Sunday, March 02, 2008

ham must not separate our friendship

Memang, kayaknya lucu ya. Tapi ini serius sekali, tanpa saya perlu refer ke cerita2 dari milis tetangga tentang anak2 Indonesia di Melbourne yang beda agama dan bertemu di satu sekolah, terus 'selek' gara2 ham ini, sampai2 orang tua dipanggil ke sekolah...

Nah, lagi-lagi ini kelihatannya akibat tidak tuntasnya pengajaran agama bagi anak-anak. Dan kelihatannya bukan hanya fenomena dari masyarakat Muslim Indonesia, tapi dari komunitas Muslim lain di Melbourne. Setelah saya korek2, Elka dan Farhan cerita kalau ada beberapa teman2 mereka (kelihatannya imigran dari Timur Tengah dan Afrika) yang suka 'kampanye' bahwa "Muslim tidak makan pork, cuma orang Kristen yang makan ham..." dst. Itu memang realitas, tapi kemudian anak2 ini mengarah ke pembedaan identitas agama untuk melihat seseorang itu baik atau tidak, atau bisa dijadikan teman. Misalnya, "si C makan ham, si D enggak, jadi saya main sama si D aja." Sampai2 mereka bingung kok yang mengajar bahasa Arab (bahasa Qur'an) di sekolah itu orang Kristen, mereka pikir semua orang Arab itu Muslim.

Dengan pertanyaan sederhana saya bilang "so what? memangnya kenapa kalau si C makan ham," "memangnya kenapa kalau si D itu agamanya Kristen?" Kita Muslim memang tidak makan ham, tapi bukan berarti kita memusuhi orang yang makan ham atau orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Kita sangat yakin dengan Islam, dan begitu pula orang lain yakin dengan agama mereka. Ya sudah, itulah realitas sosial. Toh dulu beberapa kerabat Nabi Muhammad (termasuk ayahnya) tidak menjadi Muslim. Jadilah kami sekitar dua mingguan selalu berdiskusi tentang pork, ham, dan realitas agama2 di dunia.

Isu ham ini berawal dari wacana halal haram yang ditangkap anak-anak secara praktikal. Well, anak2 yang kritis itu sulit menerima begitu saja penjelasan bahwa katanya daging babi itu mengandung cacing pita atau babi itu jorok; jawaban yang tidak kontekstual yang dengan mudah disanggah. Jangankan kita, para fuqaha (ahli hukum), mufassir (ahli tafsir) dan filosuf juga belum bisa memberi jawaban rasional memuaskan terhadap larangan makan daging babi ini. Toh persoalan kepercayaan kan tidak semua bisa atau perlu dirasionalkan.

Uniknya isu babi dan halal haram santer pada zaman modern. Dan tentu saja santer di tempat2 Muslim menjadi minoritas. Dulu, Nabi Muhammad sering datang ke undangan makan komunitas non-Muslim. Artinya, beliau setidaknya menikmati makanan disana. Hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi tidak pernah komen tentang makanan kalau dia diundang; beliau makan makanan yang disukainya, dan membiarkan makanan yang tidak disukainya. "Mu'amalah ma'a nas" nya luar biasa baiknya! [Gak ada clash of civilization!]

Dalam kitab-kitab fiqih klasik, tidak ada satu chapter atau topik tersendiri mengenai halal-haram. Dalam usul fiqh, para fuqaha membagi hukum suatu perkerjaan itu ada lima: fardhu/wajib, sunnah (dianjurkan), mubah (diperbolehkan), makruh (tidak dianjurkan/tidak disukai), dan haram (dilarang). Wacana halal-haram itu dibahas dalam fiqh mu'amalah (masalah sosial), diantaranya kitab at'imah (bab makanan). Nah sekarang fiqh halal-haram ini jadi komoditi, diantaranya ekonomi, sampai menjadi identitas sosial. Seorang teman yang tinggal di Singapura bertutur, kalau sekarang banyak pertemanan yang berakhir di depan pintu restoran. Atau acara makan2 di kantor urung gara2 tidak ada kesepakatan di restoran mana...

Setidaknya kata2 Farhan cukup menentramkan hati: "mummy, a friend of mine eats ham, but I dont care, I still play with him because he is a nice person."

2 comments:

Riana Nugrahani Syarif said...

SETUJU gede gede!!! Kemarin kayaknya ada yang posting, lupa dimana, tentang restoran di indonesia yang HARUS mencantumkan halal sticker didepan tokonya, no matter what! weeii...ya terbuka lagi peluang kongkalikong. hehehe..

Cute comment from Farhan. I congratulate you as his parents who's able to make him think like that.

Luthfi Widagdo Eddyono said...

cerita yang menarik mbak.. thanks to farhan ^_^