Thursday, March 06, 2008

Ayat-Ayat Cinta: Sebuah Dekonstruksi yang Cerdas dan Menawan

Brilliant! Film Ayat-Ayat Cinta ini sungguh sarat pesan moral, yang disuguhkan dengan paduan gambar dan suara yang ciamik, dan puisi yang indah dan filosofis.

Pesan moralnya berkisar pada agama dan sosial, dan menyentuh hampir semua ranah: dari persoalan pacaran dalam Islam, studi Islam, ketidakadilan, cinta dan patah hati, kekerasan dalam rumah tangga, hubungan Islam and the West, konsep perempuan dalam Islam, purdah, hubungan Islam-Kristen, sampai poligami dalam Islam! Sulit untuk mengungkapkan dalam satu kata mengenai pesan2 ini. Tapi yang saya kira sangat kuat adalah dekonstruksi.

Dekonstruksi dalam banyak hal: misalnya tentang perempuan yang berhijab, tentang ta'aruf, poligami (whether you are pro or con), sakralitas orang Arab dan bahasa Arab. Nulis surat cinta dan diari juga pake bahasa arab.. hehe. Duh, jadi ingat masa2 di pesantren dan kuliah dulu.

Tentang hijab, yang didekontruksi adalah pandangan bahwa orang yang memakai hijab itu berpikiran fundamentalis dan anti barat. Nah di film ini digambarkan sebaliknya. Ta'aruf (perkenalan) yang bagi sebagian kalangan dikesankan sangat Islami, di film ini justru dipertanyakan dengan memperlihatkan masalah2 yang timbul akibat pasangan yang menikah hanya dengan taaruf yang dengan cara hanya melihat muka saja. Mitos sakralitas orang Arab dihilangkan dengan penggambaran kekerasan dalam rumah tangga. Poligami --walaupun digambarkan dilakukan karena alasan 'darurat' dan sangat masuk akal-- diperlihatkan bahwa sulit sekali untuk memberi keadilan. Dan film juga akhirnya diakhiri dengan 'hilangnya' satu istri dan menjadi pernikahan monogami tentunya.

Sebagai sebuah film, tentu banyak juga kekurangannya. Setidaknya film ini membuat suasana bioskop hingar bingar dan sangat multi kultur, berbeda dari biasanya. Karena ibu-ibu pengajian tidak mau ketinggalan untuk ikut nonton. Bravo untuk Habiburrahman El-Syirazi, penulis novel, dan Hanung Bramantyo, sutradara Ayat-ayat Cinta.

Dibawah ini link untuk nonton filmnya bagi yang kesulitan untuk nonton di bioskop dan nyari DVD nya. (Minta perpustakaan supaya beli novel dan DVD nya ya). Tapi sebelumnya saya ingatkan. Beware: its addictive!



Sunday, March 02, 2008

ham must not separate our friendship

Memang, kayaknya lucu ya. Tapi ini serius sekali, tanpa saya perlu refer ke cerita2 dari milis tetangga tentang anak2 Indonesia di Melbourne yang beda agama dan bertemu di satu sekolah, terus 'selek' gara2 ham ini, sampai2 orang tua dipanggil ke sekolah...

Nah, lagi-lagi ini kelihatannya akibat tidak tuntasnya pengajaran agama bagi anak-anak. Dan kelihatannya bukan hanya fenomena dari masyarakat Muslim Indonesia, tapi dari komunitas Muslim lain di Melbourne. Setelah saya korek2, Elka dan Farhan cerita kalau ada beberapa teman2 mereka (kelihatannya imigran dari Timur Tengah dan Afrika) yang suka 'kampanye' bahwa "Muslim tidak makan pork, cuma orang Kristen yang makan ham..." dst. Itu memang realitas, tapi kemudian anak2 ini mengarah ke pembedaan identitas agama untuk melihat seseorang itu baik atau tidak, atau bisa dijadikan teman. Misalnya, "si C makan ham, si D enggak, jadi saya main sama si D aja." Sampai2 mereka bingung kok yang mengajar bahasa Arab (bahasa Qur'an) di sekolah itu orang Kristen, mereka pikir semua orang Arab itu Muslim.

Dengan pertanyaan sederhana saya bilang "so what? memangnya kenapa kalau si C makan ham," "memangnya kenapa kalau si D itu agamanya Kristen?" Kita Muslim memang tidak makan ham, tapi bukan berarti kita memusuhi orang yang makan ham atau orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Kita sangat yakin dengan Islam, dan begitu pula orang lain yakin dengan agama mereka. Ya sudah, itulah realitas sosial. Toh dulu beberapa kerabat Nabi Muhammad (termasuk ayahnya) tidak menjadi Muslim. Jadilah kami sekitar dua mingguan selalu berdiskusi tentang pork, ham, dan realitas agama2 di dunia.

Isu ham ini berawal dari wacana halal haram yang ditangkap anak-anak secara praktikal. Well, anak2 yang kritis itu sulit menerima begitu saja penjelasan bahwa katanya daging babi itu mengandung cacing pita atau babi itu jorok; jawaban yang tidak kontekstual yang dengan mudah disanggah. Jangankan kita, para fuqaha (ahli hukum), mufassir (ahli tafsir) dan filosuf juga belum bisa memberi jawaban rasional memuaskan terhadap larangan makan daging babi ini. Toh persoalan kepercayaan kan tidak semua bisa atau perlu dirasionalkan.

Uniknya isu babi dan halal haram santer pada zaman modern. Dan tentu saja santer di tempat2 Muslim menjadi minoritas. Dulu, Nabi Muhammad sering datang ke undangan makan komunitas non-Muslim. Artinya, beliau setidaknya menikmati makanan disana. Hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi tidak pernah komen tentang makanan kalau dia diundang; beliau makan makanan yang disukainya, dan membiarkan makanan yang tidak disukainya. "Mu'amalah ma'a nas" nya luar biasa baiknya! [Gak ada clash of civilization!]

Dalam kitab-kitab fiqih klasik, tidak ada satu chapter atau topik tersendiri mengenai halal-haram. Dalam usul fiqh, para fuqaha membagi hukum suatu perkerjaan itu ada lima: fardhu/wajib, sunnah (dianjurkan), mubah (diperbolehkan), makruh (tidak dianjurkan/tidak disukai), dan haram (dilarang). Wacana halal-haram itu dibahas dalam fiqh mu'amalah (masalah sosial), diantaranya kitab at'imah (bab makanan). Nah sekarang fiqh halal-haram ini jadi komoditi, diantaranya ekonomi, sampai menjadi identitas sosial. Seorang teman yang tinggal di Singapura bertutur, kalau sekarang banyak pertemanan yang berakhir di depan pintu restoran. Atau acara makan2 di kantor urung gara2 tidak ada kesepakatan di restoran mana...

Setidaknya kata2 Farhan cukup menentramkan hati: "mummy, a friend of mine eats ham, but I dont care, I still play with him because he is a nice person."