amil zakat atau institusi filantropi yang menghimpun dan mendayagunakan berbagai potensi kedermawanan sosial Islam.

Semangat kehati-hatian dan pengawasan terhadap lembaga amil zakat sangat perlu seperti yang ditulis oleh Abd. Salam Nawawi dengan judul ”Mewaspadai Penyimpangan Amil Zakat” (Jawa Pos 22/10/06). Namun kehati-hatian itu selayaknya diarahkan untuk lebih memprofesionalisasikan institusi amil zakat termasuk dalam pendayagunaan dana zakat.


Bentuk Amil Zakat

Di Indonesia, setidaknya ada tiga bentuk amil (pengelola zakat), yaitu amil individual, amil kepanitiaan, dan amil kelembagaan. Amil individual atau perorangan mengemban amanat dari masyarakat untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat atas dasar integritas pribadinya serta pengetahuannya tentang hukum Islam. Amil individual ini berperan cukup penting sejak abad ketigabelas dan diperankan oleh fungsionaris agama Islam seperti yang biasa disebut, ustadz, kyai, teungku, dan kayim. Saat ini amil individual masih berfungsi di daerah pedesaan, bahkan di beberapa tempat ada yang menjadi jabatan seumur hidup. Akibat kemajuan dan kompleksitas masyarakat terbentuklah amil kepanitiaan dan kelembagaan. Amil kepanitiaan ini biasanya dibentuk di masjid, sekolah, lingkungan RT/RW, dan tempat kerja. Keberadaan amil kepanitiaan hanya temporer khususnya untuk mengumpulkan zakat fitrah menjelang Idul Fitri. Amil kelembagaan adalah institusi yang mengelola dana zakat dan dana filantropi (kedermawanan sosial) Islam lainnya seperti sedekah dan wakaf. Ada dua jenis, yaitu institusi amil atau filantropi Islam yang ada dibawah pemerintah dan disebut Badan Amil Zakat (BAZ), dan institusi amil non pemerintah yang disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ).

Lembaga amil non pemerintah mendapat berkembang pesat khususnya di wilayah urban. Dalam perjalanannya, perkembangan LAZ jauh melebihi BAZ dari sisi penghimpunan, pendayagunaan, dan transparansi, walaupun ada beberapa BAZ pemerintah daerah yang cukup baik seperti Bazis DKI Jakarta dan BAZ Sumut.


Kinerja dan Hak Amil

Benar bahwa amil adalah mustahik (orang yang berhak menerima zakat) dan sekaligus juga muzakki (orang yang wajib mengeluarkan zakat) khususnya ketika amil merupakan orang yang mampu secara ekonomi. Gaji atau hak amil ini merupakan konsekuensi logis atas kerja seseorang amil yang ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Taubah ayat 60.
Sistem gaji dan peningkatan status amil sebagai salah satu profesi muncul akibat kritik terhadap sejarah panjang lembaga keamilan yang mayoritas ‘hidup enggan mati tak mau’ karena diurus paruh waktu dan tanpa administrasi yang baik. Dilihat dari perkembangan sejarah, kinerja amil sekarang sudah lebih baik. Pada abad ke sembilanbelas, Snouck Hurgronje (Penasihat urusan Pribumi) memaklumi para amil yang mengambil porsi pembagian zakat cukup banyak karena mereka adalah mustahik atas dasar kerja ke-amilannya dan statusnya sebagai orang miskin. Kondisi ini berjalan tanpa ada pengawasan yang memadai dari pemerintah. Badan amil yang kemudian dibentuk pemerintah mulai tahun 1984 pun tidak berfungsi maksimal karena masih dikerjakan secara paruh waktu. Institusi amil yang modern dan profesional –yang disemai oleh organisasi sosial Islam modern—akhirnya berkembang mulai tahun 90-an dimotori oleh Dompet Dhuafa. Dari sinilah maka wacana profesi amil bergulir yang menuntut amil bekerja secara profesional agar dana filantropi dapat lebih bermanfaat.

Penulis tidak memungkiri jika misalnya terdapat institusi amil zakat yang kinerjanya tidak maksimal tapi menuntut gaji yang tinggi. Sejak masa kolonial kritik terhadap kinerja dan rendahnya transparansi amil (individual) sudah ada. Akan tetapi tidak dapat dinafikan bahwa mayoritas institusi-institusi filantropi Islam khususnya LAZ yang berkiprah saat ini bekerja dengan baik. Bahkan, hampir semua LAZ didirikan atas dasar idealisme yang menguras tenaga, pikiran serta kocek para pegiatnya. Misalnya, donatur-donatur pertama Dompet Dhuafa tak lain adalah para pendiri Dompet Dhuafa itu sendiri. Begitu pula yang terjadi pada lembaga lain seperti Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), Portal Infaq, dan Lembaga Wakaf Zakat Salman yang pada tahun-tahun awal pendiriannya para amil tidak mau mengambil hak mereka karena alasan kepentingan lembaga yang lebih besar.

Dalam lembaga amil, tidak bisa dikatakan bahwa amil menentukan gaji mereka dengan seenaknya. Lembaga amil memiliki mekanisme pengawasan, transparansi dan akuntabilitas yang relatif baik. Organisasi amil diawasi oleh Dewan Pengawas, Dewan Syari’ah, serta oleh pemerintah dan masyarakat. Prosentase 1/8 (salah satu ijtihad yang dipakai oleh sebagian institusi filantropi) adalah suatu kehati-hatian dalam menentukan dana yang bisa digunakan untuk biaya operasional dan upah amil. Tanpa dana operasional ini, pendayagunaan dana filantropi tidak akan maksimal. Banyak pula institusi amil yang mengambil biaya operasional dari uang sedekah, bukan uang zakat, sehingga otomatis prosentase seperdelapan dari dana zakat tidak berlaku.

Badan Amil yang ada di bawah pemerintah (BAZ) memang memiliki cerita yang sedikit berbeda dengan LAZ di atas. Staf BAZ menerima gaji dari pemerintah daerah karena status mereka sebagai pegawai pemda. Dalam perjalanannya ada BAZ yang tetap mengambil hak amil (karena memiliki pegawai honorer), namun ada juga BAZ yang tidak mengambil hak amil, contohnya Bazis DKI Jakarta, karena dibantu dari APBD.


Pendayagunaan Uang Zakat

Pendayagunaan zakat dan dana filantropi lainnya lahir dari kesadaran akan kegagalan fungsi filantropi Islam yang ternyata tidak bisa mengangkat umat Islam dari kemiskinan. Sebagian besar dana zakat dan sedekah digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup jangka pendek yang konsumtif dan hanya sedikit yang digunakan untuk pemberdayaan masyarakat jangka panjang dan produktif. Tanpa pendayagunaan yang terencana dan maksimal maka dana filantropi hanya menjadi sia-sia.

Jika ada sistem pendayagunaan yang kurang baik, bukan berarti ide pendayagunaan itu salah, tapi sistemnya yang harus diperbaiki. Pemanfaatan dana filantropi Islam yang dilakukan oleh beberapa LAZ nasional sudah cukup kreatif dan sebagian sudah mengarah pada pemberdayaan masyarakat dan pengentasan akar masalah kemiskinan seperti program mikro kredit, pelayanan kesehatan gratis, penanganan gizi buruk, peningkatan SDM melalui beasiswa pendidikan dan training, dan advokasi TKI.


Pengawasan bukan Campur Tangan

Penyimpangan amil bisa saja terjadi; amil toh juga manusia. Oleh karenanya yang dibutuhkan adalah pengawasan baik dari internal lembaga itu sendiri (Dewan Pengawas) maupun eksternal dari pemerintah, dan masyarakat khususnya donatur. Lembaga keamilan harus diarahkan untuk transparan dan akuntabel atas kegiatannya. Dengan transparansi dan akuntabilitas yang dimiliki lembaga keamilan, penyimpangan amil dan lembaga keamilan bisa dihindari atau dikurangi.

Lembaga amil seyogyanya dibiarkan memiliki kreativitas sendiri untuk mengelola lembaganya –seperti saat ini -- sejauh itu masih dalam koridor undang-undang. Iklim fastabiqul khairat (berlomba menuju kebaikan) yang sudah ada seharusnya difasilitasi oleh pemerintah misalnya dengan pemberian insentif bagi pembayar zakat. Campur tangan pemerintah yang berlebihan akan membawa efek negatif bagi perkembangan lembaga keamilan dan sebaiknya dihindarkan. Seyogyanya peraturan ‘zakat sebagai pengurang pajak’ --yang belum terlihat implementasinya-- itu yang lebih dahulu dijalankan dengan serius.

Tanpa sistem managemen yang baik dan penggajian yang professional institusi filantropi Islam tidak akan memiliki sumber daya manusia yang bagus yang bisa mengelola dana filantropi Islam secara maksimal. Pendayagunaan zakat merupakan keharusan; karena amanah untuk berpihak kepada fakir miskin bukan hanya sekedar mendistribusikan dana sehingga habis tapi mendayagunakannya untuk menghilangkan akar kemiskinan.

-------------
* Peneliti pada Center for the Study of Religion and Culture, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Cycling on Smoky Melbourne

.

Yes, it was a terrible beginning of summer because of bushfires in the countries of Victoria. Even though Melbourne city was smoky and hot, we still did exercise by cycling around Moreland. This time Elkana and Farhan's friend, Rifqy, joined us. He was so exited even though he must sit on the back of Amir's bycycle.

It was so fun!




Sunday, December 10, 2006

My Holiday


A Letter to Dad

Wednesday, December 06, 2006

Merayakan Hari Relawan Sedunia

Kemarin (5 Des 06) saya dan suami merayakan international volunteer day bersama dengan komunitas Australian Volunteer International (AVI) di Melbourne dengan acara yang berjudul Global Village Festival. Walaupun suasana global village-nya masih kurang terasa, tapi acara cukup meriah dengan musik/tari dari Afrika dan Timor, dan beragam komunitas yang hadir. Dimitri, CEO AVI, bercerita bahwa AVI tahun lalu sudah mengirimkan 750an relawan ke 46 negara. Suatu prestasi yang harus diapresiasi.

Awalnya saya kira, menjadi relawan (volunteering) tidak terlalu populer di Australia, dibandingkan dengan bersedekah uang. Apalagi di Australia begitu banyak lembaga filantropi (kedermawanan sosial) dari yang sekup lokal, nasional, sampai internasional. Tapi rupanya saya salah. Volunteering bagi masyarakat Australia ternyata cukup populer dan membudaya di masyarakat. Bentuk kesukarelawanan pun beragam, mulai dari kerja gotong royong, mengajar tanpa bayaran, sampai bekerja di organisasi non profit dalam dan luar negeri. AVI fokus pada yang terakhir, yaitu mengirim relawan untuk bekerja di lembaga-lembaga khususnya di negara-negara berkembang. Volunteering AVI lebih banyak diarahkan untuk sharing pengetahuan, teknologi dan keterampilan yang relawan miliki. relawan dengan harapan relawan akan mendapatkan pengalaman dan pengetahuan mengenai kultur dan budaya tertentu.

Volunteering di sini saya rasakan sebagai benar-benar suatu pilihan. Tidak perduli apakah kerja sukarela itu hanya sekedar kerja gotong royong di sekolah. Tidak ada paksaan sosial dan tidak ada stigma bahwa mereka yang ikut kerja sukarela adalah lebih baik dari yang tidak ikut. Namun tentu saja, selalu ada apresiasi bagi mereka yang mau menjadi sukarelawan dari yang sekedar kerja gotong royong tadi terlebih lagi bagi mereka yang mau mengabdi untuk bekerja sebagai relawan bertahun-tahun. Apalagi jika mau jadi relawan di negara-negara berkembang. Apresiasi ini bukan hanya dari komunitas, tapi juga dari pemerintah Australia diantaranya dengan memberikan insentif, tax deduction, dan menyediakan fasilitas dan prasarana untuk meningkatkan kegiatan kesukarelawanan.

Para relawan memiliki banyak motivasi untuk kerja sosial, dari yang sekedar mencari pengalaman, menambah pengetahuan, sampai kepada kesadaran akan tanggung jawab sosial. Para relawan AVI yang saya temui sebagian adalah profesional yang dengan sadar ingin melakukan kerja relawan. Beberapa mantan relawan merasa bahwa kerja sukarela yang mereka lakukan itu benar-benar memberi manfaat yang besar, tidak hanya dalam hal pengetahuan dan pengalaman, tapi juga rupanya karir mereka. Peningkatan karir? Saya kira hal ini bisa saja karena networking yang bagus dari kiprah selama beberapa tahun di luar negeri. Dan saya pun menyaksikan beberapa mantan relawan AVI yang berkiprah di Indonesia kemudian memiliki karir yang bagus.

Apa di Indonesia juga begitu? Memang konteks menjadi relawan di Indoneisa ada sedikit berbeda dengan relawan di Australia. Ada sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah bahwa kedermawanan sosial termasuk kesukarelawanan sudah menjadi kultur di Indonesia. Karenanya, --ini sisi negatifnya-- kerja volunter seperti gotong royong, mengajar tanpa bayaran, membantu tenaga, pikiran untuk organisasi bahkan menyumbangkan uang untuk kegiatan organisasi, sepertinya juga dianggap sebagai hal biasa. Karena itu apresiasi masyarakat kurang dan apresiasi pemerintah hampir tidak ada. Padahal peran para relawan ini luar biasa yang baru terlihat ketika penanganan bencana seperti Tsunami di Aceh 2004 dan Gempa di Yogya dan Jateng 2006. Mereka seperti pahlawan tanpa tanda jasa...

Khususnya untuk teman-teman para relawan, serta aktivis dan pemerhati filantropi,
Selamat Hari Relawan Sedunia!

Amelia

Friday, December 01, 2006

Poligami...

Saya menyayangkan pilihan AA Gym untuk berpoligami. Secara pribadi saya kecewa karena selama ini saya respek dan kagum dengan visi dan kepribadiannya. Memang berpoligami itu urusan pribadi AA Gym yang siapapun tak berhak campur tangan. Tapi ia adalah seorang tokoh publik yang urusan pribadinya menjadi panutan orang banyak. Mengapa AA gymn mengindahkan tafsiran-tafsiran baru mengenai ayat poligami yang sebenarnya bukan membolehkan tapi melarang poligami? Apa AA Gym lupa bahwa begitu banyak perkawinan poligami yang memberikan dampak sosial negatif dibandingkan dampak positif?

Ayat poligami (yang dibaca: fankihu ma toba lakum minan nisa'i matsna wa tsulatsa wa ruba'a...), memang bisa menuai banyak penafsiran. Kalau pakai metode penafsiran tahlili yang kronologikal, poligami itu dibolehkan. Bahkan jumlah istri yang diperbolehkan pun bisa beragam tergantung mengartikan "wa" yang berarti "dan" dalam ayat diatas. Jadi jika 'wa' diartikan pilihan, maka maknanya boleh beristri dua, tiga atau empat (seperti yang selama ini banyak dipraktekkan). Jika 'wa' diartikan sebagai tambahan, maka boleh menikah sebanyak 2+3+4 = 9 istri. Jika 'wa' atau 'dan' diartikan perkalian, maka boleh memiliki istri sebanyak 2x3x4 = 24! Nah lho. Namun jika ayat tersebut ditafsirkan dengan metode penafsiran maudhu'i yang contextual, maka poligami itu sebenarnya dilarang! Apalagi melihat asbabun nuzul ayat itu yang sebenarnya mengecam praktek mengambil harta anak yatim yang intinya adalah menjunjung keadilan. Ini terjemahan surat An-Nisa ayat 3, yang saya sebut sebagai ayat poligami diatas:

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."
Memang dalam ayat ini sepertinya dibolehkan menikah poligami, namun harus dilihat konteksnya. Konteks pertama adalah sikap adil terhadap perempuan (ayat 1 dan 2 surat An-Nisa) yang waktu itu sering menjadi korban penyerobotan harta dari walinya sendiri (masih sering terjadi di Timur Tengah). Jadi pembolehan menikah poligami itu bernada ironi. Kedua, pembolehan poligami menjadi hanya empat istri adalah sebuah kebijakan radikal yang membatasi tradisi poligami tanpa batas yang ada ketika ayat itu diturunkan. Jadi lagi-lagi ayat itu diturunkan dalam konteks memberi keadilan kepada perempuan. Ketiga, konteks pembolehan poligami pada masa Nabi adalah untuk menghilangkan problem sosial dan merupakan tanggung jawab sosial terhadap perempuan dan anak-anak yang terlantar akibat perang Uhud (625 M). Karena itu beberapa penafsir modern yang menggunakan metode maudhu'i mengatakan bahwa poligami itu tidak diperbolehkan. Apalagi ayat 128 surat An-Nisa menyebutkan:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Tentu saja kembali kepada individu mau memilih tafsiran yang mana. Tapi terlalu naif jika problem sosial janda dan anak-anaknya saat ini diselesaikan dengan cara perkawinan poligami. Banyak jalan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan problem sosial akibat ketiadaan suami tanpa harus dengan poligami misalnya dengan pemberdayaan masyarakat, penguatan law and order, penguatan lembaga filantropi. Dengan program jangka pendek, janda dan anaknya bisa ditanggung oleh lembaga filantropi (seperti Dompet Peduli Ummatnya AA Gym) yang memberikan pelatihan kepada ibu dan memberikan beasiswa pendidikan untuk anak yatim.

Kebalikannya, saat ini banyak masalah sosial yang timbul akibat perkawinan poligami, khususnya di daerah pedesaan dan di lingkungan yang ekonominya rendah. Karena poligami dianggap dapat menyelamatkan kehidupan ekonomi. Tapi sebagian besar poligami tidak bisa meningkatkan kesejahteraan janda dan pendidikan anak-anaknya. Anak-anak tetap menjadi korban. Tentu saja, perkawinan poligami dikalangan selebriti dan kalangan berada tidak menimbulkan masalah kesejahteraan, seperti yang terlihat dari perkawinan poligaminya Hamzah Haz, AM Fatwa, dan "Wong Solo." Tapi entah bagaimana peran bapak --bukan peran suami-- dapat difungsikan dengan baik bagi mereka yang memiliki anak banyak dari hasil perkawinan poligami ini.

Saya ber-husnu dzan, mungkin AA Gym ingin memberikan contoh poligami yang baik kepada masyarakat. Tapi saya khawatir yang akan terlihat adalah contoh "dianjurkannya poligami" bukan contoh "bagaimana perkawinan poligami yang baik."

Tentu saja saya maklum, toh AA Gym juga manusia. Hanya menyayangkan, tokoh da'i yang pro pada keadilan dan multikulturalisme dan memiliki visi sosial tinggi memilih untuk melakukan perkawinan poligami.

Amelia Fauzia