I was very happy to recieve both Elkana's and Farhan's school reports from their teachers at the Moreland Primary School. They are excellent. For three years I have appreciated they way school reports are presented. Its mostly qualitative reports with particularly details on five aspects, personal qualities and work habits, integrated studies, LOTE (Language Other Than English), Visual arts, and Library. All aspects are written thoroughly with rating codes B for Beginning, D for Developing, C for Consolidating, E for Established, and N for Not Covered, and with explanation standard level according to the Victorian Curriculum and Standard Framework (CSF). Each one of these aspects explains what student has learned and the student's achievement. The last two pages are general achievement presented in both semi quantitative and qualitative ones. The general achievement presents a rating (A, B, C, D, E) and comparison of students achievement (child's achievement 12 month ago, child's achievement this year, child's progress since last year, and the expected level of achievement) in in five learning areas: English, Personal qualities and work habits, Mathematics, Information and Communications Technology, and Health and Physical Education. The most part I like is the end of the report namely what my child has achieved, what areas to improve in the future learning, what the school will do to support my child, and what parents can do at home to help my child's progress.
After reading thoroughly Elka's and Farhan's reports I remember how poor my school reports were. One semester report was presented only in one page where all of subjects were rated by numbers from one to nine. How can students were judged only by these numbers coming mostly from formal exams which were mostly corrupted? Akhlaq which was regarded as the most important things for students to behave was reported in number from five to nine; five meant you were anak nakal (bad and naughty child) and nine meant you were anak baik sekali. Its so poor. Morality is socially and culturally very important according to Indonesians. However, there is no creative and academic ways to describe anak baik. I did not remember how I learned the akhlaq subject at public schools. There was not any particular subject to learn. My teacher said that the report is taken from a daily observation of akhlaq of the student. I learned the akhlaq subject from madrasah ibtidaiya (islamic primary schools), that I went in the afternoon, and then madrasah tsanawiyah and aliyah (Islamic secondary schools). I have to memorize hadith (prophets traditions) regarding good behaviour which was very abstract. Well, Indonesian culture highly appreciates akhlaq mostly in slogan and symbolic matters related to religious do's and dont's.
Indeed there is no akhlaq subject at Victorian public schools. However, interestingly they have details and thorough explanations on what is regarded as anak baik and akhlaq. It is written in the whole first page of school reports entitles Personal Qualities and Work Habit. The school explains the importance of this area as follows "at Moreland Primary School we aim to provide all children with the foundations for success which will provide them with social, emotional and behavioural well-being in school, work and in the future". The general achievement is divided into four, Confidence (having an "I can do it" attitude), Getting Along (working well with my class mates), Organisation (setting goals and managing times), and Persistence (trying had and not giving up), each of these has few items. In the Getting Along for example students are reported in few items: (1) works cooperatively in a group, (2) Is tolerant and sensitive to other people's feeling, (3) Is polite and well mannered, (4) works without interrupting others, (5) follows school and classroom rulers, and (6) demonstrates responsible and acceptable behaviour. They are all valued as S (starting to do this), U (usually does this), A (always does this) and L (leads and helps other students). In addition, the teacher explains the achivement of personal qualities and work habit in few sentences. Here I quoted Farhan's ones:
"Farhan is a quiet and serious student who applies himself to learning with great concentration. He is always polite and considerate towards others. Farhan is a capable students who is developing progressively well. He is more organized and has started to use his time well. He is slowly gaining confidence and learning express his ideas and sharing them with his peers. Farhan always demonstrates responsible and acceptable behavious. He is always polite and well mannered. He has demonstrated improvement in many areas this half of the year and it will be interesting to watch his development in the second half."
Looking to these akhlaq reports, how can people judge that Australia is an immoral society? In fact the society puts emphasis on morality, but presented without judgment and any specific religious precepts. They do have high standard morality with respecting freedoms and differences.
Tuesday, June 26, 2007
Akhlaq subject in the Primary school reports
Sunday, June 03, 2007
Sekolah tanpa peng-kelasan
Ini foto guru-guru SD Moreland yang sedang tampil pada acara akhir tahun di sekolah. Iya, mereka pake pita warna-warni, joget di depan anak-anak (kayak poco-poco lah kalau di Indonesia) dengan ceria dan apa adanya. Kenapa tidak? toh yang penting adalah kreativitas dan having fun, disamping bagaimana bisa menghibur dan mengajak orang tua dan murid untuk having fun juga.
Acara akhir tahun adalah acara yang spesial. Setiap kelas (hampir semua murid) diberi kesempatan untuk tampil. Tapi persiapan dilakukan dengan tidak neko-neko. Tidak perlu spanduk besar dan backdrop yang ada tulisan tentang acara, tidak perlu latihan berbulan-bulan yang menyita waktu belajar, dan tidak perlu pakaian khusus yang harus dibeli dengan mengeluarkan uang, tak perlu sewa kursi banyak karena anak-anak cukup duduk di karpet, dan tak perlu iuran untuk konsumsi karena masing-masing membawa bekal piknik. Karya murid-murid selama ini dikeluarkan dan dijadikan hiasan sekaligus pameran hasil karya. Acaranya bisa dibilang sederhana, tapi sangat meriah dan informal. Benar-benar "dari kita untuk kita" begitu.
Penampilan drama pun tidak perlu menghafal. Semuanya tidak dibuat-buat atau dipaksakan supaya terlihat meriah dan bagus. Sesekali terlihat acara tidak teratur, tapi itulah kekuatannya. Untuk apa pura-pura rapih dan baik kalau hanya untuk ditonton sesaat saja? Di sekolah yang penting adalah substansi pembelajaran, bukan simbol-simbol dan formalitas. Maka tidak heran jika sama sekali tidak ada pembuatan rangking murid terpandai. Tidak ada juara-juara-an. Tapi apresiasi terhadap prestasi itu sangat tinggi. Pembagian kelas dari kelas satu sampai enam pun dibuat samar. Dalam satu ruang, seorang guru kelas (plus asistan) mengajar 20 murid yang terdiri dari dua grade (kelas) yang berbeda: misalnya kelas prep dan 1, kelas 1 dan 2, kelas 3 dan 4, serta 5 dan 6.
Tidak hanya pengkelasan fisik yang blur, pengkelasan guru dan murid yang berlebihan pun tidak ada. Hubungan guru dan murid sangat cair. Murid sangat hormat kepada gurunya walaupun mereka memanggil nama guru mereka langsung tanpa embel-embel mrs atau mr. Murid akrab dan tidak takut kepada guru, walaupun guru juga sering memberi hukuman bagi murid yang nakal. Makanya para guru juga tidak perlu jaim dihadapan murid dan orang tua.
Tentu saja tidak ada ujian nasional yang perlu dana besar dan bikin murid stres dan belajar kilat (jadi lupanya juga kilat). Ujian tetap ada, tapi dilakukan biasa saja, tanpa nomor ujian dan hampir ada test setiap minggu (misalnya tes membaca dan tes matematika). Hasil ujian juga bukan satu-satunya penilaian. Karena penilaian di kelas itu lebih banyak kualitatif, bukan kuantitatif. Hal ini sangat jauh dari budaya ujian di Indonesia yang malah mengajarkan budaya nyontek, budaya korup, dan budaya jalan pintas. Tidak heran jika sertifikat dan gelar menjadi tujuan belajar.... Kalau hasilnya negatif, kenapa ya sistem peng-kelasan formal itu termasuk ujian nasional masih tetap diberlakukan ya?
Foto sekeluarga di Puffing Billy
Ceritanya kami pergi ke Puffing Billy bulan Maret yang lalu. Puffing Billy adalah nama wisata kereta tua di pegunungan (sebenarnya gak tinggi-tinggi amat sih) Dandenong, masih di Victoria. Jangan salah, walaupun sudah berumur, Puffing Billy tidak karatan, bahkan kalau kata orang Betawi kinclong.
Nah layaknya turis kita berfoto-ria. Saya dan Amir bergantian mengambil foto. Kali ini Elka, Farhan dan saya berdiri didepan lokomotif Puffing Billy dan Amir sedang mengira-ngira jarak untuk mengambil foto kami. Tiba-tiba seorang nenek berkulit putih dan rambut pirang mendekat. Sambil tersenyum si nenek itu bilang: "Do you want me to take your family picture?" Wow sebuah surprise ada sukarelawan yang menawarkan diri. Surprise karena kami selama ini berfikir untuk tidak minta tolong khususnya orang bule karena kelihatannya mereka lebih suka sendiri, tidak perduli, dan tidak mau diganggu privasinya.
Pikiran itu tidak sepenuhnya benar. Bahkan saya perhatikan justru orang-orang bule itu sangat baik berkomunikasi (walau tidak mesti ramah); sering kali bilang sorry, exuse me, dan pardon me; dan memanusiakan anak kecil. Memang tidak disemua tempat seperti ini sama. (Saya kira baik di halte busway jakarta maupun di tram stop Melbourne orang sama saja sibuknya; tapi kalau di perkampungan saya kira orang Melbourne sama orang Jawa sama ramahnya...). Di stasiun Puffing Billy, saya surprise mendengar pengumuman untuk penumpang dimulai dengan "Dear ladies and gentlemen, girls and boys..." Anak-anak begitu dihargai. Sepanjang perjalanan saya lihat hampir semua orang yang menyaksikan puffing billy melintas akan melambaikan tangan, entah itu anak-anak, orang tua, bahkan sampai supir truk yang bertampang sangar. Kami yang berada di atas Puffing Billy tentunya sumringah dan bersemangat pula melambaikan tangan tak henti-hentinya. Kultur-kultur ini merupakan hal kecil, tapi ini adalah generosity yang perlu dihargai.
Saturday, May 19, 2007
Sunday, April 22, 2007
Respecting Pinguins
During the Easter holiday, we went to Philip island. It takes around two hours from the city of Melbourne to Philip island. There is a 2 km brigde which connect Melbourne to philip island. The island is small and located southern part of Victoria. Philip island beaches are not so special for swimmers and surfers. Big waves rom the ocean have been impeded by Tasmania, left small waves to hit these beaches. At least it is very safe for children to play in the beaches.
Before we crossed the bridge to the Philip island, we went to a farm that breeds typical Australian animals: crocodiles, caccatoos, wombats, koalas, emus, sheeps, and, of course, kangaroos.
In the farm, kangaroos are the most favourite animals. Children loved to feed kangaroos. And they are friendly too. Other animals are quite friendly, but we could not stand with them. Emus and sheeps are smell bad; koalas sleep allmost 22 hours in a day on ecalypus trees. And no one wanted to be friend with crocodiles, for sure.
Farhan and giant koala. .. Feeding kanggurus.
We continued our journey to philip island. I almost got boring with the island until we saw pinguins. Yes! Philip island is famous with its pinguins. When it is dark, thousands of pinguins swim from the sea to philip island to stay a night. This tradition started from around thousand years ago and now becomes a one of favourite tourist attractions. For sure, you do not need to be freezing to see these Philip island's pinguins.
However, in this Philip island visitors are required to respect pinguins because this island is their home. As good visitors, we are required to be as quite as possible so these pinguins do not afraid. Visitors are not allowed to take pictures, not even to speak loadly. I did not imagine before, that around a thousand of visitors sit down on the sand, waiting quitely in the cold, sometimes in the rain, for about an hour, only to watch these small species of pinguins swim to the island in the dark.
Me and the Kangaroos
Story by Farhan, written by Mum
I went to the farm in Philip Island. I saw kangaroos. After that I got some grass to give the kangaroos. After I fed some more kangaroos. I got some grass. I came back to the kangaroo and I fed him. I saw a little kangaroo in the big kangaroo's pauch. I fed one more kangaroo and we went some where else. We went to the pinguins that time. We waited for the pinguins and it was cold.
Friday, March 16, 2007
Lebaran-nya Indonesia
Pendidikan Multikulturalisme = Melawan Rasisme
Tadi baru mengisi acara di Coburg Library. Bersyukur tadi bisa bawa Elka untuk ikut acara itu. Acaranya sih intinya untuk launching buku-buku mengenai Indonesia yang ada di perpustakaan Coburg. Terus dikaitkan dengan Diversity Week di Victoria, maka tema Multikulturalisme begitu jelas.
Tadi presentasiku juga bertema diversity etnis dan agama di Indonesia, terus topik yang kuambil mengenai diversity dalam acara pernikahan. Selain saya ada Elise Gould mahasiswi unimelb yang mengisahkan pengalamannya di Indonesia khususnya mengenai diversity culture.
Ending acara di Coburg tadi bagus sekali. Penampilan tari topeng Cirebon yang diiringi gamelan kelompok Putra Panji Asmara pimpinan Michael Ewing. Saya sebelumnya sudah pernah lihat Micheal menari dan penampilan gamelan Cirebonnya. Tapi kali ini ada humor teatrikalnya/ Mungkin kalau di wayang itu seperti 'goro-goro' yang isinya guyonon si Semar. Ini improvisasi yang cerdas. Mana yang jadi 'Semarnya' Prof Helen lagi. Bener-bener seperti clown. Penampilan kelompok gamelan dan tari topeng ini jadi 'ramah' anak-anak pula. Walau tarian terakhir terlalu panjang, secara umum penampilan mereka luar biasa.
Sambil menyaksikan Michael menari diiringi musik Sunda yang mengalir (tapi belum bisa ngalahin degung...), saya berfikir mengenai apa yang dilakukan Coburg library, pemerintah victoria, dan masyarakatnya. Diversity disini begitu dihargai. Diberi nama Multikulturalism. Bahkan anak-anak pun --melalui pemberian pita oranye untuk disematin dibaju-- didoktrin untuk tidak berbuat rasis. Anti diskriminasi. Duhai, indahnya perbedaan.
Pendidikan Multikulturalisme itu bisa dari mana saja, tidak hanya dari sekolah formal. Perpustakaan disini benar-benar berfungsi menjadi center edukasi buat masyarakat, dan mendukung program sekolah anak-anak usia sekolah. Perpustakaan bukan sekedar tempat menaro buku untuk bisa dibaca, tapi memiliki kaki dan tangan untuk meraih dewasa dan anak-anak. Ada program menggambar berhadiah untuk anak-anak, ada acara talk, acara kesenian, ada komputer bagus untuk browsing, dan dibuat untuk family friendly... (Duh, kapan ya, Indonesia punya perpustakaan seperti itu).
Dengan center-center seperti perpustakaan Coburg ini, wajar saja jika diversity menjadi sesuatu yang indah, bukan petaka. Bukan konflik etnis dan agama, bukan perang antar suku, bukan kebencian tidak berdasar, tapi bagaimana memahami perbedaan, dan menjadikannya sebuah potensi untuk kebersamaan dan perdamaian.
Lets fight against racism!
Wednesday, February 07, 2007
Australia Day
Australia Day dirayakan setiap tanggal 26 January. Pada perayaan Australia day tahun 2007 ini Elka dan Farhan bersama Rifki ikut pawai Australia Day di city.
Pawai dan perayaannya bertemakan Australian Unity, intinya sih seperti Bhineka Tunggal Ika aja, menyatukan semua elemen masyarakat yang berasal dari beragam bangsa dan berkarya di berbagai bidang untuk punya semangat kesatuan. Misalnya di bawah ini dari komunitas Kroasia dan dari grup atletik.
Tapi yang paling banyak mendapat sorotan adalah komunitas bangsa atau katakan saja etnis, misalnya dari Italia, Cina, India, dan termasuk Indonesia. Dari pawai ini kelihatan yang cukup berhasil dalam beradaptasi 'menjadi Australia' adalah komunitas Cina. Lha wong walikota Melbourne yang sekarang juga keturunan Cina kok. Yang terlihat serba salah adalah dari negara-negara Islam seperti Pakistan dan Libanon. Apalagi yang terakhir ini sering memperlihatkan potensi rasial vis a vis kulit putih. Cukup kontras melihat barisan perwakilan dari Pakistan yang hanya sekitar enam orang saja dan barisan Indonesia yang tepat dibelakangnya. Pakistan hanya diwakili oleh laki-laki, berjenggot, tanpa kemeriahan pakaian adat (malah kesannya sedikit menakutkan begitu, karena menggambarkan kelompok Islam radikal...). Sedangkan barisan Indonesia begitu colourful, meriah, imbang antara laki-laki dan perempuan (bahkan lebih banyak perempuan). Tapi harus diapresiasi kalau kelompok-kelompok 'ragu' seperti Pakistan itu ada keinginan untuk berpawai dalam 'Australia bersatu', karena kalau tidak mungkin bisa menjadi contoh kasus clash civilization antara Islam dan Barat.
Nah Elka, Farhan dan Rifki termasuk barisan depan. Trims untuk kak Ning (ketua grup seni) yang mengatur pawai dan Nana (mamanya Rifki) yang mengajak dan mengenalkan saya dengan kak Ning. Berkat mereka, Elka dan Farhan bisa ikut pawai.
Setelah pawai selesai, Elka, Farhan dan Rifki menikmati berbagai hiburan. Mereka bermain bola pukul (wah gak tahu namanya apa ya...), jumping castle, naik jembatan pramuka, komidi putar, dan golf. Terakhir ketika pulang kami berfoto deh di depan fotonya si 'c'mon!,' bukan si Cemon tapi Hewitt bintang tenis Australia. Australia Day juga bertepatan dengan even tenis internasional yaitu Australia open. Jadi Melbourne ramai dengan turis. Kota Melbourne ini memang kota turis, dan semua even itu dikelola baik sekali untuk menyenangkan dan mendatangkan turis serta membuat penduduk Melbourne senang...
Happy Australia Day...
Tuesday, February 06, 2007
Sovereign Hil: Mengalami Sejarah...
Tanggal 27 January, sehari setelah Australia Day, kami jalan-jalan ke Sovereign Hill, di Ballarat, Melbourne. Ini benar-benar wisata sejarah di mana pengunjung diajak untuk mengalami sejarah itu sediri. Diantaranya
memakan makanan seperti tahun 1850 di Ballarat (permennya kami makan sekeluarga baru habis dalam satu hari...),
bersekolah dan belajar menulis huruf latin dengan pena (sebenarnya banyak sekolah negeri dan madrasah di Indonesia dalam kondisi seperti ini atau jauh lebih sederhana dari sekolah tahun 1850 ini),
dijaga oleh prajurit bergenderang dengan pakaian yang fancy,
memakai pakaian ala cowboy dan cowgirl (sampai pakaian dalam dan aksesoris seperti jam dan anting, sesuai dengan tahun 1850 itu),
mendulang emas (pasir-pasir dan debu emas masih banyak di temukan di aliran sungan kecil itu lho...),
dan pesta gelembung air (bubles)!
Kota ini dibangun kembali untuk tujuan wisata. Dan setiap harinya dibantu oleh sekitar 250 orang volunteer yang berperan sebagai penduduk sovereign hill tempo doeloe: ada yang mendulang emas, membuat permen, membuat panci dan piring, naik kereta kuda, dst. Tempat wisata ini dikelola dengan sangat baik, kelihatannya semua aspek bisa dijadikan uang. Mereka juga tidak lupa untuk memberi entartainment untuk anak-anak diantaranya ya gelembung air itu. Dan yang paling berkesan adalah 'gold mine tour' di mana kami masuk ke bawah tanah untuk melihat penggalian emas tempo dulu. Jaman dulu perempuan gak boleh masuk, tabu dan bisa membawa sial katanya. Ih orang Melbourne dulu percaya tahayul juga... Tapi memang dunia penambang itu sangat keras dengan resiko kehilangan nyawa yang sangat tinggi. Dulu anak-anak dipakai sebagai buruh kasar yang seharinya mendapat upah setengah upah orang dewasa.
Duh padahal di Indonesia kita punya banyak potensi wisata sejarah. Seandainya bisa dikelola seperti ini, pasti luar biasa.
Saturday, January 13, 2007
Ternyata, rumput tetangga tidak lebih indah dari rumput sendiri...
Nah, kaitannya dengan liburan kami sekeluarga di Sydney pada akhir tahun 2006 sampai tahun baru yang lalu. Memang sih kami ubek-ubek Sydney cuma 4 hari. Waktu yang tidak lama untuk bisa memberikan judgement yang obyektif. Tapi dari hasil 'observasi' singkat ini saya berpendapat bahwa dalam hal turisme kota Melbourne itu lebih baik dari kota Sydney. Penilaian ini bukan membandingkan antara St. Kilda dengan Bondi Beach misalnya, atau membandingkan Circular Quay dengan Federation Square. Tentu saja, masing-masing kota punya keunikan sendiri-sendiri yang tidak bisa dibandingkan. Tapi menurut saya kota Melbourne lebih baik dari kota Sydney dalam hal:
1. Keramahan-tamahan komunitasnya khususnya orang yang bertugas di publik service. Jarang sekali kami temui misalnya petugas stasiun dan supir bus yang baik dan mau sabar menghadapi turis yang tidak tahu banyak mengenai publik transport. Di Melbourne, di tempat-tempat yang ramai baik di jalan, stasiun kereta dan pemberhentian tram, ada petugas yang memberi informasi mengenai publik transport dan ada pula petugas yang bisa memberi informasi mengenai tempat-tempat wisata di Melbourne. Para petugas ini sangat helpful. Kalau melihat seseorang yang bingung atau lama ngelihatin peta, dia pasti segera datang dan bertanya "May I help you?"
2. Mungkin ini ada hubungannya dengan keramahan di atas, tapi bedanya ini adalah budaya di jalan. Jika di Melbourne, pejalan kaki itu dihargai sekali, di kota Sydney . Memang di Sydney aturannya juga begitu, tapi bayangkan siapa yang tidak senewen kalau kita lagi nyebrang jalan tapi didengarkan suara gas bus dan mobil yang meraung-raung tidak sabar mau cepat jalan dan 'meminta' kita supaya cepat nyebrang. Belum sampai kaki di sebrang jalan, bus sudah jalan di belakang kita. Mengenai bus ini, saya dan Amir sepakat kalau gaya para supir bus ini tak jauh beda dengan supir metro mini di Jakarta! Ini memang bus regular. Tapi bus regular di Melbourne jauh dari kultur kebut-kebutan dan tidak sabar seperti di Sydney.
3. Tidak ada yang gratis! Libur tahun baru, di Sydney cuma ada diskon publik transport. Di Melbourne, beberapa hari libur seperti Natal dan Tahun Baru, public trasport itu free! Setiap hari ada bus turis gratis untuk keliling kota Melbourne. Ada juga tram yang disebut city circle yang kerjanya keliling kota, juga gratis. Selain Melbourne itu lebih generous, masyarakat juga di-encourage supaya naik public transport. Dan tentu saja ada diskonnya. Misalnya ada tiket sunday saver yang bisa dipakai untuk bepergian keliling kota Melbourne (unlimited travel) baik itu pake tram, kereta api, maupun bus pada hari minggu dengan hanya membayar $2.50.
4. Kebersihan kota. Masih di airport Sydney, ketika kami keluar untuk antri taxi, kami sudah disuguhi dengan bau kencing yang menyengat. Di luar airport pun pemandangannya tidak menyegarkan. Yang terlihat cuma dinding-dinding bangunan parkir yang suram tanpa landcape taman yang indah. Perjalanan dari airport ke suburb dan city disuguhi dengan pemandangan yang suram. Beda dengan airport Melbourne. Lingkungan airport cukup menyegarkan dan perjalanan dari airport ke city juga disuguhi pemandangan yang menyenangkan.
Jadi, saya baru mengerti, kenapa kawan saya Eka Sri Mulyani yang tinggal di Sydney begitu antusias dan terkagum-kagum ketika datang ke Melbourne. Katanya "this is the real Australia..." hehe. Soalnya dia bilang kota Sydney itu apa bedanya dengan kota Jakarta yang penuh dengan bangunan-bangunan tinggi. Sedangkan di Melbourne bangunan bergaya victorian itu bisa banyak dilihat dan masih terawat baik.
Dari hasil jalan-jalan ke Sydney, saya pikir kalo Melbourne ini kota turis yang luar biasa. Lebih hijau, ramah, dan generous! Tentu saja ini dari kacamata turis.
Saya mau menikmati Melbourne ah musim panas ini...
Friday, December 15, 2006
Cycling on Smoky Melbourne
It was so fun!
Wednesday, December 06, 2006
Merayakan Hari Relawan Sedunia
Kemarin (5 Des 06) saya dan suami merayakan international volunteer day bersama dengan komunitas Australian Volunteer International (AVI) di Melbourne dengan acara yang berjudul Global Village Festival. Walaupun suasana global village-nya masih kurang terasa, tapi acara cukup meriah dengan musik/tari dari Afrika dan Timor, dan beragam komunitas yang hadir. Dimitri, CEO AVI, bercerita bahwa AVI tahun lalu sudah mengirimkan 750an relawan ke 46 negara. Suatu prestasi yang harus diapresiasi.
Awalnya saya kira, menjadi relawan (volunteering) tidak terlalu populer di Australia, dibandingkan dengan bersedekah uang. Apalagi di Australia begitu banyak lembaga filantropi (kedermawanan sosial) dari yang sekup lokal, nasional, sampai internasional. Tapi rupanya saya salah. Volunteering bagi masyarakat Australia ternyata cukup populer dan membudaya di masyarakat. Bentuk kesukarelawanan pun beragam, mulai dari kerja gotong royong, mengajar tanpa bayaran, sampai bekerja di organisasi non profit dalam dan luar negeri. AVI fokus pada yang terakhir, yaitu mengirim relawan untuk bekerja di lembaga-lembaga khususnya di negara-negara berkembang. Volunteering AVI lebih banyak diarahkan untuk sharing pengetahuan, teknologi dan keterampilan yang relawan miliki. relawan dengan harapan relawan akan mendapatkan pengalaman dan pengetahuan mengenai kultur dan budaya tertentu.
Volunteering di sini saya rasakan sebagai benar-benar suatu pilihan. Tidak perduli apakah kerja sukarela itu hanya sekedar kerja gotong royong di sekolah. Tidak ada paksaan sosial dan tidak ada stigma bahwa mereka yang ikut kerja sukarela adalah lebih baik dari yang tidak ikut. Namun tentu saja, selalu ada apresiasi bagi mereka yang mau menjadi sukarelawan dari yang sekedar kerja gotong royong tadi terlebih lagi bagi mereka yang mau mengabdi untuk bekerja sebagai relawan bertahun-tahun. Apalagi jika mau jadi relawan di negara-negara berkembang. Apresiasi ini bukan hanya dari komunitas, tapi juga dari pemerintah Australia diantaranya dengan memberikan insentif, tax deduction, dan menyediakan fasilitas dan prasarana untuk meningkatkan kegiatan kesukarelawanan.
Para relawan memiliki banyak motivasi untuk kerja sosial, dari yang sekedar mencari pengalaman, menambah pengetahuan, sampai kepada kesadaran akan tanggung jawab sosial. Para relawan AVI yang saya temui sebagian adalah profesional yang dengan sadar ingin melakukan kerja relawan. Beberapa mantan relawan merasa bahwa kerja sukarela yang mereka lakukan itu benar-benar memberi manfaat yang besar, tidak hanya dalam hal pengetahuan dan pengalaman, tapi juga rupanya karir mereka. Peningkatan karir? Saya kira hal ini bisa saja karena networking yang bagus dari kiprah selama beberapa tahun di luar negeri. Dan saya pun menyaksikan beberapa mantan relawan AVI yang berkiprah di Indonesia kemudian memiliki karir yang bagus.
Apa di Indonesia juga begitu? Memang konteks menjadi relawan di Indoneisa ada sedikit berbeda dengan relawan di Australia. Ada sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah bahwa kedermawanan sosial termasuk kesukarelawanan sudah menjadi kultur di Indonesia. Karenanya, --ini sisi negatifnya-- kerja volunter seperti gotong royong, mengajar tanpa bayaran, membantu tenaga, pikiran untuk organisasi bahkan menyumbangkan uang untuk kegiatan organisasi, sepertinya juga dianggap sebagai hal biasa. Karena itu apresiasi masyarakat kurang dan apresiasi pemerintah hampir tidak ada. Padahal peran para relawan ini luar biasa yang baru terlihat ketika penanganan bencana seperti Tsunami di Aceh 2004 dan Gempa di Yogya dan Jateng 2006. Mereka seperti pahlawan tanpa tanda jasa...
Khususnya untuk teman-teman para relawan, serta aktivis dan pemerhati filantropi,
Selamat Hari Relawan Sedunia!
Amelia
Tuesday, November 28, 2006
"Good Morning, Amelia..."
Begitu sapaan murid-murid grade 1/2 Moreland Primary School di tiap Rabu pagi ketika saya ikut masuk kelas. Ya, mereka memanggil guru mereka dengan nama depan, bahkan sebagian nama kecil. Saya, yang hanya menjadi volunteer untuk membantu guru, juga diperlakukan sama. Saya sangat menikmati dipanggil tanpa gelar/sebutan apa pun oleh anak-anak ini.
Panggilan non formal ini bukan sekedar formalitas belaka, tapi terlihat juga bagaimana informalnya mereka berinteraksi dengan guru. Kedekatan, kepercayaan, dan keterbukaan justru mengembangkan kreativitas murid. Pelajaran belum dimulai saja, sudah banyak murid yang mengangkat tangan ingin bertanya atau menceritakan sesuatu. Semua direspon positif oleh guru, walaupun hanya sekedar cerita tentang main ke rumah teman.
Di sekolah, unsur-unsur formalitas dicoba dikurangi. Seragam perlu, tapi yang penting anak merasa nyaman dan tidak terganggu. Datang terlambat tidak dihukum berat, tapi tetap dicatat dan diperingati. Upacara tetap ada, tapi sangat santai, interaktif, dan lebih menjadi ajang informasi dan apresiasi prestasi. Sampai urusan rangking kelas pun tidak ada pun karena mereka sistem penilainnya juga bukan kuantitas 1-9. Walaupun terkesan informal, bukan berarti tidak ada kedisiplinan dan ketegasan. Pada titik tertentu guru sangat tegas. Selalu ada hukuman buat anak nakal yang melanggar disiplin, disamping hadiah-hadiah dan pujian untuk anak-anak yang rajin, kreatif, dan pandai.
Kembali ke panggilan terhadap guru dan staf sekolah yang informal. Saya kira ini menjadi salah satu pendorong keberanian murid-murid bicara, berpendapat, dan berargumen. Sesuatu yang tidak ada pada budaya masyarakat indonesia.
Kadang saya bertanya-tanya, bagaimana ya bisa memunculkan budaya kritis dan berani bertanya. Saya ingat waktu di sekolah dulu, jangankan kritis, lha wong guru udah nyuruh kita bertanya aja semua pada diam. Diam karena takut salah bertanya atau ditanya balik lagi, karena takut malu karena pertanyaannya jelek, karena takut menyinggung guru, dan diam karena benar-benar tidak tahu apa yang bisa ditanyakan. Semua materi pelajaran masuk otak seperti makanan yang ditelan tanpa dikunyah. Guru menjadi momok yang sangat menakutkan. Guru dalam banyak hal selalu benar, selalu harus lebih pintar, dan lebih bermoral. Karenanya mereka senantiasa harus dihormati dan dipanggil dengan bapak atau ibu.
Kalau dengan budaya feodal dan materialistis, bagaimana dan apa yang anak-anak kita pelajari dengan baik ya? Mudah-mudahan bukan budaya feodalisme dan materialisme lagi?
Monday, November 27, 2006
Australian or Not Australian
Kami sekeluarga menonton final Australian Idol tadi malam, bukan di sydney Opera House tapi di depan layar TV di ruang tamu... :) Sejak 10 besar saya dan suami sudah menjagokan Jessica Mauboy, sedangkan Elka dan Farhan punya jago sendiri yang tampangnya lebih keren dan macho. Dalam acara final tadi malam tinggal dua pilihan, yaitu Jessica dan Damien Leith. Akhirnya kami harus menerima kenyataan bahwa Jessica kalah.
Memang harus diakui kami pro Jessica bukan hanya karena suaranya yang luar biasa dan penampilannya yang sangat meyakinkan, tapi juga karena asal usulnya. Orang tuanya merupakan dari Ambon dan Aborigin. Dan dia masih 17 tahun umurnya. Jauh dibandingkan dengan Damien yang umurnya 34 tahun.
Kedua calon itu memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Terlihat dari siapa yang mendukung kedua calon itu. Jessica didukung oleh komunitas Aborigin dan penduduk Darwin. Bahkan premier Darwin sendiri turun memberikan dukungan dan sangat bangga atas prestasi Jess. Tentu saja, penduduk Darwin memiliki sentimen kedaerahan untuk mendukung Jessica karena Darwin bukanlah daerah yang mainstream diantara daerah dan kota-kota lain di Australia. Diam-diam komunitas Indonesia mendukung Jessica, tapi tidak di highlight sama sekali. Dukungan ini hanya melalui 'world of mouth' saja. Saya pikir mungkin lebih baik begitu, karena jika Jess diasosiasikan dengan Indonesia --yang imagenya cukup negatif di Australia--, bisa jadi malah menurunkan dukungan terhadap Jess.
Di pihak lain, Damien, didukung oleh komunitas Irlandia, dan teman-teman kantornya. Walaupun tarian dan bendera-bendera Irlandia dipasang untuk mendukung Damien, tapi hingar bingar dukungan mereka tidak seheboh penduduk Darwin yang berkumpul untuk mendukung jessica tadi malam di pusat kota Darwin. Maklumlah, respons penduduk rural pasti lebih komunal. Walaupun Damien tinggal di Sydney, masyarakat Sydney yang urban dan sangat 'kota' sebagian mungkin tidak terlalu perduli untuk datang ke opera house. Bisa jadi dukungan mereka cukup dengan mengirim SMS saja. Walaupun begitu, justru ini yang menentukan, idol ini kan perang SMS. Jumlah telepon genggam di Darwin tentu jauh lebih banyak di Sydney.
Voting SMS lebih banyak untuk Damien sehingga Damien lah yang dinyatakan menjadi Australian Idol 2006. Saya kira, Damien mendapat dukungan banyak karena jenis lagu yang dinyanyikannya adalah lagu-lagu melankolis dan lagu religious. Mungkin dia dianggap mewakili kelompok anglo. Tapi rupanya ada juga perspektif lain yang Amir dengar dari perbincangan di radio, bahwa ada sebagian pemilih yang memilih berdasarkan kewarganegaraan. Jessica tentu saja adalah warga negera Australia asli apalagi dari keturunan Aborigin, sedangkan Damien statusnya bukan warganegara. Dia baru dua tahun tinggal di Australia, dan masih berstatus permanen resident.
Begitulah politik idol; dari sentimen agama, etnis, dan bangsa berperan. Fenomena rural-urban dan ekonomi di dalamnya juga bukan tidak berpengaruh.
Saya merasa kecewa Jessica tidak menang karena suara dan kepiawaian Jessica dalam bernyanyi itu luar biasa dan selalu dipuji oleh Juri. Hal ini berbeda dengan Damien yang pernah salah satu juri berkata 'no' dalam seleksi awal, dan seringkali mendapat kritik tajam dari juri.
Walaupun Jess tidak menjadi idol, saya kira ia akan menjadi penyanyi terkenal nantinya. Hehe... yang terakhir ini sebagai pengobat hati, karena Jess sudah mengambil hati saya dan keluarga...
Sunday, July 02, 2006
Going Back for Good
These months many of our friends are going back to their countries for good. Farhan's best friend, Neerav, a Nepalese boy, is going back to Nepal. Neerav's mum has finished her studies at the University of Melbourne. Farhan was very exited to talk to and play with Neerav at Neerav's birthday party as well as his family farewel party. All the best for Neerav's family. Hopefully we could see you again, sometime, somewhere....
The most sad one is that Elkana and Farhan are losing their very best friends, Anugrah and Safira. Both are very cheerful and nice mates. Now, they are staying in Indonesia for a year until their mum finishes her fieldwork. They will go back to Melbourne again next year! We are waiting for you guys to be our special neighbour.. :)
We have been waching people come and go. Sooner or later, our time will come too that we have to leave Melbourne and go back to our country, Indonesia. Time goes very fast. An Arab's proverb says "al-waqt ka al-sayf", the time is like a saber, if you are not careful use it, you are cut by its blade.
Wednesday, May 24, 2006
"Charity Jalanan"
Membuang barang di pinggir jalan, mungkin bisa dianggap hal sepele. Tapi tidak yang ini. Di Victoria ada tradisi untuk membuang barang yang masih layak pakai. Sering kali di pinggir jalan ada tumpukan barang, seperti kulkas, kasur, sofa, alat masak, pemanas, kereta bayi, sepeda, baju, sampai komputer. Barang-barang ini dibuang oleh pemiliknya karena barang itu rusak atau karena tidak dibutuhkan lagi, entah karena pemiliknya pindah rumah, pulang kampung for good (seperti mahasiswa), atau karena barang-barang itu dianggap sudah ketinggalan zaman. Menariknya, si pembuang itu paham betul bahwa barang yang dibuang itu nanti bisa dimanfaatkan oleh orang lain. Jadi membuangnya pun terkadang begitu rapih. Misalnya kalau membuang TV dan alat elektronik, barang-barang itu dibungkus plastik atau ditaro dalam kardus supaya tidak kena air embun dan hujan, dan juga disertakan remote control dan buku panduannya.
Ini tradisi charity yang tanpa pamrih. Si pemberi tidak perlu perlu sanjungan dan ucapan terima kasih. Sedangkan si penerima tidak perlu sungkan. Charity ini juga terbuka untuk semua kalangan tidak terbatas pada agama, etnis dan bangsa, tapi tentunya diprioritaskan bagi yang rajin jalan-jalan... :) Soalnya kalau ada barang bagus ditaro dipinggir jalan, satu jam saja pasti barang itu sudah lenyap, alias ada yang mengambil. Charity ini juga tidak mengenal administrasi dan kolusi. Tidak hanya yang mengambil merasa beruntung, yang menyumbang pun senang karena tidak perlu pergi jauh-jauh untuk membuang barang.
Bagi kami mahasiswa, charity jalanan ini cukup membantu. Paling tidak, bisa mengurangi biaya pembelian barang. Apalagi kebanyakan mahasiswa itu mencari barang dengan hunting dari satu garage sale ke garage sale yang lain. Nah, kalau dapet barang gratis kan namanya untung banget. Kadang saya dan Amir terheran-heran mencoba mencari tahu kenapa barang yang masih bagus itu dibuang. Seperti dua minggu yang lalu kami mendapat CPU pentium 4 yang bagus, lengkap dengan CD RW-nya. Heran kan? Jadi Elka dan Farhan bisa bersenang hati karena mereka punya komputer sendiri. Bersepeda bersama pun tidak masalah, karena kami masing-masing punya sepeda dan punya helm, yang diantaranya didapat dari charity jalanan itu...
Pihak pemerintah daerah pun memfasilitasi pembuangan barang sekaligus charity jalanan ini. Tiap wilayah punya satu hari tertentu untuk membantu masyarakat membuang barang (dengan cara diletakkan di pinggir jalan) dan sekaligus membiarkan masyarakat untuk mengambil barang-barang itu. Pemerintah juga senang, karena barang yang harus diangkut ke tempat pembuangan jadi sedikit. Tadinya saya kira hanya student yang berminat dengan barang-barang itu, rupanya saya salah. Pedagang barang bekas mendapat banyak keuntungan dari menjual barang yang dia pungut dari pinggir jalan. Bahkan ada orang-orang tertentu yang kerjanya mengorek-ngorek tempat sampah untuk mencari barang bekas. Dan yang lebih ekstrim lagi, ada kelompok freegan yang mencari makanan dari tempat sampah supermarket! Kalau ini sih alasannya lebih ideologis, karena menolak membeli makanan karena bisa memberi keuntungan kepada kelompok kapitalis.
Jadi dari membuang barang di pinggir jalan itu bisa jadi mencakup beberapa kegiatan: charity, recycling, dan (make a) living.
Friday, May 19, 2006
Studi Filantropi di Australia
Kajian filantropi bisa ditemukan di tiga lembaga: universitas (lembaga pendidikan), lembaga penelitian, dan lembaga advokasi. Tentu kategorinya bisa tumpang tindih, misalnya ada lembaga penelitian yang attached ke universitas. Untuk studi filantropi (mengambil gelar degree) yang cukup baik adalah yang berbasis di universitas. Riset center biasanya tidak menawarkan studi tapi cukup leading dalam riset mengenai filantropi. Lembaga advokasi arahnya memberikan training untuk community development.
Di Australia belum banyak universitas yang menawarkan studi filantropi. Dibawah ini saya list program studi dan pusat riset filantropi yang cukup baik.
- Centre of Philanthropy and Nonprofit Studies, Queensland University of Technology, di Brisbane.
Di sini ditawarkan Graduate Certificate in Philanthropy and Non Profit Studies dan Master in Philanthropy and Non Profit studies. Center ini ada di bawah School of Accountancy di Fakultas Business, Queensland University of Technology. Walaupun ada di fakultas Bisnis, center ini membuka peluang untuk semua bidang disiplin. Ini linknya: http://www.bus.qut.edu.au/research/cpns/ - Asia-Pacific Centre for Philanthorpy and Social Investment yang ada di Swinburn University di Melbourne.
Center ini menawarkan kursus, graduate certificate dan program Master degree. Selain itu, membuka konsultasi dan melakukan penelitian mengenai filantropi dan social investment. http://www.sisr.net/philanthropy/ - Centre for Australian Community Organisations and Management (CACOM), the University of Technology (UTS), Sydney. http://www.business.uts.edu.au/cacom/index.html
CACOM ini pusat penelitian dan tidak membuka program degree. Namun di UTS ada program degree dan kursus untuk bidang filantropi yang dimotori oleh orang-orang CACOM. Program degree dan kursus dalam bidang Community Management (Non for Profit). UTS juga menawarkan tiga beberapa studi untuk bidang Community Management, yaitu program Master of Management in Community Management, Graduate Diploma in Community Management and Graduate Certificate in Community Management. http://www.gsb.uts.edu.au/community/index.html - Fundraising Institute Australia (FIA)
FIA menawarkan training and development dalam bidang fundraising, termasuk juga studi diploma. · Diploma dalam bidang Fundraising Management. · Skills Training Courses - 1, 2 & 3 · Mentoring Program · Special Interest Groups tentang bequest development & direct marketing. http://www.fia.org.au/Template.cfm?section=Professional_Development - The Centre for Citizenship and Human Rights (CCHR).
Ini riset center dan tidak menawarkan program studi. Proyek penelitiannya cukup kuat dan diantaranya mengenai "civil society, Islam, dan politik ekonomi di Indonesia." http://www.deakin.edu.au/arts/cchr/research.php
Kelihatannya baru itu yang saya lihat mengenai kajian filantropi di Australia. Jumlahnya belum banyak dan bobotnya belum sebanding dengan pusat-pusat kajian fiantropi yang sudah cukup tua di Amerika. Namun ke depan, program studi filantropi akan semakin berkembang karena selain praktek volunteering sudah cukup kuat dalam masyarakat, pemerintah Australia memberi support untuk pengembangan filantropi.
Amel