My favourite day is mother day.
Last May I got these two sweet cards from Elkana and Farhan.
And a bunch of flowers! from... Amir!
I love flowers! I mean,
I love you guys...
Wednesday, June 25, 2008
Mother's day My day
Thursday, June 19, 2008
Jehan, our new hero from India...
Yippieee...! We have a new family member. His name is Jehan Shahdar Raushanara. Hmm its really Indian taste. I like Jehan. Its the name of one of famous sultans of India in the history. But I don't know the rest. BTW, congratulations Tante Elina and Om Ryan. I am sure Jehan will bring your life more colorful. (Or its the other way around? that both of you will bring Jehan's life more colorful). It depends on what Islamic schools of thought are you, Jabariyah or Qadariyah; it does not matter.
Friday, April 11, 2008
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
The main song for the Indonesian Choir will be Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. This is a perfect song for a choir. Its melody is beautiful and its theme is awesome for both teachers and students. I think Australian students can also learn it easily. I learned this song when I joined a choir at my primary school, SDN Situgintung II pagi. Here is the lyrics.
Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup, dalam sanubariku
Semua baktimu, akan kuukir di dalam hatiku
S'bagai prasasti trimakasihku tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
I dedicated this song for my teachers at SDN Situgintung II Pagi...
Indonesian Choir at Moreland Primary School
Elkana and Farhan are exited that we will start an Indonesian Choir at Moreland Primary School next week. I will volunteer to teach Indonesian song and culture to a group of students.
Teaching a choir every week?! Well, I did not expect to have this chance. It is totally different from my PhD research. Last year I taught Elkana, Farhan and their close friends to perform at their school at the farewell program of Sue. She is one of my favourite teacher at Moreland Primary School. After performance, we received excellent response and comments from students and teachers. So they asked me to do that at school this year.
Well, I know I only have four months before submitting my thesis. I am in a tense writing situation right now. I could easily say no and sorry to the school principal. But, I don't want to see Elkana's and Farhan's sad faces. The most important inspiration behind my yes decision is Amir. Without his never-ending support I could not manage my time to do this activity.
Who knows this activity will give me a good Thursday. This is the art of volunteering. In fact, I will teach my own kids and Australian students about Indonesia, which is culturally marginal here.
This is exiting!
Thursday, March 06, 2008
Ayat-Ayat Cinta: Sebuah Dekonstruksi yang Cerdas dan Menawan
Brilliant! Film Ayat-Ayat Cinta ini sungguh sarat pesan moral, yang disuguhkan dengan paduan gambar dan suara yang ciamik, dan puisi yang indah dan filosofis.
Pesan moralnya berkisar pada agama dan sosial, dan menyentuh hampir semua ranah: dari persoalan pacaran dalam Islam, studi Islam, ketidakadilan, cinta dan patah hati, kekerasan dalam rumah tangga, hubungan Islam and the West, konsep perempuan dalam Islam, purdah, hubungan Islam-Kristen, sampai poligami dalam Islam! Sulit untuk mengungkapkan dalam satu kata mengenai pesan2 ini. Tapi yang saya kira sangat kuat adalah dekonstruksi.
Dekonstruksi dalam banyak hal: misalnya tentang perempuan yang berhijab, tentang ta'aruf, poligami (whether you are pro or con), sakralitas orang Arab dan bahasa Arab. Nulis surat cinta dan diari juga pake bahasa arab.. hehe. Duh, jadi ingat masa2 di pesantren dan kuliah dulu.
Tentang hijab, yang didekontruksi adalah pandangan bahwa orang yang memakai hijab itu berpikiran fundamentalis dan anti barat. Nah di film ini digambarkan sebaliknya. Ta'aruf (perkenalan) yang bagi sebagian kalangan dikesankan sangat Islami, di film ini justru dipertanyakan dengan memperlihatkan masalah2 yang timbul akibat pasangan yang menikah hanya dengan taaruf yang dengan cara hanya melihat muka saja. Mitos sakralitas orang Arab dihilangkan dengan penggambaran kekerasan dalam rumah tangga. Poligami --walaupun digambarkan dilakukan karena alasan 'darurat' dan sangat masuk akal-- diperlihatkan bahwa sulit sekali untuk memberi keadilan. Dan film juga akhirnya diakhiri dengan 'hilangnya' satu istri dan menjadi pernikahan monogami tentunya.
Sebagai sebuah film, tentu banyak juga kekurangannya. Setidaknya film ini membuat suasana bioskop hingar bingar dan sangat multi kultur, berbeda dari biasanya. Karena ibu-ibu pengajian tidak mau ketinggalan untuk ikut nonton. Bravo untuk Habiburrahman El-Syirazi, penulis novel, dan Hanung Bramantyo, sutradara Ayat-ayat Cinta.
Dibawah ini link untuk nonton filmnya bagi yang kesulitan untuk nonton di bioskop dan nyari DVD nya. (Minta perpustakaan supaya beli novel dan DVD nya ya). Tapi sebelumnya saya ingatkan. Beware: its addictive!
Sunday, March 02, 2008
ham must not separate our friendship
Memang, kayaknya lucu ya. Tapi ini serius sekali, tanpa saya perlu refer ke cerita2 dari milis tetangga tentang anak2 Indonesia di Melbourne yang beda agama dan bertemu di satu sekolah, terus 'selek' gara2 ham ini, sampai2 orang tua dipanggil ke sekolah...
Nah, lagi-lagi ini kelihatannya akibat tidak tuntasnya pengajaran agama bagi anak-anak. Dan kelihatannya bukan hanya fenomena dari masyarakat Muslim Indonesia, tapi dari komunitas Muslim lain di Melbourne. Setelah saya korek2, Elka dan Farhan cerita kalau ada beberapa teman2 mereka (kelihatannya imigran dari Timur Tengah dan Afrika) yang suka 'kampanye' bahwa "Muslim tidak makan pork, cuma orang Kristen yang makan ham..." dst. Itu memang realitas, tapi kemudian anak2 ini mengarah ke pembedaan identitas agama untuk melihat seseorang itu baik atau tidak, atau bisa dijadikan teman. Misalnya, "si C makan ham, si D enggak, jadi saya main sama si D aja." Sampai2 mereka bingung kok yang mengajar bahasa Arab (bahasa Qur'an) di sekolah itu orang Kristen, mereka pikir semua orang Arab itu Muslim.
Dengan pertanyaan sederhana saya bilang "so what? memangnya kenapa kalau si C makan ham," "memangnya kenapa kalau si D itu agamanya Kristen?" Kita Muslim memang tidak makan ham, tapi bukan berarti kita memusuhi orang yang makan ham atau orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Kita sangat yakin dengan Islam, dan begitu pula orang lain yakin dengan agama mereka. Ya sudah, itulah realitas sosial. Toh dulu beberapa kerabat Nabi Muhammad (termasuk ayahnya) tidak menjadi Muslim. Jadilah kami sekitar dua mingguan selalu berdiskusi tentang pork, ham, dan realitas agama2 di dunia.
Isu ham ini berawal dari wacana halal haram yang ditangkap anak-anak secara praktikal. Well, anak2 yang kritis itu sulit menerima begitu saja penjelasan bahwa katanya daging babi itu mengandung cacing pita atau babi itu jorok; jawaban yang tidak kontekstual yang dengan mudah disanggah. Jangankan kita, para fuqaha (ahli hukum), mufassir (ahli tafsir) dan filosuf juga belum bisa memberi jawaban rasional memuaskan terhadap larangan makan daging babi ini. Toh persoalan kepercayaan kan tidak semua bisa atau perlu dirasionalkan.
Uniknya isu babi dan halal haram santer pada zaman modern. Dan tentu saja santer di tempat2 Muslim menjadi minoritas. Dulu, Nabi Muhammad sering datang ke undangan makan komunitas non-Muslim. Artinya, beliau setidaknya menikmati makanan disana. Hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi tidak pernah komen tentang makanan kalau dia diundang; beliau makan makanan yang disukainya, dan membiarkan makanan yang tidak disukainya. "Mu'amalah ma'a nas" nya luar biasa baiknya! [Gak ada clash of civilization!]
Dalam kitab-kitab fiqih klasik, tidak ada satu chapter atau topik tersendiri mengenai halal-haram. Dalam usul fiqh, para fuqaha membagi hukum suatu perkerjaan itu ada lima: fardhu/wajib, sunnah (dianjurkan), mubah (diperbolehkan), makruh (tidak dianjurkan/tidak disukai), dan haram (dilarang). Wacana halal-haram itu dibahas dalam fiqh mu'amalah (masalah sosial), diantaranya kitab at'imah (bab makanan). Nah sekarang fiqh halal-haram ini jadi komoditi, diantaranya ekonomi, sampai menjadi identitas sosial. Seorang teman yang tinggal di Singapura bertutur, kalau sekarang banyak pertemanan yang berakhir di depan pintu restoran. Atau acara makan2 di kantor urung gara2 tidak ada kesepakatan di restoran mana...
Setidaknya kata2 Farhan cukup menentramkan hati: "mummy, a friend of mine eats ham, but I dont care, I still play with him because he is a nice person."
Friday, February 08, 2008
A Recipe for Friendship
I was touched by Elkana's beautiful recipe below. It was published in the Moreland Primary School's newsletter. I am sure you've had one such recipe of your own. (Don't ask why I am so sure. Easy, its because you've read this posting). I posted it just because I thought you would love to try this one.
PS: Please send along your cooking to my family and me.
Monday, January 14, 2008
"if my dad came and chopped off my..."
Santai dulu, ini bukan tentang pembunuhan. Ini cerita nyata tentang kurang tepatnya pengajaran agama kepada anak-anak. Gini ceritanya. Sepulang pengajian, teman ngajinya Elka dan Farhan, bercerita tentang makna Idul Adha kepada ibunya. Dasar anaknya cerdas, ia bisa lancar bertutur tentang kisah Nabi Ibrahim-Ismail yang kita semua sudah hafal di luar kepala. Setelah itu ia menyimpulkan makna Idul Adha kira-kira begini. "So, for example, if my dad came and chopped off my hands because of Allah, it is okay, because we have to obey what Allah asked us to do...right mum?"
Kontan si ibu kaget bukan kepalang, seperti kebakaran kompor! Kesimpulan letterlijk-nya sih gak salah dari sisi logika. Tapi, konteksnya sulit untuk bisa diterima. Apalagi jaman kayak gene banyak orang yang melakukan violence yang katanya karena perintah Tuhan. Padahal Islam itu agama kedamaian. Gak nyambung kan? Nah, bad luck-nya, kok ya doktrin violence itu yang malah nyangkut di kepala anak-anak ketika memahami salah satu perayaan terbesar dalam Islam?
Kontekstualisasi Idul Adha
Ajaran tentang Idul Adha menjadi disalah-pahami jika hanya terfokus pada cerita Ibrahim-Ismail saja. Terang aja cerita itu dengan mudah masuk di hati anak-anak, tapi sayangnya dengan kesimpulan yang tidak tepat karena dijelaskan secara abstrak. Untung di Australi pemotongan binatang kurban dilakukan di rumah pemotongan hewan. Kalau seandainya dipotong di tempat publik dan juga ditonton oleh anak-anak, wuih tambah melekatlah cerita "potong memotong karena perintah Tuhan" itu dalam image anak-anak.
Tujuan cerita "potong memotong" itu adalah untuk mengubah ritual mengorbankan manusia yang dilakukan dengan cara melanggar hak kemanusiaan, menjadi kegiatan mengikhlaskan memberi hewan untuk disembelih demi kemaslahatan manusia. Qurban dalam bahasa Arab yang berarti kedekatan kepada Tuhan (keikhlasan) bisa dijelaskan menjadi ajaran tentang kedermawanan sosial, tentang memberi, membantu sesama. Misalnya memberi makanan kepada mereka yang tidak mampu, mengikhlaskan waktu bermain untuk membantu adik dan teman, atau membantu membereskan mainan. Dan banyak hal-hal sejenis yang lebih kontekstual dan realistis dalam dunia anak-anak yang bisa dijadikan contoh.
Mengajarkan anak-anak tentang agama bukan sesuatu yang mudah. Apalagi untuk anak-anak yang cerdas dan kritis di tempat di mana Muslim menjadi minoritas, atau di masyarakat yang sangat heterogen dalam beragama. Hikmahnya? Sejak itu, saya rajin ikut ngajar ngaji anak-anak. hehe.