Amelia Fauzia
Aksi demonstrasi terhadap PT Freeport Indonesia di depan kampus Universitas Cendrawasih yang akhirnya ricuh dan menimbulkan beberapa korban tewas adalah luapan emosi masyarakat yang mendapat momentum baru. Kerusuhan dan demonstrasi tidak akan muncul begitu saja tanpa ada faktor laten dibelakangnya, yaitu kesenjangan sosial dan perasaan ketidakadilan yang merupakan dampak dari persoalan lain yang belum terselesaikan, seperti kerusakan lingkungan dan kesenjangan pembagian laba. Tulisan ini akan melihat sisi filantropi perusahaan atau yang biasa disebut tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility- CSR) dalam upaya mempersempit kesenjangan dan menciptaan ketidakadilan sosial.
Filantropi dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Paradoks?
Istilah filantropi memang belum dikenal oleh sebagian besar masyarakat. Dalam bahasa Indonesia, istilah yang cukup sepadan adalah kedermawanan sosial; istilah yang hampir sama tidak populernya bagi rakyat kebanyakan, dibanding istilah seperti sumbangan dan bantuan. Istilah yunani ini dipakai kembali karena ia bisa mencakup semua jenis dan bentuk kegiatan kedermawanan sosial di berbagai peradaban, wilayah, kultur dan zaman, seperti sedekah, karitas, gotong royong, kesukarelawanan, zakat, tithe, wakaf, dan tanggung jawab sosial perusahaan. Filantropi adalah segala bentuk kegiatan non pemerintah yang bersifat sukarela dan dilakukan untuk kepentingan publik. Istilah filantropi juga menjadi pilihan karena di belakangnya ada makna pengentasan akar masalah sosial, bukan sekedar karitas. Tangung jawab sosial perusahaan ( CSR) adalah bentuk filantropi yang menjadi komitmen kepedulian perusahaan terhadap masyarakat.
Sepertinya ada paradoks dalam CSR, antara etos perusahaan yang bekerja untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dan kegiatan sosial yang menghabiskan dana. Walaupun awalnya CSR penuh pro kontra, namun pada praktiknya ia semakin mendapat momentum dan hampir semua perusahaan besar di dunia berlomba melakukan kegiatan sosial. Komitment sosial perusahaan pun akhirnya bukan hanya sekedar sukarela, tapi dianggap sebagai tanggung jawab sosial perusahaan karena keuntungan yang didapat dari masyarakat, dan kemungkinan dampak sosial dan lingkungan yang diakibatkan. Bagi perusahaan, studi membuktikan bahwa CSR malah mendatangkan banyak keuntungan, katakanlah good image dan dukungan sosial. Bagi masyarakat, CSR bisa dinilai sebagai kewajiban, sebagai “friendly face of capitalism” –meminjam istilah Deborah Doane, ketua koalisi Corporate Responsibility, atau sebagai bantuan yang meringankan hidup.
Program CSR dan Kesenjangan Sosial
Program CSR bisa meringankan hidup masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan tentunya mengurangi kesenjangan sosial. Sebagian besar perusahaan di Indonesia sudah memiliki program sosial, dari yang bersifat karitas --seperti pemberian bantuan bahan makanan untuk korban bencana alam dan pengobatan gratis-- sampai community development – seperti advokasi HAM dan pemberdayaan industri kecil. Program CSR fokusnya beragam; ada yang berupa kesejahteraan dan pemberdayaan karyawan beserta keluarganya, berupa pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan, dan berupa kebutuhan masyarakat umum. Komitment kepada ketiganya menjadi suatu keharusan yang tidak bisa dianggap selesai dengan pembayaran pajak kepada negara.
Apakah perusahaan-perusahaan besar sudah punya komitment filantropi atau CSR? Sebagian besar perusahaan sudah memilikinya bahkan beberapa membuat yayasan tersendiri, seperti Yayasan Sampurna dan Yayasan Dharma Bakti Astra, yang cukup maju. Sebagian lainnya belum punya. Bagaimana berkomitment untuk CSR sedangkan cerita mengenai pelanggaran HAM dan demonstrasi buruh terhadap perusahaan masih marak terdengar.
Melihat ke Papua, sejauh ini PT Freeport Indonesia sudah menjalankan program CSR melalui kemitraan dengan masyarakat adat Amungme (Lembaga Masyarakat Adat Amungme- LEMASA) dan Kamoro (Lembaga Masyarakat Kamoro- LEMASKO) dengan memberikan kontribusi berupa dana kemitraan. Dana kemitraan tersebut dikelola dan disalurkan oleh lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) berupa program pendidikan dan training, kesehatan, pembangunan desa, dan pengembangan wirausaha. Namun, dari hasil audit the International Center for Corporate Accountability (ICCA) masih banyak hal yang perlu diperbaiki diantaranya adalah pengelolaan dan distribusi dana oleh LPMAK, serta pemberian bantuan yang tidak pada tempatnya.
Tanpa keseriusan perusahaan dan pengawasan masyarakat, tujuan pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan akan sulit dicapai. Dan karenanya kesenjangan sosial akan tetap tinggi dimana konflik sosial mudah terjadi.
Peran Pemerintah
Selain peran pengusaha dan masyarakat, tentu pemerintah memiliki posisi yang strategis untuk bisa memajukan filantropi dan CSR. Mengapa pemerintah berkepentingan? Selama ini secara tidak langsung pemerintah telah dibantu oleh masyarakat yang secara sukarela membantu warga yang membutuhkan. Dalam kasus bencana Tsunami di Aceh dan Medan misalnya, terkumpul dana cash sebesar $52 juta dari masyarakat Indonesia hanya dalam waktu satu bulan (APPC April 2005). Dana zakat dan sedekah dalam setahun terkumpul Rp 19.3 trilyun yang dibayarkan oleh 98 persen Muslim di Indonesia. Dan sebagian besar lembaga sosial dan pendidikan dibangun dan hidup dari kegiatan filantropi, bukan dari dana pemerintah. Dari sini terlihat bahwa peranan filantropi sangat substansial dan potensial ketika negara belum bisa mensejahterakan rakyat.
Karena itu sudah semestinya pemerintah mendorong perkembangan filantropi di Indonesia untuk mendorong terciptanya keadilan sosial. Diantara yang bisa dilakukan adalah mengubah kebijakan pengurangan pajak atas donasi yang setengah hati dan parsial; mendorong perusahaan memiliki Corporate Social Responsibility; dan memberdayaan organisasi filantropi menjadi lebih professional. Semoga tragedi di Papua tidak terulang lagi.
Sunday, May 21, 2006
Satu Pelajaran dari Papua: Filantropi dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Labels:
Indonesia,
philanthropy
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment