Showing posts with label Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Indonesia. Show all posts

Friday, April 11, 2008

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

The main song for the Indonesian Choir will be Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. This is a perfect song for a choir. Its melody is beautiful and its theme is awesome for both teachers and students. I think Australian students can also learn it easily. I learned this song when I joined a choir at my primary school, SDN Situgintung II pagi. Here is the lyrics.

Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup, dalam sanubariku
Semua baktimu, akan kuukir di dalam hatiku
S'bagai prasasti trimakasihku tuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa

I dedicated this song for my teachers at SDN Situgintung II Pagi...

Thursday, March 06, 2008

Ayat-Ayat Cinta: Sebuah Dekonstruksi yang Cerdas dan Menawan

Brilliant! Film Ayat-Ayat Cinta ini sungguh sarat pesan moral, yang disuguhkan dengan paduan gambar dan suara yang ciamik, dan puisi yang indah dan filosofis.

Pesan moralnya berkisar pada agama dan sosial, dan menyentuh hampir semua ranah: dari persoalan pacaran dalam Islam, studi Islam, ketidakadilan, cinta dan patah hati, kekerasan dalam rumah tangga, hubungan Islam and the West, konsep perempuan dalam Islam, purdah, hubungan Islam-Kristen, sampai poligami dalam Islam! Sulit untuk mengungkapkan dalam satu kata mengenai pesan2 ini. Tapi yang saya kira sangat kuat adalah dekonstruksi.

Dekonstruksi dalam banyak hal: misalnya tentang perempuan yang berhijab, tentang ta'aruf, poligami (whether you are pro or con), sakralitas orang Arab dan bahasa Arab. Nulis surat cinta dan diari juga pake bahasa arab.. hehe. Duh, jadi ingat masa2 di pesantren dan kuliah dulu.

Tentang hijab, yang didekontruksi adalah pandangan bahwa orang yang memakai hijab itu berpikiran fundamentalis dan anti barat. Nah di film ini digambarkan sebaliknya. Ta'aruf (perkenalan) yang bagi sebagian kalangan dikesankan sangat Islami, di film ini justru dipertanyakan dengan memperlihatkan masalah2 yang timbul akibat pasangan yang menikah hanya dengan taaruf yang dengan cara hanya melihat muka saja. Mitos sakralitas orang Arab dihilangkan dengan penggambaran kekerasan dalam rumah tangga. Poligami --walaupun digambarkan dilakukan karena alasan 'darurat' dan sangat masuk akal-- diperlihatkan bahwa sulit sekali untuk memberi keadilan. Dan film juga akhirnya diakhiri dengan 'hilangnya' satu istri dan menjadi pernikahan monogami tentunya.

Sebagai sebuah film, tentu banyak juga kekurangannya. Setidaknya film ini membuat suasana bioskop hingar bingar dan sangat multi kultur, berbeda dari biasanya. Karena ibu-ibu pengajian tidak mau ketinggalan untuk ikut nonton. Bravo untuk Habiburrahman El-Syirazi, penulis novel, dan Hanung Bramantyo, sutradara Ayat-ayat Cinta.

Dibawah ini link untuk nonton filmnya bagi yang kesulitan untuk nonton di bioskop dan nyari DVD nya. (Minta perpustakaan supaya beli novel dan DVD nya ya). Tapi sebelumnya saya ingatkan. Beware: its addictive!



Tuesday, March 27, 2007

Empat Mata, boleh juga...

Akhir-akhir ini sering nonton acara Empat Mata- nya Tukul lewat youtube. Seru banget. Kita ketawa-ketiwi. Selain bikin urat-urat jadi kendor, acara ini jadi pengobat rindu akan Indonesia. hik,hik.

Pelawak yang bagus itu ya seperti Tukul, lebih banyak menertawai kekurangan diri sendiri (dari pada ngomongin orang lain). Akhirnya malah jadi self kritik. Bravo! Saya senang karena acara humor ini pro keadilan gender, pro keluarga harmonis (maksudnya monogamous marriage bukan poligamy), juga menjadi kritik sosial. (Awas lho, kalo mendukung poligamous marriages kita boikot gak mau nonton lagi).

Semoga ke depan kritik sosial dan edukasi -nya diperkuat misalnya masukin isu seperti kepedulian terhadap lingkungan, bahayanya terorisme, kedermawanan sosial, pendidikan antikorupsi, pendidikan agama yang inklusif, dan multikulturalisme etnik dan agama.

Diem-diem tampang Tukul udah rada alus sekarang, walaupun ndesonya masih kelihatan. Tapi dengan tampang ndeso dan tampilan yang natural ndeso itu doi jadi komersial. Tukul, you are too cool...

Friday, December 15, 2006

Profesionalisme Amil Zakat

Amelia Fauzia*

Amil zakat merupakan profesi yang serba salah, seperti halnya seorang kyai atau da’i. Di satu sisi, mereka diminta supaya bekerja secara profesional tapi di lain sisi mereka masih ditabukan untuk meminta bayaran. Karena itulah maka perzakatan di negeri kita selama berabad-abad tidak berkembang salah satunya akibat kerja amil yang dijalankan secara sambilan. Dari masa kerajaan Islam sampai abad ke sembilanbelas kondisi keamilan tidak berkembang lebih baik, kecuali awal abad kedua puluh dengan mulai beralihnya pemberian sumbangan langsung kepada fakir miskin dengan pemberian ke organisasi yang dimotori oleh Muhammadiyah. Berkat momentum Dompet Dhuafa dan kejatuhan Orde Baru lembaga amil sekarang berkembang lebih maju dengan terbentuknya institusi amil zakat atau institusi filantropi yang menghimpun dan mendayagunakan berbagai potensi kedermawanan sosial Islam.

Semangat kehati-hatian dan pengawasan terhadap lembaga amil zakat sangat perlu seperti yang ditulis oleh Abd. Salam Nawawi dengan judul ”Mewaspadai Penyimpangan Amil Zakat” (Jawa Pos 22/10/06). Namun kehati-hatian itu selayaknya diarahkan untuk lebih memprofesionalisasikan institusi amil zakat termasuk dalam pendayagunaan dana zakat.


Bentuk Amil Zakat

Di Indonesia, setidaknya ada tiga bentuk amil (pengelola zakat), yaitu amil individual, amil kepanitiaan, dan amil kelembagaan. Amil individual atau perorangan mengemban amanat dari masyarakat untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat atas dasar integritas pribadinya serta pengetahuannya tentang hukum Islam. Amil individual ini berperan cukup penting sejak abad ketigabelas dan diperankan oleh fungsionaris agama Islam seperti yang biasa disebut, ustadz, kyai, teungku, dan kayim. Saat ini amil individual masih berfungsi di daerah pedesaan, bahkan di beberapa tempat ada yang menjadi jabatan seumur hidup. Akibat kemajuan dan kompleksitas masyarakat terbentuklah amil kepanitiaan dan kelembagaan. Amil kepanitiaan ini biasanya dibentuk di masjid, sekolah, lingkungan RT/RW, dan tempat kerja. Keberadaan amil kepanitiaan hanya temporer khususnya untuk mengumpulkan zakat fitrah menjelang Idul Fitri. Amil kelembagaan adalah institusi yang mengelola dana zakat dan dana filantropi (kedermawanan sosial) Islam lainnya seperti sedekah dan wakaf. Ada dua jenis, yaitu institusi amil atau filantropi Islam yang ada dibawah pemerintah dan disebut Badan Amil Zakat (BAZ), dan institusi amil non pemerintah yang disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ).

Lembaga amil non pemerintah mendapat berkembang pesat khususnya di wilayah urban. Dalam perjalanannya, perkembangan LAZ jauh melebihi BAZ dari sisi penghimpunan, pendayagunaan, dan transparansi, walaupun ada beberapa BAZ pemerintah daerah yang cukup baik seperti Bazis DKI Jakarta dan BAZ Sumut.


Kinerja dan Hak Amil

Benar bahwa amil adalah mustahik (orang yang berhak menerima zakat) dan sekaligus juga muzakki (orang yang wajib mengeluarkan zakat) khususnya ketika amil merupakan orang yang mampu secara ekonomi. Gaji atau hak amil ini merupakan konsekuensi logis atas kerja seseorang amil yang ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Taubah ayat 60.
Sistem gaji dan peningkatan status amil sebagai salah satu profesi muncul akibat kritik terhadap sejarah panjang lembaga keamilan yang mayoritas ‘hidup enggan mati tak mau’ karena diurus paruh waktu dan tanpa administrasi yang baik. Dilihat dari perkembangan sejarah, kinerja amil sekarang sudah lebih baik. Pada abad ke sembilanbelas, Snouck Hurgronje (Penasihat urusan Pribumi) memaklumi para amil yang mengambil porsi pembagian zakat cukup banyak karena mereka adalah mustahik atas dasar kerja ke-amilannya dan statusnya sebagai orang miskin. Kondisi ini berjalan tanpa ada pengawasan yang memadai dari pemerintah. Badan amil yang kemudian dibentuk pemerintah mulai tahun 1984 pun tidak berfungsi maksimal karena masih dikerjakan secara paruh waktu. Institusi amil yang modern dan profesional –yang disemai oleh organisasi sosial Islam modern—akhirnya berkembang mulai tahun 90-an dimotori oleh Dompet Dhuafa. Dari sinilah maka wacana profesi amil bergulir yang menuntut amil bekerja secara profesional agar dana filantropi dapat lebih bermanfaat.

Penulis tidak memungkiri jika misalnya terdapat institusi amil zakat yang kinerjanya tidak maksimal tapi menuntut gaji yang tinggi. Sejak masa kolonial kritik terhadap kinerja dan rendahnya transparansi amil (individual) sudah ada. Akan tetapi tidak dapat dinafikan bahwa mayoritas institusi-institusi filantropi Islam khususnya LAZ yang berkiprah saat ini bekerja dengan baik. Bahkan, hampir semua LAZ didirikan atas dasar idealisme yang menguras tenaga, pikiran serta kocek para pegiatnya. Misalnya, donatur-donatur pertama Dompet Dhuafa tak lain adalah para pendiri Dompet Dhuafa itu sendiri. Begitu pula yang terjadi pada lembaga lain seperti Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), Portal Infaq, dan Lembaga Wakaf Zakat Salman yang pada tahun-tahun awal pendiriannya para amil tidak mau mengambil hak mereka karena alasan kepentingan lembaga yang lebih besar.

Dalam lembaga amil, tidak bisa dikatakan bahwa amil menentukan gaji mereka dengan seenaknya. Lembaga amil memiliki mekanisme pengawasan, transparansi dan akuntabilitas yang relatif baik. Organisasi amil diawasi oleh Dewan Pengawas, Dewan Syari’ah, serta oleh pemerintah dan masyarakat. Prosentase 1/8 (salah satu ijtihad yang dipakai oleh sebagian institusi filantropi) adalah suatu kehati-hatian dalam menentukan dana yang bisa digunakan untuk biaya operasional dan upah amil. Tanpa dana operasional ini, pendayagunaan dana filantropi tidak akan maksimal. Banyak pula institusi amil yang mengambil biaya operasional dari uang sedekah, bukan uang zakat, sehingga otomatis prosentase seperdelapan dari dana zakat tidak berlaku.

Badan Amil yang ada di bawah pemerintah (BAZ) memang memiliki cerita yang sedikit berbeda dengan LAZ di atas. Staf BAZ menerima gaji dari pemerintah daerah karena status mereka sebagai pegawai pemda. Dalam perjalanannya ada BAZ yang tetap mengambil hak amil (karena memiliki pegawai honorer), namun ada juga BAZ yang tidak mengambil hak amil, contohnya Bazis DKI Jakarta, karena dibantu dari APBD.


Pendayagunaan Uang Zakat

Pendayagunaan zakat dan dana filantropi lainnya lahir dari kesadaran akan kegagalan fungsi filantropi Islam yang ternyata tidak bisa mengangkat umat Islam dari kemiskinan. Sebagian besar dana zakat dan sedekah digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup jangka pendek yang konsumtif dan hanya sedikit yang digunakan untuk pemberdayaan masyarakat jangka panjang dan produktif. Tanpa pendayagunaan yang terencana dan maksimal maka dana filantropi hanya menjadi sia-sia.

Jika ada sistem pendayagunaan yang kurang baik, bukan berarti ide pendayagunaan itu salah, tapi sistemnya yang harus diperbaiki. Pemanfaatan dana filantropi Islam yang dilakukan oleh beberapa LAZ nasional sudah cukup kreatif dan sebagian sudah mengarah pada pemberdayaan masyarakat dan pengentasan akar masalah kemiskinan seperti program mikro kredit, pelayanan kesehatan gratis, penanganan gizi buruk, peningkatan SDM melalui beasiswa pendidikan dan training, dan advokasi TKI.


Pengawasan bukan Campur Tangan

Penyimpangan amil bisa saja terjadi; amil toh juga manusia. Oleh karenanya yang dibutuhkan adalah pengawasan baik dari internal lembaga itu sendiri (Dewan Pengawas) maupun eksternal dari pemerintah, dan masyarakat khususnya donatur. Lembaga keamilan harus diarahkan untuk transparan dan akuntabel atas kegiatannya. Dengan transparansi dan akuntabilitas yang dimiliki lembaga keamilan, penyimpangan amil dan lembaga keamilan bisa dihindari atau dikurangi.

Lembaga amil seyogyanya dibiarkan memiliki kreativitas sendiri untuk mengelola lembaganya –seperti saat ini -- sejauh itu masih dalam koridor undang-undang. Iklim fastabiqul khairat (berlomba menuju kebaikan) yang sudah ada seharusnya difasilitasi oleh pemerintah misalnya dengan pemberian insentif bagi pembayar zakat. Campur tangan pemerintah yang berlebihan akan membawa efek negatif bagi perkembangan lembaga keamilan dan sebaiknya dihindarkan. Seyogyanya peraturan ‘zakat sebagai pengurang pajak’ --yang belum terlihat implementasinya-- itu yang lebih dahulu dijalankan dengan serius.

Tanpa sistem managemen yang baik dan penggajian yang professional institusi filantropi Islam tidak akan memiliki sumber daya manusia yang bagus yang bisa mengelola dana filantropi Islam secara maksimal. Pendayagunaan zakat merupakan keharusan; karena amanah untuk berpihak kepada fakir miskin bukan hanya sekedar mendistribusikan dana sehingga habis tapi mendayagunakannya untuk menghilangkan akar kemiskinan.

-------------
* Peneliti pada Center for the Study of Religion and Culture, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Friday, December 01, 2006

Poligami...

Saya menyayangkan pilihan AA Gym untuk berpoligami. Secara pribadi saya kecewa karena selama ini saya respek dan kagum dengan visi dan kepribadiannya. Memang berpoligami itu urusan pribadi AA Gym yang siapapun tak berhak campur tangan. Tapi ia adalah seorang tokoh publik yang urusan pribadinya menjadi panutan orang banyak. Mengapa AA gymn mengindahkan tafsiran-tafsiran baru mengenai ayat poligami yang sebenarnya bukan membolehkan tapi melarang poligami? Apa AA Gym lupa bahwa begitu banyak perkawinan poligami yang memberikan dampak sosial negatif dibandingkan dampak positif?

Ayat poligami (yang dibaca: fankihu ma toba lakum minan nisa'i matsna wa tsulatsa wa ruba'a...), memang bisa menuai banyak penafsiran. Kalau pakai metode penafsiran tahlili yang kronologikal, poligami itu dibolehkan. Bahkan jumlah istri yang diperbolehkan pun bisa beragam tergantung mengartikan "wa" yang berarti "dan" dalam ayat diatas. Jadi jika 'wa' diartikan pilihan, maka maknanya boleh beristri dua, tiga atau empat (seperti yang selama ini banyak dipraktekkan). Jika 'wa' diartikan sebagai tambahan, maka boleh menikah sebanyak 2+3+4 = 9 istri. Jika 'wa' atau 'dan' diartikan perkalian, maka boleh memiliki istri sebanyak 2x3x4 = 24! Nah lho. Namun jika ayat tersebut ditafsirkan dengan metode penafsiran maudhu'i yang contextual, maka poligami itu sebenarnya dilarang! Apalagi melihat asbabun nuzul ayat itu yang sebenarnya mengecam praktek mengambil harta anak yatim yang intinya adalah menjunjung keadilan. Ini terjemahan surat An-Nisa ayat 3, yang saya sebut sebagai ayat poligami diatas:

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."
Memang dalam ayat ini sepertinya dibolehkan menikah poligami, namun harus dilihat konteksnya. Konteks pertama adalah sikap adil terhadap perempuan (ayat 1 dan 2 surat An-Nisa) yang waktu itu sering menjadi korban penyerobotan harta dari walinya sendiri (masih sering terjadi di Timur Tengah). Jadi pembolehan menikah poligami itu bernada ironi. Kedua, pembolehan poligami menjadi hanya empat istri adalah sebuah kebijakan radikal yang membatasi tradisi poligami tanpa batas yang ada ketika ayat itu diturunkan. Jadi lagi-lagi ayat itu diturunkan dalam konteks memberi keadilan kepada perempuan. Ketiga, konteks pembolehan poligami pada masa Nabi adalah untuk menghilangkan problem sosial dan merupakan tanggung jawab sosial terhadap perempuan dan anak-anak yang terlantar akibat perang Uhud (625 M). Karena itu beberapa penafsir modern yang menggunakan metode maudhu'i mengatakan bahwa poligami itu tidak diperbolehkan. Apalagi ayat 128 surat An-Nisa menyebutkan:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Tentu saja kembali kepada individu mau memilih tafsiran yang mana. Tapi terlalu naif jika problem sosial janda dan anak-anaknya saat ini diselesaikan dengan cara perkawinan poligami. Banyak jalan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan problem sosial akibat ketiadaan suami tanpa harus dengan poligami misalnya dengan pemberdayaan masyarakat, penguatan law and order, penguatan lembaga filantropi. Dengan program jangka pendek, janda dan anaknya bisa ditanggung oleh lembaga filantropi (seperti Dompet Peduli Ummatnya AA Gym) yang memberikan pelatihan kepada ibu dan memberikan beasiswa pendidikan untuk anak yatim.

Kebalikannya, saat ini banyak masalah sosial yang timbul akibat perkawinan poligami, khususnya di daerah pedesaan dan di lingkungan yang ekonominya rendah. Karena poligami dianggap dapat menyelamatkan kehidupan ekonomi. Tapi sebagian besar poligami tidak bisa meningkatkan kesejahteraan janda dan pendidikan anak-anaknya. Anak-anak tetap menjadi korban. Tentu saja, perkawinan poligami dikalangan selebriti dan kalangan berada tidak menimbulkan masalah kesejahteraan, seperti yang terlihat dari perkawinan poligaminya Hamzah Haz, AM Fatwa, dan "Wong Solo." Tapi entah bagaimana peran bapak --bukan peran suami-- dapat difungsikan dengan baik bagi mereka yang memiliki anak banyak dari hasil perkawinan poligami ini.

Saya ber-husnu dzan, mungkin AA Gym ingin memberikan contoh poligami yang baik kepada masyarakat. Tapi saya khawatir yang akan terlihat adalah contoh "dianjurkannya poligami" bukan contoh "bagaimana perkawinan poligami yang baik."

Tentu saja saya maklum, toh AA Gym juga manusia. Hanya menyayangkan, tokoh da'i yang pro pada keadilan dan multikulturalisme dan memiliki visi sosial tinggi memilih untuk melakukan perkawinan poligami.

Amelia Fauzia

Friday, October 06, 2006

Bebas hutang....!!! horeee...

Senangya hatiku membaca berita di media nasional, bahwa Indonesia hari ini melunasi hutangnya ke IMF! Sepertinya tak percaya. Ah masa iya sih. Coba lihat beritanya di sini. Tapi kok gak jadi berita utama ya? (hm politik media nih...-- good news is not news; bad news is good news?).

Perasaan dulu wacananya kok sulit sekali bebas hutang, eh ndilalah ibu menteri keuangan ini tiba-tiba membuat kejutan melalui BI. Mungkin gara-gara doi marah akibat disuruh mengembalikan hibah tempo hari. Memang aneh. Lha wong bantuan hibah kok suruh dikembalikan semua gara-gara ada indikasi korupsi, padahal uangnya sudah dipake. Sebenarnya kalau kita berhutang, yang senang lembaga yang memberi hutang. Selalu untung secara ekonomi dan selalu benar secara politik.

Memang hutang gak seberapa, tapi imbasnya lebih parah: membuka peluang korupsi, merendahkan martabat bangsa, memanjakan dan memperkaya pejabat, melemahkan semangat bekerja, dan membuat tidur tak nyenyak.

Akhirnya, senangnya merdeka dari hutang. Iya, rupanya di Detik banyak berita itu. Jadi lega rasanya. Semoga Indonesia tidak terjebak berhutang lagi.
Merdeka!

Wednesday, August 23, 2006

Kemerdekaan Yang Sepi

Hari ini hampir di tiap RT dan kelurahan
masyarakat merayakan kemerdekaan Indonesia
sebagai sebuah negara kesatuan yang berdaulat

Hingar bingar
warna warni
gegap gempita
manusia berbaris, berkerumun, bergerombol,
berdecak, bernyanyi, bertepuk
sorak sorai membahana
pesta rakyat

tapi tidak di sini
sunyi, sepi, tenang
seperti hari biasa yang tidak istimewa
tak terlihat pesta, tak terlihat suka cita
semua tenang
santri tetap pergi mengaji
jalan desa berbatu nan terjal tetap sepi
pohon-pohon tak berhias
dalam nuansa nyaman, teduh dan bersahaja
sampai senja datang

malam menjelang
sepi semakin senyap
cahaya temaram mulai terlihat hanya dari beberapa rumah
kegelapan menjadi bagian dari kehidupan

pintu rumah tak terkunci
jendela tetap terbuka
tak ada yang dikhawatirkan
semua merasa bersaudara
semua merasa aman

suara jangkrik semakin keras terdengar
mengakhiri hari yang dianggap sakral
kemerdekaan hadir disini dalam nuansa yang berbeda

kemerdekaan dari aliran listrik
kemerdekaan dari materialisme
tanpa TV, radio, kulkas, apalagi motor dan mobil
kesederhanaan yang mendamaikan

Dirgahayu RI yang ke 61
Kaligintung, Bumiayu

Saturday, July 15, 2006

School Uniforms: Symbol not Substance

I am very sad with several news particularly regarding schooling. Detik.com investigated and found that in Riau each student has to pay 1,5 million rupiah for new school uniforms. My Godness! That's in Riau and in government schools. Can you imagine how much those will be in Jakarta and other big cities, and in private schools?

What's uniform for? The concept of wearing school uniform is very good indeed so students will feel in the same stage with their fellows coming from different economic class. No glamorous and fancy clothes wore at schools. However, these school uniforms have functioned more than their main goal. Now it is the schools which want to have different kind of uniforms beside the national school uniforms. This happens from kindergardens! The majority of kindergarden has at least three kinds of school uniforms, t-shirts, sports, and batik.

Excuse me, what are those uniforms for? For students to be comfortable? For schools and teachers to be proud of? For social status? Why schools issued regulations that these school uniforms are a must? No school uniforms, no class. How could be? Do they forget that most of Indonesian family live close by the poverty line? Its ridiculuos. We spend a lot of energy to decide, design, tailor, sell, and put regulation of school uniforms only for social status! Oops, I almost forget, its for economic benefit of certain people, off course. So, parents have to work very hard only for social status of the schools and feed several people who tailored and sold the uniforms. Talking about economic benefit, this uniform case is almost the same with the school texbook policy, where printing companies, the authors, and few functionaries, through the system called "proyek" get most benefit. I will call this as an economic exploitation.

Our schooling system is misleading. It stresses symbols out of substance and learning process. We are very busy to deal with uniforms, performances, but forget that the most inportant thing is learning. No surprised several month ago a primary school student committed suicided because his school uniforms were wet in the morning he should wore it. Schools are too harsh on the uniform regulation. Students are educated with materialistic and symbolistic learning. Dilligence (going to school without absence) and neatness (including wearing uniforms) are parts of evaluation. This happens in a higher education too where there are regulations regarding clothes, shoes, hair, and head scraf.

I am afraid we give too much emphasis on symbol, most importantly religious symbols. Wearing hijab, jubah, peci, and other religious symbol will be regarded good people (off course some of them are). And each of us should have a religion and be good person or look like a good person. People concern too much with symbolic religiosity. Therefore some people use religion (religious symbols) for their own policial and economic benefits. These people selling religion for anything, such as members of parliament, and popular leaders. The problem is their 'selling' is salable. Why because we are educated by materialistic symbols not substance, I am afraid...

Wednesday, June 07, 2006

Ayo Bangkit Jogja!

by Amelia

Sedih? sudah pasti.
Bagaimana tidak sedih kalau ada anggota keluarga mereka yang meninggal atau luka parah akibat tertimpa bangunan ketika gempa terjadi (Sabtu, 27 Mei 2006)? Bagaimana tidak sedih kalau rumah mereka rata dengan tanah dan mereka harus tinggal di tenda-tenda darurat (yang benar-benar darurat!). Bagaimana tidak nelangsa kalau untuk mencari makanan dan air minum saja sulitnya setengah mati? Bagaimana tidak nelangsa kalau saudara dan famili mereka yang sakit tidak mendapat penanganan serius karena keterbatasan obat-obatan dan fasilitas? Mereka menjadi pengungsi di kampung sendiri!

Memang ada yang saking kepepetnya sampai mencegat mobil-mobil bantuan dan meminta-minta dipinggir jalan, sampai ada yang bunuh diri karena tidak kuat menanggung derita. Tapi sebagian besar para korban gempa ini punya mental yang baja karena sadar bahwa kehidupan harus terus berjalan.

Mental baja itu terlihat pada anak-anak SD di Widoro Chandran, kecamatan Sewon, Bantul, seperti yang terlihat difoto hasil jepretan wartawan The Jakarta Post. (Detail berita lihat: http://www.thejakartapost.com/detailheadlines.asp?fileid=20060606.@02&irec=2)
Mereka tetap berusaha untuk menempuh ujian akhir di halaman sekolah mereka yang tinggal puing-puing. Mereka berusaha melupakan trauma dan kesedihan.

Mereka benar. For their own future, life must go on!
Bangkit Jogja!

Sunday, May 21, 2006

Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya

Amelia Fauzia

Baru-baru ini, Menteri sosial berterima kasih kepada masyarakat setelah menyaksikan bagaimana peran masyarakat membantu korban tanah longsor dan banjir yang terjadi akhir-akhir ini (Republika 26/02/2006). Pejabat publik menyadari bahwa tanpa filantropi, pemerintah/negara saat ini belum dapat berbuat maksimal untuk membantu korban bencana alam. Filantropi, kedermawanan sosial, dalam masyarakat Indonesia sudah menjadi tradisi dan dianggap aktivitas biasa sehingga terkadang kita terkaget melihat peran dan fungsinya secara riil di lapangan. Padahal hampir semua aktivitas sosial kemasyarakatan dan infrastruktur sosial termasuk sebagian besar penyelenggaraan pendidikan itu ditopang oleh filantropi.

Istilah filantropi, memang belum dikenal oleh sebagian besar masyarakat. Dalam bahasa Indonesia, istilah yang cukup sepadan dengan filantropi adalah kedermawanan sosial; istilah yang sebenarnya hampir sama tidak populernya bagi rakyat kebanyakan, yang lebih paham dengan istilah dan praktek seperti sedekah, zakat mal, zakat fitrah, sumbangan, dan wakaf. Namun istilah filantropi dipakai karena ada ideologi di belakangnya yang diperjuangkan, seperti halnya istilah masyarakat madani, civil society, dan gender. Filantropi adalah kedermawanan sosial yang terprogram dan ditujukan untuk pengentasan masalah sosial (seperti kemiskinan) dalam jangka panjang, misalnya bukan dengan cara memberi ikan tetapi memberi kail dan akses serta keadilan untuk dapat memancing ikan. Selain makna yang diperjuangkan itu, istilah filantropi juga dipakai untuk aktivitas kedermawanan sosial secara umum yang beragam dan ditemukan di hampir semua peradaban di dunia di sepanjang waktu. Praktek filantropi yang cukup dominan selama ini banyak dimotori dari ajaran agama (faith-based philanthropy). Saat ini, praktek filantropi di Indonesia pun tidak bisa terlepas dari praktek filantropi Islam. Sejalan dengan survey yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai filantropi Islam, --bahwa 99.3% Muslim berderma (baik itu berupa zakat, sedekah, maupun sumbangan barang)—maka tulisan ini ingin meruntut bagaimana peran dan perkembangan filantropi Islam itu sendiri di Indonesia.

Periode Awal Filantropi Islam

Aktivitas filantropi Islam sudah dipraktekkan di Nusantara sejak adanya komunitas Muslim di Nusantara mulai sekitar abad ke 8-9M (Fauzia dan Hermawan, 2002) dan khususnya ketika Islam sudah menjadi kekuatan sosial dan politik dengan berdirinya kerajaan Islam mulai abad ke-12M (lihat Schrieke, 1957; M.C. Ricklefs, 1993; dan Notosusanto, 1977). Karena filantropi merupakan salah satu inti ajaran Islam, maka komunitas Muslim di Nusantara dipastikan melaksanakan aktivitas filantropi seperti zakat, sedekah, dan wakaf ketika komunitas Islam sudah cukup kuat umumnya di kota pesisir. Di Nusantara yang pada abad ke-20 disebut Indonesia, aktivitas filantropi Islam yang masuk sejalan dengan masuknya Islam, tumbuh dan berkembang dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat setempat sampai masa sekarang. Filantropi Islam juga berinteraksi dengan tradisi filantropi yang sudah ada pada zaman pra modern di Nusantara yang mungkin dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Namun lebih dari itu, filantropi Islam merupakan salah satu dari apa yang disebut Lombard sebagai stimulus Islam sehingga menjadi pendorong bagi proses konversi (Lombard, jilid 2, 1996). Filantropi Islam mencapai momentum dan menjadi trigger bagi aktivitas filantropi di Indonesia baik yang berlandaskan agama maupun tidak dan saling berpengaruh terhadap praktek filantropi yang menjadi tradisi masyarakat setempat. Karena ada beberapa tradisi yang mirip sekali dengan wakaf di beberapa suku di Indonesia atau ada beberapa tradisi sedekah yang tidak disebut sedekah tapi merupakan praktek filantropi yang ditradisikan oleh beberapa masyarakat suku yang mayoritas Muslim.

Filantropi Islam ke Indonesia tentunya dibawa oleh para penganjur Islam di Nusantara, kebanyakan terdiri dari pedagang Muslim dan guru tarekat yang datang dari atau melalui India ataupun langsung dari Arabia untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Beberapa naskah Melayu dan Jawa yang bertutur mengenai kehidupan Istana dan sultan, dan mengenai etika, menceritakan konsep dan praktek filantropi Islam. Konsep sedekah dan zakat merupakan upaya perbaikan sosial dan menjadi kewajiban bagi yang kaya kepada yang miskin dan sebaiknya dilakukan dengan etika yang baik –secara diam-diam (Kitab Bonang, 1969). Aktivitas sedekah di lingkungan kesultanan, biasanya terkait dengan perayaan, misalnya perayaan kelahiran, khitanan, dan pernikahan. Dalam suatu perayaan, Sultan senantiasa memberikan makanan, pakaian, termasuk perhiasan kepada orang miskin. Nuruddin Ar-Raniri dalam Bustan al-Salatin menyebutkan bahwa Sultan senantiasa memberi sedekah kepada fakir miskin, khususnya setiap berangkat menunaikan shalat Jum’at (Ar-Raniri, 1966).

Kitab Undang-undang Melaka yang bisa menjadi acuan mengenai sistem hukum di kesultanan-kesultanan Nusantara, tidak menyebutkan mengenai zakat (Liaw, 1976). Kemungkinan kerajaan tidak berurusan dengan kegiatan pengumpulan dan pengelolaan zakat, tapi diserahkan kepada individu maupun ulama. Undang-undang Melaka dan Bustan al-Salatin menyebutkan sekilas adanya Baitul Mal. Informasi yang didapat dari Bustan al-Salatin hanya menyebutkan bahwa Baitul Mal dan usur (kemungkinan zakat pertanian sebesar sepersepuluh) pertama kali ditetapkan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Aceh (Ar-Raniri, 1966; Lombard, 1986), dan tidak ada penjelasan lainnya.

Belum ditemukan bukti yang jelas mengenai adanya tradisi pengumpulan zakat oleh kerajaan Islam. Karenanya, ketika pada abad ke-19 kerajaan Islam mulai hancur dan sistem pemerintahan diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda, tidak pernah ada diskusi apakah pemerintah ‘kafir’ boleh atau tidak boleh mengelola zakat. Namun catatan mengenai pajak non keagamaan jelas ada termasuk pembebasan pajak atas tanah perdikan (biasanya tanah makam, pesantren dan masjid) yang sudah berjalan sejak masa kerajaan Hindu.

Institusi wakaf sudah mulai tersebar di seluruh wilayah Nusantara sejak abad ke 15 dengan semakin kuatnya kerajaan Islam dan semakin banyaknya masjid dan pondokan yang didirikan. Rachmat Djatnika mencatat bahwa di Jawa Timur sekitar 1500-1600 (ketika itu tidak ada pusat kerajaan Islam yang besar disana) sudah ada enam wakaf yang kuantitasnya terus bertambah secara signifikan (Djatnika, 1982). Akan tetapi, bentuk wakaf itu sangat tradisional dan hanya terfokus untuk kepentingan ibadah seperti masjid dan kuburan, dan untuk pendidikan, seperti pondok pesantren. Di lingkungan kerajaan, masjid besar biasanya didirikan oleh sultan, misalnya Masjid Raya di Kesultanan Aceh. Wakaf tempat-tempat umum seperti yang biasanya ditemukan juga di masa kerajaan Turki Usmani, misalnya wakaf sumur air minum, dapur umum, kamar mandi, dan jembatan, tidak populer. Penghayatan pengamalan ibadah individual terlihat disini lebih disukai dibandingkan dengan ibadah menyangkut kepentingan sosial. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan tradisi hukum Islam yang berkembang di Nusantara dan dominasi kelompok shariat dibanding tasawuf/tarekat.

Perubahan dan Keberlangsungan Tradisi Filantropi Islam

Islamisasi yang berangsur-angsur dan secara umum berjalan dengan damai menghasilkan Islam menjadi agama mayoritas dan praktek filantropi Islam menjadi tradisi masyarakat. Praktek zakat, infak/sedekah, dan wakaf bisa ditemukan disemua komunitas Muslim di Indonesia dan dilaksanakan mayoritas institusi keagamaan dan lebih terfokus pada masjid dan pendidikan Islam. Praktek filantropi Islam yang paling populer adalah zakat fitrah (Snouck Hurgronje, 1906; Snouck Hurgronje, 1992). Kuatnya tradisi ini zakat pada masyarakat petani di Jawa menyebabkan salah kaprah bahwa zakat identik dengan zakat padi yang dikeluarkan ketika panen. Zakat fitrah biasanya dibayarkan ke modin atau kyai desa yang mengelola masjid, ke kyai di pesantren dimana ia menimba ilmu, ke dukun bayi yang telah membantu melahirkan, atau diberikan langsung kepada tetangga yang membutuhkan. Namun mayoritas zakat itu diserahkan ke kyai desa yang mengelola dan membagikan sebagian zakat itu dan menggunakan sebagian untuknya (Snouck Hurgronje, 1906; Snouck Hurgronje, 1991) karena sebagian zakat itu juga diperuntukkan sebagai bayaran atas jasa kyai untuk ‘mengurusi’ hal keagamaan masyarakat.

Pada akhir abad ke-19 wakaf dapat ditemukan di setiap tempat yang ada komunitas Muslim dimana sebagian besar wakaf adalah dalam bentuk benda yang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, dan sedikit sekali benda bergerak seperti kitab dan kursi dan perlengkapan lain di masjid atau di tempat belajar agama (Atmadja, 1922). Tradisi wakaf semakin menguat bahwa hampir semua masjid dibangun di tanah wakaf ataupun tanah desa. Wakaf sawah juga banyak yang diberikan untuk sekolah (Meyer Ranneft, 1974). Selain berwakaf di dalam negeri, para pembesar negeri juga berwakaf diluar wilayah Nusantara khususnya di Mekkah. Mereka membangun wakaf berupa rumah penginapan untuk jamaah haji khususnya yang berasal dari wilayah kerajaannya. Diantara rumah wakaf yang terkenal adalah rumah wakaf untuk jamaah haji asal Aceh, Banten, dan Pontianak. Para sultan dan pembesar negeri yang membangun rumah wakaf juga mengirimkan uang untuk biaya perawatan rumah wakaf tersebut. (Snouck Hurgronje, 1931 p. 255, p 288).

Tradisi sedekah yang cukup potensial pada masa kolonial adalah sumbangan uang nikah yang disimpan di masjid sebagai uang operasional masjid dan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Tradisi ini dilegalkan oleh pemerintah kolonial dan disebut dengan moskeekas atau kas masjid. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda mengenai moskeekas ini adalah tarik ulur antara kebijakan untuk tidak turut campur urusan Islam dan pribumi dengan kebijakan intervensi yang bersifat mengawasi (Soeminto, 1989; Fauzia dan Hermawan, 2002). Snouck Hurgronje pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menemukan banyak penyelewengan penggunaan uang kas masjid ini (Snouck Hurgronje, 1991; Snouck Hurgronje, 1992). Kritikan terhadap penanganan dan kebijakan moskeekas cukup tersebar selama dekade kedua dan ketiga abad ke dua puluh di beberapa surat kabar pribumi yang isinya menuntut perubahan dalam managemen pengelolaan kas masjid dan penggunaannya supaya lebih transparan sehingga lebih bermanfaat dan menghindari korupsi (Sinar Hindia 18 Nov 1918, 24 April 1919, dan 8 Mei 1919). Usulan-usulan ini merupakan kritikan terhadap kebijakan pemerintah yang mengikuti nasehat Snouck Hurgronje yaitu menggunakan uang kas masjid hanya untuk kepentingan masjid, tidak untuk kepentingan sosial. Sebelumnya, kas masjid digunakan untuk kepentingan sosial seperti diberikan untuk fakir miskin, rumah piatu, sumbangan ke rumah sakit zending, penerangan jalan, dan direncanakan untuk pinjaman kredit, namun ditentang keras oleh Snouck Hurgronje dan akhirnya dihentikan. Perkembangan dan kemajuan aktivitas filantropi Islam secara tidak sadar ditekan oleh konservatisme pemerintah kolonial belanda.

Walaupun pemerintah Kolonial Belanda berusaha tidak melakukan campur tangan, kekhawatiran akan penyalahgunaan dana filantropi Islam untuk kepentingan yang kontra kolonial juga cukup kuat. Karenanya pengawasan khususnya terhadap penggunaan moskeekas dilakukan. Satu hal yang cukup konstruktif dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda adalah melakukan pencatatan administrasi tanah wakaf untuk menekan angka perselisihan status wakaf yang sudah sering terjadi. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan peraturan, keputusan, dan surat edaran yang memiliki kekuatan hukum mengenai wakaf (Bijblad no 6196), zakat mal dan fitrah (Bijblad no 1892, Bijblad no 6200), yang menegaskan bahwa fungsi pejabat kolonial adalah mengawasi urusan filantropi Islam namun tidak boleh turut campur tangan karena sifat filantropi Islam itu adalah kewajiban agama yang dalam prakteknya sifatnya sukarela.

Abad ke-20: Perubahan dan Kemajuan

Seiring dengan masuk dan berkembangnya modernisme Islam di awal abad ke-20, filantropi Islam yang berperan cukup penting untuk membiayai perubahan itu juga mengalami transformasi sesuai dengan perubahan masyarakat. Karenanya, selain praktek filantropi lama (tradisional), bentuk-bentuk filantropi baru mulai berkembang di masyarakat perkotaan. Bentuk-bentuk baru diantaranya adalah adanya komite dan organisasi khusus filantropi, adanya mekanisme transparansi dan akuntabilitas, dan filantropi media. Bentuk baru ini muncul mengambil ide baik dari kemajuan Barat, dari dunia Islam di Timur, dan wacana dalam negeri sendiri. Bentuk baru ini berkembang mulai awal abad ke-20 dan mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi politik, ekonomi, dan sosial masyarakat dan negara, dan merambah ke berbagai institusi dan organisasi, termasuk media, dan organisasi politik. Kebijakan pemerintah, situasi politik, dan perubahan sosial memberi dinamika tersendiri bagi perkembangan filantropi dari akhir masa kolonial sampai sekarang.

Politik tidak campur tangan pemerintah Kolonial Belanda telah membuka peluang bagi gerakan Islam untuk membentuk lembaga wakaf modern, komite-komite karitas dan filantropi, serta penggunaan filantropi Islam untuk mendukung gerakan kemerdekaan. Persyarikatan Muhammadiyah (1912-) merupakan organisasi massa yang mempercepat perubahan tradisi filantropi yang berbasis individu kepada organisasi modern. Walaupun tidak menyebut sebagai lembaga filantropi, Muhammadiyah merupakan lembaga sosial keagamaan yang berbasis filantropi modern. Selain Muhammadiyah, hampir semua organisasi Islam menggunakan zakat, wakaf dan sedekah sebagai bagian dari upaya pencarian dana pergerakan. Bahkan komite-komite zakat fitrah sudah dibentuk oleh organisasi-organisasi Islam.

Yayasan wakaf dalam bentuk modern baru mulai didirikan pada masa ini sejalan dengan perkembangan modern filantropi Islam. Yayasan seperti ini kelihatannya didirikan oleh muslim yang memiliki latar belakang pendidikan Eropa dan juga didukung oleh kelompok keturunan Arab yang memiliki pengetahuan mengenai wakaf di negara Muslim. Wacana wakaf modern sudah cukup maju dan dimulai oleh Centraal Sarekat Islam yang pada tahun 1918 mendirikan “Kas Wakaf Kemerdekaan Central Sarekat Islam” untuk mendukung perjuangan kemerdekaan dan membantu pejuang tanpa membedakan ras dan kewarganegaraan. Komite bantuan kemanusiaan banyak didirikan misalnya untuk membantu korban banjir, kelaparan, dan ledakan gunung berapi. Filantropi yang dilakukan oleh dan melalui media pribumi cukup gencar tidak hanya untuk bantuan kemanusiaan bahkan termasuk untuk membiayai pergerakan Islam dan demonstrasi buruh.

Pendudukan Jepang yang sangat singkat (1942-1945) tidak menyisakan banyak tempat bagi perkembangan filantropi Islam. Masa awal pendudukan Jepang yang sedikit membuka kesempatan bagi aktivitas gerakan Islam menyuburkan wacana mengenai baitul mal dan lembaga filantropi Islam yang sudah dicoba dilaksanakan di daerah Jawa Barat melalui MIAI (Benda, 1983). Namun karena perang yang berkepanjangan, wacana ini kemudian tidak bergulir.

Wacana filantropi tidak berkembang pada pemerintahan Orde Lama (1945-1966) khususnya pada tahun-tahun awal dimana negara masih bergulat secara fisik dan politik mengenai kedaulatan negara. Namun wacana dan praktek filantropi modern yang sebelumnya sudah terbentuk tetap bergulir. Fonds Sabilillah bisa dikatakan yayasan zakat pertama yang didirikan setelah kemerdekaan yaitu tahun 1947 sebagai jihad untuk membangun kedaulatan Indonesia dan mengusir kolonial. Pada masa Orde Lama ini setidaknya yang lebih banyak berkembang adalah wakaf khususnya di bidang pendidikan. Misalnya pada tahun 1948 berdiri Stichting (Wakaf) Republik yang bergerak pada penerbitan dan perpustakaan untuk semua kalangan, tahun 1950 berdiri Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan tahun 1951 berdiri Yayasan Wakaf Universitas Islam Indonesia. Transformasi wakaf tradisional pondok pesantren menjadi wakaf modern yang paling awal dilakukan oleh Pondok Modern Gontor pada tahun 1958. Situasi politik nasional yang tidak stabil tidak banyak membawa perkembangan baru di tingkat nasional. Sejak awal kemerdekaan, beberapa yayasan wakaf modern melanjutkan prinsip keadilan sosial bagi penerima wakafnya tanpa diskriminasi agama dan kewarganegaraan, namun akibat pengkotakan politik yang tajam, pembatasan stakeholder khusus untuk Muslim semakin mengemuka.

Kebijakan pemerintah Orde Baru (1966-1998) dalam menangani filantropi Islam hampir sama dengan kebijakan yang dilakukan pemerintah Kolonial Belanda sebelumnya (Fauzia, 2005a). Dari awal masa Orde Baru, upaya pendirian badan amil zakat tidak bisa dibendung oleh pemerintah yang mencoba mengalihkan menjadi amil zakat individu dan akhirnya amil zakat tingkat provinsi yang biasa disebut sebagai Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS). Resistensi di tingkat masyarakat bawah terhadap pemerintah Orde Baru dan badan amil zakat-nya membuat (1) menjamurnya badan dan panitia amil zakat yang biasanya mengelola zakat fitrah menjelang perayaan Idul Fitri dan (2) keberlanjutan tradisi pemberian karitas langsung kepada fakir miskin. Setidaknya pada masa ini, tradisi memberikan zakat kepada kyai sebagai individua semakin berkurang, sebagian besar kyai berafiliasi pada kepanitiaan amil zakat di masjid dan lingkungan sekitar. Akhir masa Orde Baru yang cukup akomodatif melahirkan beberapa badan amil zakat swasta yang berdiri sebagai yayasan salah satunya adalah Dompet Dhuafa Republika. Yayasan filantropi seperti inilah yang kemudian berkembang menjadi lembaga amil zakat sekup nasional dan menjadi motor penggerak filantropi Islam pada masa Reformasi.

Masa Reformasi (1998- ) merupakan puncak dari institusionalisasi filantropi Islam dengan banyak dikeluarkannya undang-undang dan peraturan mengenai pelaksanaan filantropi Islam. Dua undang-undang yang cukup menentukan adalah Undang-undang zakat (1999) dan Undang-undang Wakaf (2004) yang mengatur pelaksanaan zakat dan wakaf. Selain itu, pemerintah memfasilitasi dengan dibentuknya direktorat Zakat dan Wakaf di Departemen Agama dan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), serta BAZDA (Badan Amil Zakat Daerah) di tingkat propinsi. Dalam pelaksanaannya, LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dikelola oleh NGO lebih maju dan mendapat kepercayaan dari masyarakat dibandingkan dengan BAZ (Badan Amil Zakat) yang dikelola oleh pemerintah.

Dengan demikian, maka terlihat bahwa praktek filantropi Islam berkembang dipengaruhi oleh faktor sosial, politik, dan budaya masyarakat. Perkembangan filantropi Islam bertransformasi dari praktek yang tradisional ke praktek yang modern melalui proses yang panjang dan bertahap. Karenanya tidak heran jika sekarang ini praktek filantropi Islam tradisional masih banyak ditemukan disamping adanya praktek filantropi Islam modern dengan aktivitas dan bentuk yang beragam.

Penutup

Dari sini sebenarnya banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengembangkan praktek filantropi di Indonesia, dari sekedar ucapan terima kasih yang diberikan kepada masyarakat. Diantaranya adalah kebijakan pengurangan pajak yang tidak parsial dan tidak setengah hati. Kebijakan tax deduction yang ada (misalnya dalam bantuan korban Tsunami dan pembayaran zakat), nominalnya kecil --karena perhitungannya bukan langsung dikurangi, tapi dianggap cost-- sehingga kebijakan tax deduction sementara ini belum dapat mendorong masyarakat untuk berderma. Selain pengurangan pajak, pemerintah bisa lebih menggiatkan Corporate Social Responsibility bagi perusahaan-perusahaan, dan memberdayakan organisasi filantropi sehingga menjadi lebih professional dan mendatangkan manfaat yang lebih besar.

* Versi lengkap dari tulisan ini akan diterbitkan menjadi bagian dalam Laporan Penelitian "Filantropi Islam untuk Keadilan Sosial di Indonesia" oleh Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Satu Pelajaran dari Papua: Filantropi dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Amelia Fauzia

Aksi demonstrasi terhadap PT Freeport Indonesia di depan kampus Universitas Cendrawasih yang akhirnya ricuh dan menimbulkan beberapa korban tewas adalah luapan emosi masyarakat yang mendapat momentum baru. Kerusuhan dan demonstrasi tidak akan muncul begitu saja tanpa ada faktor laten dibelakangnya, yaitu kesenjangan sosial dan perasaan ketidakadilan yang merupakan dampak dari persoalan lain yang belum terselesaikan, seperti kerusakan lingkungan dan kesenjangan pembagian laba. Tulisan ini akan melihat sisi filantropi perusahaan atau yang biasa disebut tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility- CSR) dalam upaya mempersempit kesenjangan dan menciptaan ketidakadilan sosial.


Filantropi dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Paradoks?

Istilah filantropi memang belum dikenal oleh sebagian besar masyarakat. Dalam bahasa Indonesia, istilah yang cukup sepadan adalah kedermawanan sosial; istilah yang hampir sama tidak populernya bagi rakyat kebanyakan, dibanding istilah seperti sumbangan dan bantuan. Istilah yunani ini dipakai kembali karena ia bisa mencakup semua jenis dan bentuk kegiatan kedermawanan sosial di berbagai peradaban, wilayah, kultur dan zaman, seperti sedekah, karitas, gotong royong, kesukarelawanan, zakat, tithe, wakaf, dan tanggung jawab sosial perusahaan. Filantropi adalah segala bentuk kegiatan non pemerintah yang bersifat sukarela dan dilakukan untuk kepentingan publik. Istilah filantropi juga menjadi pilihan karena di belakangnya ada makna pengentasan akar masalah sosial, bukan sekedar karitas. Tangung jawab sosial perusahaan ( CSR) adalah bentuk filantropi yang menjadi komitmen kepedulian perusahaan terhadap masyarakat.

Sepertinya ada paradoks dalam CSR, antara etos perusahaan yang bekerja untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dan kegiatan sosial yang menghabiskan dana. Walaupun awalnya CSR penuh pro kontra, namun pada praktiknya ia semakin mendapat momentum dan hampir semua perusahaan besar di dunia berlomba melakukan kegiatan sosial. Komitment sosial perusahaan pun akhirnya bukan hanya sekedar sukarela, tapi dianggap sebagai tanggung jawab sosial perusahaan karena keuntungan yang didapat dari masyarakat, dan kemungkinan dampak sosial dan lingkungan yang diakibatkan. Bagi perusahaan, studi membuktikan bahwa CSR malah mendatangkan banyak keuntungan, katakanlah good image dan dukungan sosial. Bagi masyarakat, CSR bisa dinilai sebagai kewajiban, sebagai “friendly face of capitalism” –meminjam istilah Deborah Doane, ketua koalisi Corporate Responsibility, atau sebagai bantuan yang meringankan hidup.


Program CSR dan Kesenjangan Sosial

Program CSR bisa meringankan hidup masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan tentunya mengurangi kesenjangan sosial. Sebagian besar perusahaan di Indonesia sudah memiliki program sosial, dari yang bersifat karitas --seperti pemberian bantuan bahan makanan untuk korban bencana alam dan pengobatan gratis-- sampai community development – seperti advokasi HAM dan pemberdayaan industri kecil. Program CSR fokusnya beragam; ada yang berupa kesejahteraan dan pemberdayaan karyawan beserta keluarganya, berupa pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan, dan berupa kebutuhan masyarakat umum. Komitment kepada ketiganya menjadi suatu keharusan yang tidak bisa dianggap selesai dengan pembayaran pajak kepada negara.

Apakah perusahaan-perusahaan besar sudah punya komitment filantropi atau CSR? Sebagian besar perusahaan sudah memilikinya bahkan beberapa membuat yayasan tersendiri, seperti Yayasan Sampurna dan Yayasan Dharma Bakti Astra, yang cukup maju. Sebagian lainnya belum punya. Bagaimana berkomitment untuk CSR sedangkan cerita mengenai pelanggaran HAM dan demonstrasi buruh terhadap perusahaan masih marak terdengar.

Melihat ke Papua, sejauh ini PT Freeport Indonesia sudah menjalankan program CSR melalui kemitraan dengan masyarakat adat Amungme (Lembaga Masyarakat Adat Amungme- LEMASA) dan Kamoro (Lembaga Masyarakat Kamoro- LEMASKO) dengan memberikan kontribusi berupa dana kemitraan. Dana kemitraan tersebut dikelola dan disalurkan oleh lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) berupa program pendidikan dan training, kesehatan, pembangunan desa, dan pengembangan wirausaha. Namun, dari hasil audit the International Center for Corporate Accountability (ICCA) masih banyak hal yang perlu diperbaiki diantaranya adalah pengelolaan dan distribusi dana oleh LPMAK, serta pemberian bantuan yang tidak pada tempatnya.

Tanpa keseriusan perusahaan dan pengawasan masyarakat, tujuan pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan akan sulit dicapai. Dan karenanya kesenjangan sosial akan tetap tinggi dimana konflik sosial mudah terjadi.


Peran Pemerintah

Selain peran pengusaha dan masyarakat, tentu pemerintah memiliki posisi yang strategis untuk bisa memajukan filantropi dan CSR. Mengapa pemerintah berkepentingan? Selama ini secara tidak langsung pemerintah telah dibantu oleh masyarakat yang secara sukarela membantu warga yang membutuhkan. Dalam kasus bencana Tsunami di Aceh dan Medan misalnya, terkumpul dana cash sebesar $52 juta dari masyarakat Indonesia hanya dalam waktu satu bulan (APPC April 2005). Dana zakat dan sedekah dalam setahun terkumpul Rp 19.3 trilyun yang dibayarkan oleh 98 persen Muslim di Indonesia. Dan sebagian besar lembaga sosial dan pendidikan dibangun dan hidup dari kegiatan filantropi, bukan dari dana pemerintah. Dari sini terlihat bahwa peranan filantropi sangat substansial dan potensial ketika negara belum bisa mensejahterakan rakyat.

Karena itu sudah semestinya pemerintah mendorong perkembangan filantropi di Indonesia untuk mendorong terciptanya keadilan sosial. Diantara yang bisa dilakukan adalah mengubah kebijakan pengurangan pajak atas donasi yang setengah hati dan parsial; mendorong perusahaan memiliki Corporate Social Responsibility; dan memberdayaan organisasi filantropi menjadi lebih professional. Semoga tragedi di Papua tidak terulang lagi.