Thursday, January 25, 2007

PhD supervision

I am quite happy that finally the institute where I study does something regarding student supervision. I did not really care about supervision actually, from the very beginning of my Ph.D candidature. My principal supervisor resigned before I did my confirmation examination. I was like in the middle of nowhere. It was terrible situation because I came to this institute to learn from this person expertise. I could not blame the resigned supervisor. If I were in his position I might do the same as he did. What made me skeptical about supervision was that the institute was powerless and could not help me to continue supervision with the resigned supervisor. Other students and I were encouraged to choose someone from the institute as our formal supervisors; where actually has very limited resources.

After three years of my study, it seems that these formal supervisors were too kind to me; they never want to disturb my enjoyable study. I did two fieldworks in Indonesia and an archive research in the Netherlands, and went from a conference to a conference (from East to West, North to South). Last year I wrote only one very rough chapter that I was not satisfied at all. However, my supervisors neither gave complaints nor comments on what I wrote and I did. I think my supervisors are too kind and see me with too high standard so I did not really need ‘help.’ Or they just want to let me being supervised informally with my resigned supervisor, who is my shadow supervisor. This shadow supervisor is very helpful: reading my chapters, reports and essays; giving comments, references, and suggestion too. The only problem is he is too far away. I always break my promise to send him a revised chapter or even a progress email every month.

I know this is certainly unusual and bad direction. But I did not want to make a pressure on my recent supervisors too. I am doing my own project research, not them. So, I feel I get a freedom to do what I want to do. What a positive thinking! After three years I would say that I enjoyed of having not enough supervision.

Now, the institute wanted to encourage these supervisors to be more helpful. I welcome. Its good deed, why not supporting it? In fact, I do need help that urge me to write my thesis chapters. I am looking forward to have a different way to enjoying my phd.

By this curhat I just one to give advice. For those of you want to take PhD studies, please choose the right supervisor. If you get the wrong one, keep cool and enjoy it! :)

Saturday, January 20, 2007

Membagi Waktu

Rupanya sulit sekali. Tidak semudah membaca teori tentang membagi waktu. Karena waktu itu abstrak. Dan sesuatu yang diberikan waktu itu juga relatif. Mungkin itu yang membuatnya sulit. Istilah yang sering dipakai adalah juggling between, works, study, and family. Seperti badut yang memainkan bola di udara, dan berupaya menjaga keseimbangan supaya bola-bola itu tertangani semua, tidak ada yang jatuh dan menjadi korban.

Kesadaran akan "juggling" di atas malah menambah kesulitan. Tarik-menarik justru lebih kuat karena ada kesadaran penuh tentang prioritas: mementingkan studi pribadi atau memprioritaskan pendidikan anak-anak, atau prioritas bekerja supaya dapat mendatangkan capital untuk memberi pendidikan yang lebih baik kepada anak. Sulit. Misalnya, ketika mood menulis sedang bagus dan ingin kerja di kampus sampai larut malam, tapi hati tak tega rasanya. Panggilan telepon dari anak-anak yang sesekali menyapa dan menanyakan kapan pulang, membuat pikiran sudah melayang ke rumah. Apalagi mengingat kalau pulang larut, anak-anak suka tidur di ruang tamu, karena menunggu ibunya pulang. Berat rasanya kalau sedang dikejar deadline pekerjaan atau studi, tapi pada saat yang sama harus mengajarkan ngaji atau berkomunikasi dengan anak-anak dan suami.

Bisa saja kita berdalih, ah biar sekali-kali kan tak apa. Sekali-kali biar suami yang njemput anak-anak, sekali-kali anak-anak dibiarkan bermain xbox sepanjang hari, dan sesekali anak-anak makan junkfood. Tapi justru ini yang berbahaya. Karena virus 'sekali-kali' ini kalau sudah masuk ke software kita, pasti akan merusak semua program. Dan kita tidak sadar kalau sebenarnya kita sudah jauh meninggalkan kesadaran akan juggling di atas.

Mungkin yang lebih merasakan kesulitan ini adalah ibu. Karena peran domestik ibu biasanya lebih dominan dibandingkan ayah apalagi dalam kultur patriarki yang kental. Enaknya hidup di Australia atau negara Barat lainnya adalah bias gender dan kultur patriarki tidak terlalu kuat. Tidak ada tetangga yang membicarakan jika yang menjemur pakaian adalah suami, bukan istri; tidak ada oang tua yang terganggu jika anak laki-lakinya masak untuk istri dan anak; tidak ada yang mencemooh jika suami menganggur atau penghasilannya lebih rendah dari istri. Mungkin saja di Indonesia sebenarnya cukup enak bagi perempuan karir karena banyak asisten yang bisa membantu sehingga waktu untuk keluarga dan kerja atau studi bisa maksimal. Ada nenek dan kakek yang bisa membantu menjaga cucu; ada babby sitter, ada pembantu rumah tangga, ada adik dan kakak yang bisa diminta tolong. Tapi tentu saja, nantinya akan timbal balik dimana waktu yang untuk anak-anak dan suami juga terkurangi oleh waktu untuk keluarga besar.

Kembali ke prioritas, apa pun prioritas yang dipilih itu pasti ada resikonya. Walau kita berupaya adil terhadap pekerjaan, studi dan keluarga, tentu tidak bisa adil sepenuhnya. Tetap saja tetap ada satu hal yang sering kita prioritaskan lebih dari yang lain. Ini seperti keadilan semu poligami, yang tentu saja tidak bisa sepenuhnya adil. Prioritas ini adalah pilihan, yang kadang kita tidak sadar ketika memilihnya atau meninggalkan prioritas yang lain. Kalau pilihan sadar sih tidak mengapa, karena nanti tidak perlu kaget dengan hasil dan resikonya, apalagi resiko yang negatif.

Jadi bagaimana sebaiknya membagi waktu? Satu hal yang sering kita dengar tentu kedisiplinan. Mungkin tepatnya disiplin yang berhati". Artinya, disiplin itu penting, tapi jangan terlalu ketat. Kalau terlaku ketat, terkadang menghilangkan substansi. Seperti waktu untuk belajar tidak perlu dipaksakan kalau pikiran sedang tidak ke studi tapi ke masalah anak. Mungkin terlihat agak aneh dengan "disiplin yang berhati" ini. Karena dalam kata lain berarti menjalankan disiplin yang tidak terlalu disiplin. hehe. Tapi ini hanya satu dari banyak cara untuk membagi waktu. Tiap orang pasti punya trik dan cara masing-masing dalam membagi waktu ini --kalau yang sadar. Kalau enggak, al-waqt ka al-saif. Waktu itu seperti mata pedang. Kalau kita tidak bisa mengendalikannya, kita akan tertebas oleh mata pedang itu.

Mungkin yang tepat itu bukan membagi waktu, tapi mengendalikan waktu...

Saturday, January 13, 2007

sydney new years day

13/1/07 by Elkana

My famliy and my famliy friend went to sydney.At the end of the year 2006 we went to the city and on the way there are to meny people so my famliy went to a shot way.then we had to wat for 5 minutes then the fireworks came.

Ternyata, rumput tetangga tidak lebih indah dari rumput sendiri...


Sering kali kita membandingkan milik kita dengan milik orang lain. Dan sering kali pula, milik orang lain itu terlihat lebih baik, lebih indah, dst. Ungkapan yang sering dipakai adalah 'rumput tetangga terlihat lebih indah dari rumput sendiri.'

Nah, kaitannya dengan liburan kami sekeluarga di Sydney pada akhir tahun 2006 sampai tahun baru yang lalu. Memang sih kami ubek-ubek Sydney cuma 4 hari. Waktu yang tidak lama untuk bisa memberikan judgement yang obyektif. Tapi dari hasil 'observasi' singkat ini saya berpendapat bahwa dalam hal turisme kota Melbourne itu lebih baik dari kota Sydney. Penilaian ini bukan membandingkan antara St. Kilda dengan Bondi Beach misalnya, atau membandingkan Circular Quay dengan Federation Square. Tentu saja, masing-masing kota punya keunikan sendiri-sendiri yang tidak bisa dibandingkan. Tapi menurut saya kota Melbourne lebih baik dari kota Sydney dalam hal:

1. Keramahan-tamahan komunitasnya khususnya orang yang bertugas di publik service. Jarang sekali kami temui misalnya petugas stasiun dan supir bus yang baik dan mau sabar menghadapi turis yang tidak tahu banyak mengenai publik transport. Di Melbourne, di tempat-tempat yang ramai baik di jalan, stasiun kereta dan pemberhentian tram, ada petugas yang memberi informasi mengenai publik transport dan ada pula petugas yang bisa memberi informasi mengenai tempat-tempat wisata di Melbourne. Para petugas ini sangat helpful. Kalau melihat seseorang yang bingung atau lama ngelihatin peta, dia pasti segera datang dan bertanya "May I help you?"

2. Mungkin ini ada hubungannya dengan keramahan di atas, tapi bedanya ini adalah budaya di jalan. Jika di Melbourne, pejalan kaki itu dihargai sekali, di kota Sydney . Memang di Sydney aturannya juga begitu, tapi bayangkan siapa yang tidak senewen kalau kita lagi nyebrang jalan tapi didengarkan suara gas bus dan mobil yang meraung-raung tidak sabar mau cepat jalan dan 'meminta' kita supaya cepat nyebrang. Belum sampai kaki di sebrang jalan, bus sudah jalan di belakang kita. Mengenai bus ini, saya dan Amir sepakat kalau gaya para supir bus ini tak jauh beda dengan supir metro mini di Jakarta! Ini memang bus regular. Tapi bus regular di Melbourne jauh dari kultur kebut-kebutan dan tidak sabar seperti di Sydney.

3. Tidak ada yang gratis! Libur tahun baru, di Sydney cuma ada diskon publik transport. Di Melbourne, beberapa hari libur seperti Natal dan Tahun Baru, public trasport itu free! Setiap hari ada bus turis gratis untuk keliling kota Melbourne. Ada juga tram yang disebut city circle yang kerjanya keliling kota, juga gratis. Selain Melbourne itu lebih generous, masyarakat juga di-encourage supaya naik public transport. Dan tentu saja ada diskonnya. Misalnya ada tiket sunday saver yang bisa dipakai untuk bepergian keliling kota Melbourne (unlimited travel) baik itu pake tram, kereta api, maupun bus pada hari minggu dengan hanya membayar $2.50.

4. Kebersihan kota. Masih di airport Sydney, ketika kami keluar untuk antri taxi, kami sudah disuguhi dengan bau kencing yang menyengat. Di luar airport pun pemandangannya tidak menyegarkan. Yang terlihat cuma dinding-dinding bangunan parkir yang suram tanpa landcape taman yang indah. Perjalanan dari airport ke suburb dan city disuguhi dengan pemandangan yang suram. Beda dengan airport Melbourne. Lingkungan airport cukup menyegarkan dan perjalanan dari airport ke city juga disuguhi pemandangan yang menyenangkan.

Jadi, saya baru mengerti, kenapa kawan saya Eka Sri Mulyani yang tinggal di Sydney begitu antusias dan terkagum-kagum ketika datang ke Melbourne. Katanya "this is the real Australia..." hehe. Soalnya dia bilang kota Sydney itu apa bedanya dengan kota Jakarta yang penuh dengan bangunan-bangunan tinggi. Sedangkan di Melbourne bangunan bergaya victorian itu bisa banyak dilihat dan masih terawat baik.

Dari hasil jalan-jalan ke Sydney, saya pikir kalo Melbourne ini kota turis yang luar biasa. Lebih hijau, ramah, dan generous! Tentu saja ini dari kacamata turis.

Saya mau menikmati Melbourne ah musim panas ini...


Wednesday, January 03, 2007

Hukuman Mati Saddam: Sebuah Kesalahan Besar

Akhirnya Saddam digantung mati sehari menjelang awal tahun 2007. Saddam menghadapi kematiannya dengan berani. Ia tidak mau memakai tutup kepala sebelum digantung. Bahkan ketika algojo memaki-makinya dan memuji muji pemimpin Syiah, Saddam masih sempat membalas makian itu. Dan akhirnya, kalimat syahadat yang diucapkan Saddam terhenti, menandakan ruhnya sudah meninggalkan jasad.

Kematian yang tragis. Mungkin itu yang harus dibayar oleh Saddam atas kekejaman dia ketika menjadi presiden Irak. Tapi apakah dengan kematian Saddam perang Sunni-Syiah akan berhenti? Tidak. Justru kematian Saddam menjadi bahan bakar utama. Apalagi proses peradilannya tidak transparan dan adil.

Banyak orang berpikir, kekejaman harus dibayar dengan kekejaman. Apalagi ada ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa penghilangan mata harus dibayar dengan mata, tangan dibayar dengan tangan, dan jiwa dengan jiwa. Dan karenanya hukuman mati bagi Saddam adalah balasan atas pembunuhan yang dilakukan Saddam. Kelihatannya adil, tapi sebenarnya itu hanyalah keadilan semu. Dan ayat Qur’an yang menyatakan “mata dibayar mata” dst itu haruslah dibaca sebagai alternatif terakhir. Bukan satu-satunya cara memberi hukuman atau malah cara pertama memberi hukuman. Alternatif pertama adalah permintaan maaf dan musyawarah. Selayaknya keluarga yang dibunuh bisa bermusyawarah dari yang paling ringan yaitu menerima permintaan maaf sampai meminta berbagai macam konsesi (uang dan benda berharga misalnya). Toh jiwa yang sudah melayang tidak bisa digantikan lagi.

Tapi kelihatannya alternative terakhir itu sudah menjadi pilihan pertama. Apalagi dalam kasus Saddam. Pengadilan itu disitir oleh keinginan Bush untuk menjalankan dendam pribadinya menghilangkan nyawa Saddam melalui tangan pengadilan Irak.

Ada dua kesalahan yang tidak disadari Irak dengan digantungnya Saddam. Pertama, Amerika benar-benar sudah menjajah dan menyetir Irak sesuai dengan keinginan politik Amerika, entah itu dendam pribadi Bush maupun dollar yang didapat dari kekayaan minyak Irak. Kedua, perang saudara antara Sunni dan Syiah akan semakin bergejolak karena kematian Saddam merupakan minyak panas yang akan membakar kemarahan pihak Sunni terhadap Syiah.

Inikah yang disebut demokrasi? Apakah masyarakat tertentu harus harus dipimpin oleh rejim diktator biar negara sejahtera? Apakah kesejahteraan Irak sebelum ini hanyalah kesejahteraan semu sebagaimana Indonesia dibawah rejim Orde Baru? Sebegitu kuatkah keinginan power dan harta itu? Entahlah. Yang diambang mata hanyalah dendam kesumat yang sebenanya tidak bisa menghentikan perang. Jika dendam dibalas dendam, kekerasan dibalas kekerasan, perang dibalas perang, apa bedanya Bush dengan Saddam? Dan kelihatannya dunia akan hancur oleh manusia sendiri karena nantinya nuklir dibalas dengan nuklir. Bisa jadi takdir kiamat itu ada di tangan manusia….
Wallahu a'lam