Monday, January 14, 2008

"if my dad came and chopped off my..."

Santai dulu, ini bukan tentang pembunuhan. Ini cerita nyata tentang kurang tepatnya pengajaran agama kepada anak-anak. Gini ceritanya. Sepulang pengajian, teman ngajinya Elka dan Farhan, bercerita tentang makna Idul Adha kepada ibunya. Dasar anaknya cerdas, ia bisa lancar bertutur tentang kisah Nabi Ibrahim-Ismail yang kita semua sudah hafal di luar kepala. Setelah itu ia menyimpulkan makna Idul Adha kira-kira begini. "So, for example, if my dad came and chopped off my hands because of Allah, it is okay, because we have to obey what Allah asked us to do...right mum?"

Kontan si ibu kaget bukan kepalang, seperti kebakaran kompor! Kesimpulan letterlijk-nya sih gak salah dari sisi logika. Tapi, konteksnya sulit untuk bisa diterima. Apalagi jaman kayak gene banyak orang yang melakukan violence yang katanya karena perintah Tuhan. Padahal Islam itu agama kedamaian. Gak nyambung kan? Nah, bad luck-nya, kok ya doktrin violence itu yang malah nyangkut di kepala anak-anak ketika memahami salah satu perayaan terbesar dalam Islam?

Kontekstualisasi Idul Adha
Ajaran tentang Idul Adha menjadi disalah-pahami jika hanya terfokus pada cerita Ibrahim-Ismail saja. Terang aja cerita itu dengan mudah masuk di hati anak-anak, tapi sayangnya dengan kesimpulan yang tidak tepat karena dijelaskan secara abstrak. Untung di Australi pemotongan binatang kurban dilakukan di rumah pemotongan hewan. Kalau seandainya dipotong di tempat publik dan juga ditonton oleh anak-anak, wuih tambah melekatlah cerita "potong memotong karena perintah Tuhan" itu dalam image anak-anak.

Tujuan cerita "potong memotong" itu adalah untuk mengubah ritual mengorbankan manusia yang dilakukan dengan cara melanggar hak kemanusiaan, menjadi kegiatan mengikhlaskan memberi hewan untuk disembelih demi kemaslahatan manusia. Qurban dalam bahasa Arab yang berarti kedekatan kepada Tuhan (keikhlasan) bisa dijelaskan menjadi ajaran tentang kedermawanan sosial, tentang memberi, membantu sesama. Misalnya memberi makanan kepada mereka yang tidak mampu, mengikhlaskan waktu bermain untuk membantu adik dan teman, atau membantu membereskan mainan. Dan banyak hal-hal sejenis yang lebih kontekstual dan realistis dalam dunia anak-anak yang bisa dijadikan contoh.

Mengajarkan anak-anak tentang agama bukan sesuatu yang mudah. Apalagi untuk anak-anak yang cerdas dan kritis di tempat di mana Muslim menjadi minoritas, atau di masyarakat yang sangat heterogen dalam beragama. Hikmahnya? Sejak itu, saya rajin ikut ngajar ngaji anak-anak. hehe.

4 comments:

Riana Nugrahani Syarif said...

Amel, satu analisis yang menarik sekali. Pikiran saya jadi terbuka, lebih mampu memahami link antara 'qurban' dan kedermawanan sosial. Jadi, tidak semata-mata agar si miskin bisa makan daging hari itu. Atau hanya sebagai moment show case bagi si kaya yang menymbang beberapa sapi, misalnya. Maknanya lebih jauh ya. Juga, mendapat jawaban bagaimana 'menjawab pertanyaan' anak saya saat dia bertanya kembali. Kadang juga menjawab pertanyaan anak harus hati-hati kan? kalo tidak, bisa terjebak dua kali dan memberi persepsi yang salah ke anak. Mudah-mudahan juga menyembelih hewan qurban di Indonesia dilaksanakan lebih 'manusiawi' dan tidak sekedar menjadi tontonan. Juga, tidak menjadi riya' bagi yang menyumbang.
Thanks for making my experience as the basis of your story.

Amelia Fauzia said...

Thanks Ria. Iya, saya terkesan sekali dengan pertanyaan Anugrah itu. Dia anak yang cerdas, patuh, dan baik hati. Eh ada satu lagi yang Amir suka sebut: dia anak yang ksatria. (Nanti deh lain kali saya ceritain). You must be proud to be his mum!

Unknown said...

Thanks, Mbak Amel. Very inspiring story and again, We are very grateful that you teach the kids mengaji regularly.... Saya kira pesan2 spt ini yang harus byk disampaikan kepada anak2....bagaimana menerjemahkan ajaran2 agama dalam urusan keseharian , tdk hanya terpaku pada ritualitas agama spt hewan kurban.but what is beyond the message!

Kami juga punya pengalaman pribadi ttg kurban, setiap tahun keluarga saya patungan untung berkurban (sapi atau kambing). Tapi saya sering mengeluh sama Dirman karena saya pikir itu tdk menyelesaikan masalah...dan takut 'riya'.saya malah berpikir uang untuk kurban tdk lebih bagus dijadikan beasiswa atau sesuatu yang lbh long lasting manfaatnya?

Gimana mbak? Ritual sih iya, tapi mesti lihat konteksnya juga. Toh dikampung ibu saya, semiskin2nya tetap bisa makan 3 kali sehari:-( meskipun daging emang masih terhitung "mewah":-))

sama dgn urusan naik haji.... saya heran juga dgn kelakuan byk org dikampung saya yg naik haji sementara kebutuhan lainnya misalnya pendidikan anak, kesehatan dan basic need lainnya malah belum terpenuhi....malah ada yg pake arisan haji atau ambil kredit.Entahlah motivasinya apa, tapi yang jelas bagi saya itu tindakan yang selfish!

Keep on blogging!

Amelia Fauzia said...

Thanks Na, dan betul banget. Harus ada kontekstualisasi. Kalau enggak lama-lama malah jadi ironis. Padahal banyak hadis Nabi dalam hal haji misalnya yang mengatakan lebih afdhol orang yang gak haji tapi memberikan uangnya untuk menolong sesama. Jangan-jangan, lama2 jadi terbalik. Orang mendapatkan uang dengan segala cara untuk bisa pergi haji!
Mengenai kurban sebenarnya sekarang sudah mulai banyak inovasi kok, sejak daging kurban di tanah suci malah menimbulkan masalah kesehatan karena jadi sampah membusuk yang terbuang sia-sia. Di Indonesia sekarang sudah ada inovasi daging kurban yang dikalengkan dan dikirim ke daerah kurang pangan dan rendah gizi. Sejak Tsunami juga banyak wacana pengalihan kurban menjadi donasi makanan siap saji atau pakaian dan uang yang lebih dibutuhkan pada saat itu. Pak Quraish Shihab yang memulai. Hanya sedikit beda nama dalam fiqih. Toh kurban juga termasuk sedekah.

Untuk ngajar ngaji...ups! almost regularly... :)